Liputan6.com, Jakarta - Para pemain hebat selalu punya julukan. Ada yang diasosiasikan dengan karakter pahlawan super, hewan, fenomena alam, dan lain-lain. Bahkan, ada juga pemain yang disemati sebutan pangeran, dewa, nabi atau tuhan.
Soal julukan ini, paling mudah bila sang pemain bernama depan Mario. Biasanya, cukuplah meletakkan kata "super" di depan nama itu. Ya, Super Mario. Sudah bisa diterka, julukan itu merujuk pada karakter video game keluaran Nintendo yang dirilis pada 1985, Super Mario Bros.
Pada dekade 1990-an, pemain yang paling dikenal sebagai Super Mario adalah Mario Basler. Dia seorang gelandang nyeleneh. Kemampuan olah bolanya oke, tajam pula. Dia sangat doyan mencetak gol dari bola mati. Tak terkecuali dari sepak pojok. Tiga olympic goal, gol dari tendangan sudut, dibuatnya di Bundesliga. Basler juga gelandang terakhir yang sanggup menjadi torschuetzenkoenig, raja gol Bundesliga. Namun, Basler berkelakuan miring. Mengisap rokok di muka umum dan di hadapan kamera adalah kebiasaannya.
Baca Juga
Advertisement
Memasuki era kekinian milenium baru, julukan Super Mario disandang oleh Mario Gomez, Mario Balotelli, dan Mario Goetze. Satu lagi, dalam kadar yang lebih rendah, Mario Mandzukic.
Musim ini, saat Goetze harus minggir karena mengalami masalah dalam metabolisme tubuh, Balotelli dan Gomez kembali bisa mengklaim sebagai Super Mario. Bersama OGC Nice, Balotelli yang sempat terpuruk bersama Liverpool dan AC Milan mengalami renaissance alias kebangkitan kembali. Keran golnya kembali terbuka lebar. Sebanyak 17 gol sudah dibuat striker Italia berdarah Ghana itu di semua ajang yang diikuti Nice.
Gomez pun demikian. Mendarat di VfL Wolfsburg, penyerang Jerman berdarah Spanyol ini sudah mengoleksi 16 gol di semua ajang. Itu melanjutkan kebangkitannya bersama Besiktas di Super Lig Turki musim lalu. Perlahan, pemain yang sempat tenggelam karena cedera saat membela Fiorentina itu menjadi andalan timnas Jerman lagi.
Meski demikian, julukan Super Mario untuk musim ini lebih pantas disematkan kepada Mario Mandzukic. Soal koleksi gol, striker Kroasia itu memang kalah jauh dari Balotelli dan Gomez. Hingga pertandingan leg II semifinal Liga Champions, Rabu (10/04/2017) WIB, baru sembilan gol yang dibuatnya dalam 44 laga bersama Juventus. Namun, eks penggawa Dinamo Zagreb tersebut musim ini telah melakukan hal yang jauh luar biasa.
Jaga Harmoni
Mandzukic memberikan pelajaran penting soal menghadapi persaingan, beradaptasi dengan pelatih, dan hal yang paling penting, dia menunjukkan cara terbaik menjadi seorang team player.
Musim ini, seiring kedatangan Gonzalo Higuain yang diboyong dari Napoli seharga 90 juta euro, karier Mandzukic sebenarnya terancam. Mau tak mau, dia harus menyerahkan posisi targetman kepada sang pemain anyar. Padahal, selama bertahun-tahun, itulah posisi yang ditempatinya. Dia tak terbiasa bermain di posisi lain. Tapi, Mandzukic tak mengeluh ataupun mutung. Seiring pertambahan umur, dia mampu bersikap bijak.
"Tak ada jaminan bagi saya ketika Higuain datang. Di tim seperti Juventus, hanya pemain-pemain lebih baik yang datang. Saya dan Higuain saling mengerti satu sama lain, di dalam dan luar lapangan," papar Mandzukic. "Mungkin orang-orang berharap ada gesekan di antara kami berdua. Tapi, yang ada hanyalah saling menghormati dan menghargai."
Mandzukic sepenuhnya sadar, hal terpenting bagi siapa pun adalah bekerja keras, membuktikan diri berguna bagi klub, bukannya membuat friksi yang mengganggu harmoni. Sepanjang masih ada kepercayaan dari pelatih, tak ada alasan untuk berhenti atau hengkang. Itulah yang didapatkannya dari allenatore Massimiliano Allegri. Eks pelatih AC Milan tersebut juga punya rencana lain bagi sang striker.
