Sukses

Refleksi Indonesia Open 2017, Target Satu Gelar Terwujud

Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir jadi pelepas dahaga Merah Putih di Indonesia Open 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Kemeriahan Indonesia Open 2017 berakhir. Tiongkok menjadi negara tersukses dengan menggondol dua gelar pada final yang digelar pada Minggu (18/6/2017) di Plenary Hall JCC, Senayan, Jakarta.

Sementara tuan rumah Indonesia, akhirnya bisa membawa satu gelar dari pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Setelah tampil di final dalam dua kesempatan sebelumnya, peraih emas Olimpiade 2016 itu dapat merayakan kemenangan di hadapan publik sendiri usai menaklukkan Zhang Siwei/Chen Qingchen dari Tiongkok.

Rekor baru juga dipecahkan tunggal putra India Kidambi Srikanth serta tunggal putri Jepang Sayaka Sato. Keduanya mencatatkan sejarah bagi negaranya yang belum pernah menjuarai Indonesia Open di masing-masing sektor.

Sekjen Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sekaligus Ketua Panitia Pelaksana Indonesia Open, Achmad Budiharto, mengaku puas lantaran tuan rumah berhasil memenuhi target untuk bisa mencuri gelar di turnamen ini. Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir berhasil menjadi juara di venue baru pengganti Istora Senayan, yang tengah direnovasi.

"Untuk atlet, kita memang menargetkan satu gelar, dan bisa tercapai. Tontowi/Liliyana akhirnya bisa juara, dari segi pembinaan dan regenerasi menjadi catatan penting untuk kita semua karena kita masih bertumpu pada pemain senior, padahal sempat berharap muncul beberapa pemain baru, " kata Achmad.

"Kami sempat berharap pada pasangan Fajar/Rian bisa berbuat lebih, tetapi ternyata mereka belum bisa mengatasi tekanan, mereka masih butuh pengalaman dan jam terbang lebih untuk bisa berhasil masuk ke level yang lebih tinggi," Budi menambahkan, saat jumpa pers usai final turnamen Indonesia Open 2017.

2 dari 2 halaman

Tantangan Pindahnya Venue ke JCC

Sebagai panitia pelaksana, Budi bersyukur bahwa pelaksanaan turnamen bisa berjalan dengan lancar meski mengalami keterlambatan jadwal tanding. Kendala untuk memindahkan venue dari Istora ke JCC juga bisa diatasi.

Kesuksesan turnamen yang digelar di JCC ini dianggap Budi bisa menjadi pertimbangan, jika di tahun depan, Istora masih belum siap digunakan untuk Indonesia Open 2018.

"Sangat memungkinkan karena tahun depan ada dua turnamen besar. Ada Premier of Premier di awal Juli, dan Istora tetap jadi kandidat venue utama. Tapi, belum tahu apakah dapat izin saat itu, maka JCC bisa menjadi salah satu cadangan," kata Budi lagi.

Bukan hal mudah untuk menaklukkan JCC menjadi venue ideal untuk menggelar ajang bulu tangkis. Kendala paling besar yang dikeluhkan para atlet adalah kondisi angin dari pendingin ruangan (AC) yang mengganggu aliran bola.

"Beberapa masukan menjadi mention tersendiri untuk kami, dan semoga ini yang pertama dan terakhir kita menggelar turnamen di bulan Puasa," ujar Budi.

Dalam kesempatan yang sama, Event Manager BWF, Darren Parks, mengapresiasi usaha panitia pelaksana yang menyulap JCC menjadi venue ajang olahraga. Selain masalah pendingin ruangan, secara keseluruhan perwakilan dari federasi bulu tangkis dunia itu tetap kagum pada cara panpel lokal menggelar Indonesia Open hingga meriah seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Pemindahan venue dari Istora ke JCC memang tidak mudah. Ini menjadi tantangan tersendiri, dan PBSI bersama panitia pelaksana berhasil mengatasi hal ini. Banyak hal yang harus kami setujui seperti keadaan AC. Jadwal yang berubah, karena bulan Ramadan, dan tentu pemain inginnya bisa selesai lebih awal, kami mengerti isu ini. Tetapi turnamen ini sendiri, Indonesia tidak pernah berhenti membuat saya kagum," jelas Darren Parks.

"Dengan orang-orang yang sangat mencintai bulu tangkis, dan tahu bagaimana semua harus berjalan, orang-orang yang ramah dan kami senang bisa bekerja dengan mereka. Hasil akhir pun menarik, setelah Olimpiade memang banyak yang berubah, dan saya bisa melihat banyak pemain baru pun bermunculan," ujarnya.