Liputan6.com, Jakarta - Thanabalan Nadarajah. Rasanya siapa pun yang mengaku pendukung timnas Indonesia pasti kesal bukan kepalang kepada striker Malaysia yang satu ini. Gara-gara gol sundulannya ke gawang Satria Tama pada semifinal, pupus sudah harapan Indonesia mencapai target supermuluk, emas SEA Games 2017.
Target emas di SEA Games memang masih terlalu berlebihan. Tak bisa dimungkiri, PSSI telah mendatangkan seorang pelatih hebat. Luis Milla adalah pelatih yang membawa Spanyol juara Piala Eropa U-21 pada 2011 meskipun itu dengan bantuan Juan Mata dan Javi Martinez yang setahun sebelumnya berada di skuat La Roja saat menjuarai Piala Dunia 2010.
Baca Juga
Akan tetapi, membebankan target emas dengan waktu yang hanya sekitar setengah tahun, terasa kurang realistis. Memang betul, impian harus digantungkan setinggi langit. Di mana pun berkompetisi, kita harus punya keinginan juara. Namun, bukankah manusia juga harus bisa mengukur dirinya? Lagi pula, seperti pernah dibahas di kolom ini sebelumnya (Satu Asa untuk Luis Milla), Luis Milla bukanlah Midas yang dengan sentuhannya bisa mengubah apa pun menjadi emas.
Beruntunglah ada gol menyesakkan dari Thanabalan. Berkat gol itu, insan-insan sepak bola negeri ini tak lantas terbuai dan lantas mendewakan Milla. Gol itu juga setidaknya mengembalikan kita pada kesadaran bahwa tak ada prestasi yang instan. Harus ada proses.
Akui sajalah masa-masa sekarang hingga beberapa tahun ke depan sebagai awal proses itu. Tak perlu muluk bermimpi terlebih dahulu. Tak perlulah terbuai mimpi emas SEA Games dan 4-besar Asian Games bila kita masih terlelap, tak ada gebrakan nyata dalam memajukan persepakbolaan dari akar rumput hingga kompetisi tertinggi.
Advertisement
Lalu, apakah Milla telah gagal? Kalau hanya berpatokan pada target, tentu saja gagal. Lha wong dia cuma bisa membawa Hansamu Yama Pranata cs. meraih perunggu, bukannya emas. Namun, bila kita melihat perkembangan timnas di bawah asuhannya, dia tidak bisa begitu saja disebut gagal. Tak bisa dimungkiri, ada perubahan dalam permainan Tim Merah-Putih.
Apalagi bila kita menyadari bahwa ini hanyalah awalan. Andaipun tak bisa menembus semifinal Asian Games pada tahun depan, Luis Milla tidak pantas disebut gagal bila terus membuat Merah-Putih bermain dengan lebih baik. Masa iya di tahap awal saja sudah harus juara?
Kisah Inspiratif
Jadi, cukuplah sesaat membenci, sebal, dan kesal terhadap Thanabalan. Cukuplah segala sumpah serapah baginya. Apalagi kalau segera mencari tahu sosok yang saking menyebalkannya membuat kita curiga, jangan-jangan dia memalsukan umur itu.
Ada kisah menarik terkait striker Malaysia yang selama gelaran SEA Games 2017 mengemas empat gol ini. Sejak empat tahun silam, dia ternyata menjadi tulang punggung keluarganya gara-gara sang ayah mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kelumpuhan. Sebagai anak tertua, Thanabalan pada umur 18 tahun secara de facto jadi kepala rumah tangga.
Hal yang sangat menarik, tekanan keadaan tak membuat Thanabalan terpuruk. Dia tak lantas lari dari kenyataan. Dia justru terlecut untuk menjadi pemain sepak bola hebat. Pada saat yang bersamaan, dia menunjukkan bakti luar biasa kepada ayah-ibunya.
Seperti dituturkan S. Nadarajah, sang ayah, kepada Harian Metro, Thanabalan selalu bergegas pulang begitu selesai berlatih di Kuala Lumpur. Setiba di rumah, dia memandikan, menggantikan pakaian, dan menggendong sang ayah ke tempat tidur.