Kepercayaan itulah yang tak didapatkan dari Josep Guardiola di Bayern Muenchen pada 2013-14. Mandzukic dibuat tak nyaman karena pelatih asal Katalonia itu tak pernah memberikan penjelasan. Bagi Mandzukic, bila memang tak suka atau menilai dirinya tak cocok dengan sistem ataupun filosofi yang diusung, seharusnya Pep terus terang. Itulah yang membuat Mandzukic hengkang ke Atletico Madrid.
Di Juventus musim ini, Mandzukic membuktikan dirinya akomodatif dan adaptif terhadap taktik dan posisi apa pun. Itu karena dia sangat memahami bahwa sepak bola adalah permainan tim. Setiap pemain harus menjalankan fungsinya dengan baik demi kesuksesan tim. Tak peduli dia bermain di posisi yang tak biasa sekalipun.
Sikap inilah yang membuat Gianluca Vialli angkat topi. "Dia mengingatkan saya kepada Samuel Eto'o semasa di Inter Milan. Keduanya menempatkan kepentingan tim di atas kepentingan pribadi. Tanpa semangat kolaboratif dari Mario, Allegri pasti menghadapi masalah rumit," terang eks striker Juventus era 1990-an tersebut.
Advertisement
Rela Berkorban
Komentar itu diungkapkan Vialli setelah melihat kemauan dan kerja keras yang ditunjukkan Mandzukic sebagai winger. Meski aslinya striker utama yang terbiasa menerima umpan, dia tak segan membantu pertahanan, menutup pergerakan winger dan fullback lawan di sisi yang ditempatinya.
Berkat kontribusinya itu pula, Juventus sukses meredam Barcelona dan AS Monaco yang dikenal memiliki lini depan rancak nan tajam. Dalam laga melawan dua tim ini pulalah kerja keras Mandzukic dalam membantu pertahanan menarik perhatian publik. Statistik dari Squawka menunjukkan atribut defensif pemain yang akan berulang tahun pada 21 Mei itu meningkat pesat.
Ini mengingatkan kepada Arjen Robben dan Franck Ribery saat Bayern menggasak Barcelona pada semifinal Liga Champions 2012-13. Dalam dua laga, duet Robbery bukan hanya menyayat pertahanan lawan, melainkan juga berfungsi sebagai fullback tambahan. Sangat mungkin Mandzukic yang kala itu menjadi striker Bayern belajar dari kedua pemain tersebut.
Musim itu, setelah hanya menjadi runner-up di tiga ajang, para pemain Bayern memang belajar banyak soal bermain sebagai tim, soal pentingnya menjadi team player, soal keharusan berkorban demi tim.
Pengorbanan Mandzukic saat itu pun tidaklah kecil. Oleh pelatih Jupp Heynckes, dia diminta melupakan gelar pencetak gol terbanyak Bundesliga. Dia harus rela tak dimainkan pada laga-laga tertentu. "Saya katakan kepadanya, 'Saya telah merampas peluangmu untuk menjadi pencetak gol terbanyak di Bundesliga. Tapi, lihat apa yang saya berikan? Kamu juara Bundesliga, juara Liga Champions, dan juara DFB Pokal.' Dia lantas berterima kasih kepada saya," kisah Heynckes dalam wawancara dengan Der Spiegel usai musim luar biasa itu.
Bukan hanya juara, Mandzukic menjadi aktor penting dalam kesuksesan Bayern menjuarai Liga Champions. Dialah sang pencetak gol pembuka dalam laga yang berlangsung di Stadion Wembley tersebut. Banyak orang yang lebih mengingat gol penentu kemenangan dari Arjen Robben. Padahal, gol Mandzukic tak kalah penting. Gol itu adalah pembebasan bagi Bayern yang seperti tak bisa benar-benar keluar dari tekanan Borussia Dortmund.
Kemauan berkorban itulah yang membuat Allegri tetap menaruh kepercayaan besar di pundak Mandzukic. Dia tak peduli striker timnas Kroasia itu mejan, hanya sesekali membuat gol. Hal terpenting bagi Allegri, pemainnya itu mampu menjalankan tugas dengan baik di lapangan dalam membuka ruang dan mengganggu permainan lawan. Apalagi Mandzukic seolah tak henti berlari. Di Juventus, dialah pemain dengan daya jelajah tertinggi. Lagi pula, soal mencetak gol sudah ada Higuain dan Paulo Dybala.
Bila nanti I Bianconeri merebut tiga gelar, akan makin sah gelar Super Mario disandang Mandzukic. Bagaimanapun, ada kebesaran hati dan keteladanan sikap Mandzukic di balik kesuksesan besar nan langka tersebut. Jangan lupa juga, Mandzukic adalah jimat rahasia. Sejak berkostum I Bianconeri, golnya selalu membawa kemenangan bagi Gianluigi Buffon dkk. Sebuah bukti lain tentang kesuperan Mandzukic.
*Penulis komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.