Liputan6.com, Jakarta - Ketika harapan tak sesuai kenyataan, saat itulah timbul kekecewaan. Bila terus berulang dan berlanjut, kekecewaan itu tentulah kian menggunung dan pada suatu saat bisa meledak begitu saja.
Ledakan kekecewaan itulah yang terjadi di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi, Minggu (4/6). Begitu gawang M. Nathsir kebobolan untuk kali kedua oleh Bhayangkara FC lewat Ilham Udin Armaiyn, sejumlah pendukung Persib atau akrab disapa bobotoh masuk ke lapangan. Gara-gara itu, pertandingan terhenti sekitar sepuluh menit.
Baca Juga
Advertisement
Invasi lapangan itu tak terlepas dari performa Persib yang jauh di bawah ekspektasi. Memang benar, Pangeran Biru membuka musim dengan tujuh laga tanpa kekalahan. Namun, itu bukan berarti mereka digdaya. Ada sejumlah hasil seri di sana. Ada pula kemenangan berbau keberuntungan lewat gol pada menit akhir. Dua kekalahan beruntun dari Bali United dan Bhayangkara FC menegaskan hal tersebut. Kini Persib tak pernah menang dalam empat laga beruntun.
Bukan hanya soal hasil, permainan Atep cs. pun mengecewakan. Mereka seolah tak punya kreativitas di lapangan, hanya mapay gawir alias menyerang dari sayap dengan mengandalkan kecepatan kedua winger. Itu pun kerap kali hanya berujung kesia-siaan.
Bagi siapa pun yang mengaku bobotoh, kenyataan itu sangat menyesakkan. Persib bukan hanya memiliki winger oke. Di skuat tim asuhan Djadjang Nurdjaman juga ada gelandang-gelandang tengah bagus. Lalu, hal yang tak kalah mengherankan, Michael Essien yang berstatus marquee player baru dua kali tampil sebagai starter.
Tak pelak, kekecewaan pun membuncah. Kemarahan terarah langsung kepada Coach Djanur yang dianggap tidak becus mengelola tim dengan baik. Usai kekalahan di Stadion Patriot itu, tagar #DjanurOut mulai bergema. Sebuah tuntutan biasa dari fans ketika klub kesayangannya menukik. Pelatih memang sasaran terempuk saat klub terpuruk.
Di Persib, sejak berpuluh tahun lalu, sebenarnya tuntutan bobotoh tak pernah berubah. Mereka ingin Persib menang, bermain cantik, dan para pemain tampil sepenuh hati. Soal main cantik dan sepenuh hati adalah hal mutlak. Dalam bahasa Indra Thohir, pelatih yang membawa Persib juara Liga Indonesia I, bagi para bobotoh, menang saja tidak cukup. Menang tapi tak bermain cantik, para pemain dan pelatih tetap harus siap dikritik. Bisa dibayangkanlah bagaimana bila Persib kalah, bermain buruk, dan para pemain tampil seolah tanpa hati seperti dalam laga di Stadion Patriot lalu.
Tak jelas betul apa gerangan yang disampaikan para penerobos lapangan itu kepada para penggawa Persib. Melihat reaksi Atep dkk., mungkin ada kata-kata kasar. Namun, menurut Kim Jeffrey Kurniawan, bobotoh hanya meminta para pemain tampil dengan hati dan menghargai pengorbanan mereka yang rela datang dari jauh demi mendukung Persib. Kim mengatakan, aksi mereka adalah wujud rasa cinta.
Rasa Memiliki
Tak bisa disangkal, kecintaan para bobotoh terhadap Persib sangatlah besar. Cinta yang sedemikian besar itu membuat mereka merasa ikut memiliki Persib. Bahkan, Pangeran Biru adalah hidup mereka. Itu sebabnya, mereka tak rela bila Persib menjadi semenjana dan tampil tanpa jiwa.
Satu hal yang perlu dipahami, bukan hanya bobotoh yang seperti itu. Orang-orang di tubuh dan sekeliling klub pun demikian. Dan sudah bukan rahasia, rasa memiliki itulah yang kerap menjadi masalah di Persib. Perang kepentingan muncul karena setiap orang, semua pihak di Persib, terlalu merasa memiliki klub ini. Sialnya, tak jarang itu membuat mereka melabrak batas.
Dari segi peraturan, ulah beberapa bobotoh di Stadion Patriot adalah pelanggaran. Kecintaan dan rasa memiliki yang mendasari aksi itu pada akhirnya kontraproduktif karena Persib dipastikan terkena sanksi dari otoritas liga dan Komisi Disiplin PSSI. Itu telah ditegaskan Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi. Sudah begitu, insiden tersebut pun menunjukkan sisi ketidakdewasaan bobotoh dalam mendukung tim kesayangannya.
Lalu, publik sudah lama mencurigai campur tangan terlalu dalam beberapa pengurus teras klub terhadap otoritas Djanur. Terutama menyangkut pembelian pemain hingga penentuan line-up. Tangan-tangan ini secara otomatis merecoki kewenangan Djanur sebagai pelatih.