Sang ibunda, V. Thiru Sundari, juga menggambarkan Thanabalan sebagai sumber kekuatan baginya. Dia sangat bangga karena sesibuk apa pun dengan latihan sepak bola, sang anak tak pernah terlena dan melupakan keluarganya.
Thanabalan juga pandai menggembirakan hati sang ayah, sosok yang mengenalkannya kepada sepak bola. Contohnya setelah menjejalkan gol tunggal ke gawang Indonesia. Dia bertutur kepada sang ayah bahwa dia mendengar instruksi sang ayah saat mencetak gol itu. Padahal, sang ayah berada jauh di rumahnya. Dia bahkan baru menonton langsung di stadion saat final.
Thanabalan memberikan pelajaran, kerja keras memanglah mutlak untuk menggapai kesuksesan. Namun, itu bukan segala-galanya. Dalam hidup, ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar kesuksesan di pekerjaan. Keluarga adalah salah satunya.
Advertisement
Melabrak Batas
Mengejar mimpi adalah hal wajar. Kingsley Coman, anak muda asal Prancis yang sudah menjuarai Liga Prancis, Italia, dan Jerman, mengatakan bahwa mengambil langkah maju dalam karier adalah keharusan. Makanya, dia memahami kepindahan kompatriotnya, Ousmane Dembele, dari Borussia Dortmund ke Barcelona.
Menurut Coman, bagaimanapun Barcelona adalah langkah maju bagi Dembele ketimbang bertahan di Dortmund. Kelas El Barca masih berada di atas Dortmund. Kelas La Liga juga masih di atas Bundesliga. Kalau menjadi Dembele, dia mengaku akan mengambil langkah yang sama.
Satu hal yang disayangkan oleh Coman adalah proses transfer Dembele yang diwarnai hal-hal negatif. Padahal, Dortmund berjasa mengorbitkannya dari hanya pemain Rennes di Ligue 1 menjadi sosok yang berkiprah di Liga Champions. Jasa itu seolah dilupakan begitu saja, tertutup oleh keinginan kuat untuk berlabuh di Camp Nou.
Tak bisa dimungkiri, Dembele -juga Virgil van Dijk jika jadi hengkang dari Southampton- pergi dengan mengguratkan luka. Dia pergi tidak dengan elegan, tidak dengan buket tanda cinta. Dia hengkang justru diiringi makian.
Sikap-sikap seperti ini sangat mungkin akan menjadi tren pada tahun-tahun ke depan. Apalagi dengan keberhasilan Dembele memaksa Dortmund menjualnya ke Barcelona. Ini akan jadi preseden buruk.
Indikasinya mudah saja. Saat ini, dengan mudahnya pemain-pemain meluapkan kekecewaan di media sosial. Tengoklah Jean Michael Seri yang mencak-mencak kepada Nice karena Barcelona urung merekrutnya. Padahal, sebelumnya, dia mengaku tak masalah jikapun harus bertahan di Allianz Riviera.
Lihat juga Leonardo Spinazzola yang di akun Instagram-nya memohon kepada manajemen Atalanta diizinkan pulang ke Juventus lebih awal. Dia mengatakan, Atalanta jangan sampai mematikan mimpinya.
Secara otomatis, ini memperberat kerja pelatih, manajer, dan direktur olahraga klub dalam menangani para pemain. Seperti diakui Carlo Ancelotti dalam bukunya, Quiet Leadership, Winning Hearts, Minds and Matches, tantangan kian besar karena makin kuatnya pengaruh orang-orang di sekeliling pemain.
Di tengah kegilaan yang tersaji di bursa transfer saat ini. Ketika ambisi mengejar karier gemilang begitu meraja, Thanabalan dengan kisahnya menjadi sebuah pengingat bagi kita bahwa ada hal-hal yang lebih penting dalam hidup ini. Terima kasih, Thanabalan!
*Penulis adalah komentator, jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz