Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 15 klub profesional menuntut transparansi kepada PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) dalam menjalankan kompetisi sebagai operator Liga 1. LIB diberi tenggat waktu agar bisa memenuhi tiga aspek yang jadi tuntutan utama klub-klub.
Tiga aspek utama tersebut adalah segi bisnis, legal atau hukum dan teknis. 15 klub yang menamakan dirinya Forum klub sepak bola profesional Indonesia tersebut merasa, ekspektasi untuk memajukan sepak bola nasional lewat elemen tersebut belum terpenuhi.
Advertisement
Baca Juga
"Kami memprioritas pengembalian perjanjian hukum yang ditandatangani di awal. Setelah ditandatangani kenapa berkas itu tak dikembalikan, padahal di sanalah kami sama-sama bisa me-review," kata Ridwan 'Bento' Madubun, perwakilan klub Persipura Jayapura dalam jumpa pers, Rabu (4/10/2017) di Senayan.
Selain Persipura, 14 klub lain yang bergabung menuntut LIB adalah Persija Jakarta, Arema FC, Bhayangkara FC, Madura United, Mitra Kukar, Persegres Gresik United, Persela Lamongan, Persiba Balikpapan, PSM Makassar, Borneo FC, Semen Padang, dan Sriwijaya. Mereka berencana mogok berkompetisi jika LIB tak beritikad menjelaskan kekurangan yang belum dipenuhinya pada peserta Liga 1.
"Apabila dalam 14 hari LIB tak mengembalikan perjanjian yang sudah kami serahkan di awal, kami 15 klub sepakat berhenti sementara untuk berkompetisi," kata media officer Persipura tersebut.
Menurut Bento, pengembalian perjanjian jadi prioritas mereka karena menentukan dasar hukum keikutsertaan seluruh klub di Liga 1. Mereka merasa dirugikan karena seluruh klub punya keterikatan hukum sendiri dengan pemain dan pemangku kepentingan di sepak bola.
Â
Â
Transparansi Regulasi
Selebihnya, para peserta Liga 1 ini mempertanyakan transparansi regulasi. Mulai dari wasit asing dalam pertandingan klub tertentu, pembagian keuntungan rating televisi, sampai pencabutan regulasi pemain U-23.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Persija Jakarta Gede Widiade, mengatakan tak puas pada rapat evaluasi dengan LIB di paruh pertama kompetisi. Dia menganggap seluruh evaluasi belum sesuai harapan.
"Kami mengerti hasil evaluasi, tapi kami juga mengundang mereka untuk klarifikasi dan bertanggung jawab. Dengan fakta-fakta yang telah terjadi, kami merasa sebagai objek penderita, bukan subjek pelaksana kompetisi," ucap Gede.
"Kalau tak ada perjanjian yang kami pegang, tak ada dasar hukum. Kami butuh equality, kesetaraan antara klub dan operator. Saya yang punya kewajiban hukum dengan pemain sampai pemilik stadion, bisa disanksi FIFA atau CAS (Badan Arbitrase Olahraga) kalau terjadi apa-apa," ucap Gede.
Advertisement