Mei lalu, kala disinggung seorang penggemar sepak bola Indonesia di Twitter soal kiprahnya yang jeblok di Indonesia namun sukses di Hong Kong, Dejan Antonic mengungkapkan indikasi campur tangan itu. Dia berujar, "Di sini pelatih kerja bebas tidak ada instruksi dari orang lain.... Itu penting teman." Hal itu diduga tertuju ke Persib karena di Tweet sebelumnya, dia menulis, "Kurang bagus.....? Kamu lucu sekali, kamu lihat saya di Arema, Pro Duta, PBR??? Aduuuuh kamu lucu sekali."
Anthony Sutton, penulis buku Sepakbola, The Indonesian Way of Life, juga menengarai pembelian para pemain mahal macam Essien dan Carlton Cole tidaklah sesuai kebutuhan tim dan keinginan Djanur. Menurut dia, terlalu banyak pihak yang terlibat dalam perekrutan pemain. Dugaan ini bisa dimengerti karena faktanya Essien tak jadi andalan. Cole malah lebih sering jadi pemanis bangku cadangan dan terancam didepak lebih cepat.
Saat ini, sosok yang diduga terlampau campur tangan itu adalah manajer Umuh Muchtar. Malah ada sindiran, pelatih Persib yang sesungguhnya adalah WHU alias Wa Haji Umuh. Sampai-sampai ada yang meminta Umuh, meskipun peraturan liga membolehkan, tak usah lagi duduk di bangku cadangan supaya Djanur lebih fokus.
Advertisement
Utamakan Klub
Luapan kekecewaan yang hingga berupa cercaan, makian, dan hujatan terhadap Djanur di media sosial bereskalasi. Tanggapan emosional Djanur yang antara lain mengungkit-ungkit kontribusi yang telah diberikan para penguujatnya memperuncing keadaan. Bobotoh tersinggung dan balik menyerang dengan mengajukan ungkapan "Apalah sepak bola tanpa fans."
Pada akhirnya, semua menyakiti dan tersakiti. Dan itu tentu saja bukan solusi. Alih-alih bangkit, bisa jadi Pangeran Biru makin haru biru. Ada baiknya semua pihak menahan diri, tak memperuncing konflik. Tentu sambil meraba diri masing-masing. Jika dirasa sudah melewati batas, sebaiknya mundur, kembali ke posisi yang seharusnya. Terutama manajer, pelatih, dan para pengurus teras Persib.
Untuk Djanur, tegaskanlah posisinya sebagai pelatih yang memegang otoritas penuh menyangkut teknis permainan. Dia harus berani menolak bila ada campur tangan. Bagaimanapun, pelatihlah yang paling bertanggung jawab atas baik dan buruknya pencapaian tim. Jika memang tak sanggup melakukan itu, mundur adalah putusan terbaik.
Bagi WHU, tak perlu sibuk mengeluarkan jurus ini dan itu guna membantah tudingan miring. Bila memang dirasa melakukan campur tangan walaupun sedikit, sudahi saja. Kalau memang sebaiknya tak berada di bangku cadangan, tak usah berlindung di balik peraturan. Tirulah Ralf Rangnick di RasenBallsport Leipzig.
Musim 2015-16, Rangnick yang sejatinya direktur olahraga, turun menjadi pelatih dan membawa Leipzig promosi ke Bundesliga. Begitu musim berganti, Leipzig mendatangkan Ralph Hasenhuettl sebagai pelatih anyar. Rangnick kembali ke posisi semula. Hal yang menarik, dia memutuskan tak akan duduk di bangku cadangan.
Di Jerman, manajer atau direktur olahraga sudah jamak ikut duduk di bangku cadangan. Itu sudah berlangsung lama. Pada dekade 1970-an saja, Robert Schwan, manajer Bayern Muenchen, selalu duduk di samping Udo Lattek dan Dettmar Cramer. Namun, Rangnick tahu betul, walaupun tak mencampuri urusan Hasenhuettl, keberadaannya akan membuat risih para pemain dan sang pelatih baru. Dia memilih opsi yang dinilainya terbaik bagi klub.
Seperti Rangnick, demi kebaikan Persib, semua pihak, baik itu para bobotoh, Djanur, WHU, maupun para petinggi klub harus meletakkan cinta pada tempatnya. Tak perlu saling mengungkap jasa masing-masing dan mengaku diri sebagai yang paling berjasa. Itu hanya akan makin saling menyakiti. Bukankah yang paling utama adalah klub itu sendiri?
Ini juga berlaku untuk klub-klub lain yang mengalami hal serupa. Di antaranya Persegres Gresik United yang suporternya juga menyerbu lapangan saat menghadapi Persela. Pun bagi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita semua mengaku sangat mencintai Indonesia. Namun, karena cinta itu, kita saling klaim sebagai yang paling setia dan punya rasa memiliki paling tinggi. Hasilnya, kita saling tuding tanpa henti. Masalah kecil saja bisa membuat kita bertengkar siang-malam. Padahal, itu tidak lantas membuat Indonesia menjadi lebih baik.
*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz