Liputan6.com, Jakarta - Cardiff bukanlah kiblat sepak bola. Namun, untuk sehari saja, kota di pesisir Selatan Wales itu akan jadi pusat perhatian para penggila sepak bola dunia. Khususnya, tentu saja mereka yang berada di Eropa. Sekitar 200 juta pasang mata dari segenap penjuru dunia diperkirakan tertuju ke kota ini lewat layar kaca.
Sabtu (3/6/2017), Cardiff akan menggelar event olahraga terbesar dalam sejarah kota itu. Hari itu, di Stadion Millennium, akan tersaji final Liga Champions 2016-17 antara Juventus dan Real Madrid. Sebelumnya, stadion ini paling banter menggelar final Piala FA dan Piala Liga Inggris pada 2001 hingga 2007.
Baca Juga
Advertisement
Diperkirakan, 170 ribu fans sepak bola akan datang ke Cardiff pada hari itu. Bukan hanya untuk menikmati laga dua klub terbaik Eropa, mereka juga datang untuk menjadi saksi sejarah. Siapa pun yang jadi pemenang, sejarah memang akan tercipta.
Andai menjadi kampiun, Madrid akan jadi klub pertama pada era Liga Champions yang mampu mempertahankan gelar. Pada awal 1990-an, AC Milan, Ajax Amsterdam, dan Juventus sempat berpeluang mengguratkan rekor itu. Namun, tak satu pun yang mampu melakukannya.
Bagi Zinedine Zidane, sang entrenador, itu juga akan jadi catatan tersendiri. Bukan hanya menjadi pelatih pertama yang dua kali juara secara beruntun, dia pun akan menahbiskan diri sebagai pelatih pertama yang juara dalam dua musim awalnya di Liga Champions.
Itu akan jadi catatan impresif bagi Coach Zizou yang musim lalu menjuarai Liga Champions dalam tiga kapasitas berbeda. Sebelumnya, pada 2001-02, eks playmaker timnas Prancis tersebut juara sebagai pemain. Lalu, pada 2013-14, Zizou juara saat menjadi asisten pelatih Carlo Ancelotti. Zizou bak Mario Zagallo di Piala Dunia.
Adapun bagi Juventus, kemenangan di Cardiff nanti akan melengkapi gelar yang diraih musim ini. Treble winners akan dipastikan oleh gelar tersebut karena La Vecchia Signora sebelumnya telah lebih dulu memastikan juara Serie-A dan Coppa Italia. Juventus akan jadi klub Italia kedua yang membukukan prestasi itu setelah Internazionale pada 2009-10.
Hentikan Dominasi
Terlepas dari torehan sejarah yang bisa dibuat, ada misi khusus nan mulia yang diusung La Vecchia Signora. Tim asuhan Massimiliano Allegri perlu menghentikan dominasi yang terjadi demi menggairahkan kembali Liga Champions.
Dalam empat musim terakhir, Spanyol begitu mendominasi kejuaraan antarklub terelite di Eropa tersebut. Dari 2013-14, selalu ada wakil Negeri Matador di partai puncak. Bahkan, dua kali tercipta All Spanish Final yang juga All Madrid Final. Pada 2013-14 dan 2015-16, Real dan Atletico Madrid yang bersua di partai penentuan juara.
Hal yang paling menegaskan dominasi itu tentu saja fakta bahwa klub Spanyol yang juara dalam tiga edisi terakhir. Dua kali Madrid (2013-14, 2015-16), sekali Barcelona (2014-15). Dominasi seperti ini memang bukan hal baru. Spanyol, dalam hal ini Madrid, merebut gelar dalam lima musim beruntun dari 1956 hingga 1960. Lalu, tiga wakil Inggris menjuarai ajang ini pada 1977 hingga 1982. Namun, sejak era Liga Champions pada 1992-93, hal itu tak pernah terjadi. Hingga 2012-13, bahkan tak pernah ada sebuah negara yang menempatkan wakilnya sebagai juara dalam dua musim secara beruntun.
Andai Madrid juara lagi, tentu akan jadi ancaman tersendiri bagi Liga Champions. Dominasi yang terbentuk dan kian menguat potensial membuat publik bosan. Bukankah dominasi klub tertentu di sebuah liga membuat banyak orang kecewa? Lihat pula Ballon d'Or yang sudah menjemukan karena pemenangnya selalu saja Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo.
Indikasi kebosanan sudah terlihat di Liga Champions. Publik sepak bola dunia sepertinya lebih menantikan laga-laga yang tak biasa di final. Buktinya, saat terjadi All German Final pada 2012-13, total penonton siaran langsung final mencapai 360 juta orang. Itu rekor yang belum terpecahkan hingga saat ini.
Hal lain yang tak kalah penting bagi Juventus adalah mencegah Madrid menambah koleksi gelar menjadi selusin. Itu akan membuat Los Blancos kian sulit dikejar. Saat ini, pesaing terdekat Madrid adalah AC Milan dengan tujuh gelar. Sialnya, I Rossoneri selalu absen di Liga Champions dari 2014-15. Di belakang Milan ada Barcelona, Liverpool, dan Bayern Muenchen yang sama-sama lima kali juara.
Demi membuat Liga Champions lebih bergairah dan terlihat kompetitif lagi, butuh kejutan-kejutan dan juara baru. Setelah AS Monaco terhenti di semifinal dan Atletico gagal mengulangi langkah ke final, harapan tinggal kemunculan juara baru.
Sejatinya, Juventus tak akan menjadi muka baru di daftar juara Liga Champions. Mereka sudah tiga kali menjuarai ajang ini. Namun, La Vecchia Signora terakhir kali berjaya pada 1995-96. Setelah itu, empat kali mereka kandas di final, yakni pada 1996-97, 1997-98, 2002-03, dan 2014-15. Mengingat sudah dua dekade tak juara, keberhasilan di Cardiff nanti rasanya bisa tergolong hal tak biasa.
Advertisement
Penuntasan Buffon
Di antara para penggawa Juventus, Gianluigi Buffon bisa jadi yang paling penasaran. Dalam empat kegagalan La Vecchia Signora setelah juara pada 1995-96, dua kali dia berada di sana. Pertama, ketika Juventus kalah adu penalti dari Milan pada 2002-03. Kedua, kala I Bianconeri takluk 1-3 dari Barcelona, dua musim lalu.
Saat semifinal menghadapi Monaco, Buffon sempat mengungkapkan harapan besarnya menjuarai Liga Champions. Menurut dia, hal itu akan terasa seperti menjuarai Piala Dunia pada 2006. "Saya selalu menginginkannya dan saya yakin bisa meraihnya bersama tim saya, para fans, dan rekan-rekan saya," ungkap dia.
Bukan hanya dua kegagalan terdahulu yang membuat kiper berumur 39 tahun itu begitu penasaran. Dalam kariernya yang diwarnai banyak gelar, tinggal dua trofi yang belum diraihnya. Itu adalah Liga Champions dan Piala Eropa.
Buffon tahu persis waktu yang tersedia tak lagi banyak untuk melengkapi koleksi gelarnya. Tahun depan, dia akan berumur 40 tahun. Secara realistis, peluangnya untuk tampil di Piala Eropa 2020 tidaklah besar. Apalagi Gianluigi Donnarumma kian ciamik bersama Milan. Saat Piala Eropa tiba, sangat mungkin sang kiper belia sudah matang untuk diandalkan allenatore Gli Azzurri.
Iker Casillas, eks kiper Madrid, menilai Buffon pantas mendapatkan gelar Liga Champions. Dia berharap koleganya itu bisa mewujudkan hal tersebut suatu saat nanti, terutama ketika tak berhadapan dengan Madrid. Maklum, Casillas tetaplah fans berat Los Blancos.
Meski demikian, secara objektif, Casillas menilai peluang Madrid dan Juventus di final nanti sama besar. Menurutnya, kekuatan La Vecchia Signora ada di lini pertahanan yang kokoh. Sementara itu, keunggulan Madrid adalah lini serang yang sangat tajam.
Penilaian Casillas tak bisa disangkal. Tak perlu analisis rumit dan berbelit-belit untuk menemukan itu. Los Blancos dan La Vecchia Signora ibarat buku yang terbuka lebar. Siapa pun bisa membacanya dengan jelas. Zidane tentu tahu, pekerjaan rumah terbesar Madrid adalah merontokkan benteng pertahanan kokoh Juventus yang bahkan tak bisa ditembus dua tim yang sangat produktif, Barcelona dan Monaco.
Adapun Allegri pasti mafhum, hal terpenting bagi timnya adalah memandulkan para produsen gol Los Blancos dan mengusir Dewi Fortuna sejauh-jauhnya dari sisi Zidane. Bukan apa-apa, dalam 14 laga terakhir di Liga Champions, Madrid selalu mampu membobol gawang lawan. Sepertinya mereka selalu saja punya cara untuk mendobrak kebuntuan.
Hal lain yang patut diperhatikan, tentu rekam jejak di final kejuaraan antarklub Eropa. Sementara Juventus kalah dalam empat final terakhir, Madrid justru memenangi tujuh final terakhirnya di Eropa. Rinciannya, lima kali di Liga Champions dan dua kali di Piala UEFA. Pasukan Allegri perlu motivasi tinggi, strategi dan taktik ciamik, kerja keras nan cerdas, serta sejumput keberuntungan untuk menuntaskan misi suci di Cardiff nanti.
*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz