Liputan6.com, Jakarta - Tujuh giornata berlalu di Serie A, Napoli mengemas hasil menakjubkan. Klub arahan Maurizio Sarri tersebut selalu menang. Itu prestasi istimewa. Baru musim ini Napoli sanggup membukukan hal itu. Sebelumnya, prestasi terbaik mereka adalah sempurna dalam lima giornata saja pada 1987-88.
Tak hanya itu, I Partenopei juga menunjukkan ketajaman luar biasa. Sebanyak 25 gol berhasil dijejalkan ke gawang lawan. Jika dibandingkan dengan hasil klub-klub lain di lima liga besar Eropa dalam tujuh pekan awal, merekalah yang tersubur. Barcelona hanya mencetak 23 gol, Manchester City pun hanya membuat 22 gol.
Advertisement
Baca Juga
Adakah ini pertanda Napoli tak akan teradang untuk merebut Scudetto yang tak ubahnya impian lama bagi mereka? Banyak orang optimistis akan hal itu. Apalagi mereka yang sudah jenuh melihat Juventus merengkuh Scudetto dalam enam musim ke belakang.
Bagi Napoli, Scudetto memang baru sebatas mimpi belakangan ini. Mereka terakhir kali merebutnya pada 1989-90 bersama Il Dio, Diego Armando Maradona. Setelah itu, prestasi terbaik I Partenopei hanyalah runner-up. Itu diraih pada 2012-13 dan 2015-16.
Kini, impian itu kian nyata. Modal yang ada pun terbilang memadai. Dalam sembilan musim terakhir, tak pernah mereka terlempar dari 6-besar. Lalu, sejak Maurizio Sarri datang dari Empoli, I Partenopei selalu bercokol di 3-besar.
Musim ini, kepercayaan diri bisa lebih meningkat lagi. Hasil sempurna dalam tujuh giornata biasanya berujung Scudetto. Dalam tujuh kesempatan terdahulu, hanya ada dua anomali. Artinya, dengan modal itu, kans Napoli juara mencapai 71,43 persen.
Jikapun ada yang cukup mengganjal, hanya Juventus dan AC Milan yang juara dengan modal itu. I Bianconeri dalam empat kesempatan, I Rossoneri dalam dua kesempatan. Adapun Inter Milan dan AS Roma gigit jari. Bahkan, I Giallorossi menelan pil pahit itu saat mengawali musim dengan sepuluh kemenangan beruntun pada 2013-14. Bagaimana dengan Napoli?
Â
Â
Â
Â
Tanpa Beban
Itu pula rupanya yang membuat Sarri tak terlalu semangat berbicara soal Scudetto. Usai timnya membukukan rekor kemenangan dalam tujuh giornata awal, dia malah menyanjung sang pesaing berat, Juventus. Menurut dia, I Bianconeri saat ini adalah yang terbaik dalam enam tahun terakhir.
Sarri pun menandaskan, urusan Scudetto bukan melulu tergantung performa timnya, melainkan juga penampilan 19 klub lain yang berkiprah di Serie A. Dalam beberapa tahun terakhir, kata dia, banyak orang yang meramalkan mereka juara. Namun, faktanya, selalu Juventus yang merengkuh Scudetto.
Sarri rupanya ingin menjauhkan anak-anak asuhnya dari beban ekspektasi berlebihan. Dia tak ingin Hamsik dkk. terlena oleh sanjungan puja-puji hingga lupa menjejak bumi. Padahal, seperti yang dialami Roma dan Inter, awal baik bukan jaminan untuk meraih akhir yang juga baik.
Lagi pula, Napoli belum benar-benar teruji. Dalam tujuh giornata awal, Lazio adalah satu-satunya klub besar yang dihadapi. Mereka memang menang, tapi itu tak terlepas dari kondisi I Biancoceleste yang belum oke. Andai bertemu pada giornata ke-6 atau 7, hasilnya bisa saja berbeda.
Hal yang paling berbahaya memang buaian puja-puji. Tak terkecuali dari mantan bintang I Partenopi macam Antonio Careca dan Jose Altafini. Keduanya yakin Napoli akan mengakhiri paceklik Scudetto. Alasannya, I Partenopei adalah tim dengan permainan terbaik saat ini.
Pujian atas performa Hamsik cs. Juga dilontarkan Cafu, mantan penggawa AS Roma, dan mahaguru sepak bola Italia, Arrigo Sacchi. Cafu menilai Napoli saat ini selalu menampilan sesuatu yang lebih baik dari Juventus. Adapun Sacchi menyebut I Partenopei sebagai tim paling harmonis di Italia saat ini.
Puja-puji semacam ini sudah terbukti melenakan. Dua musim lalu, Napoli tetap saja gagal juara meskipun sang petahana sempat mengawali musim dengan buruk dan secara statistik tak mungkin lagi mempertahankan Scudetto. Sarri tak mau ini terulang. Maka dari itu, dia sebisa mungkin mengenyahkan ekspektasi berlebihan dari pundak para pemainnya.
Advertisement
Bukan Soal Permainan
Orang-orang yang menjagokan Napoli musim ini selalu mengedepankan permainan ciamik, rancak, memikat, dan efektif sebagai alasan utama. Namun, itu tetaplah bukan jaminan juara. Kita bisa dengan mudah menemukan tim-tim yang mati dalam keindahan.
Belanda era Totaal Voetbal pada 1970-an adalah contoh termudah. Meski diakui sebagai salah satu tim dengan permainan terbaik sepanjang masa, mereka gagal meraih trofi. Dua kali mereka tersungkur di final Piala Dunia secara beruntun.
Terbaru, tentu saja Indonesia di Piala AFF U-18 lalu. Siapa pun rasanya tak bisa menyangkal bahwa Garuda Muda saat itu adalah yang terbaik dari segi permainan. Toh, tim asuhan Indra Sjafri tersingkir juga di semifinal karena kalah adu penalti dari Thailand yang lantas juara.
Dalam sebuah kompetisi yang panjang, hal paling menentukan adalah menjaga stabilitas permainan. Ini bukan hal mudah karena pada suatu titik, sebuah tim pasti akan berada pada fase sulit. Fase ketika mereka begitu sulit menang, bahkan begitu susah mencetak gol. Fase ketika Fortuna, sang dewi keberuntugan, seolah menjauh pergi entah ke mana.
Napoli saat ini belum menemui fase itu. Ujian sesungguhnya akan datang usai international break nanti. Di Serie A dan Liga Champions, mereka harus melawat ke kandang Roma dan Manchester City, lalu menjamu Inter. Tiga laga ini kiranya akan menjadi parameter kesiapan mereka merengkuh gelar.
Itulah masa pembuktian dari tekad Hamsik yang menyatakan, "Sekarang atau tidak sama sekali!" Lolos dari ujian ini, mereka bolehlah lebih optimistis memburu Scudetto. Jikapun tersandung, sangat penting melihat reaksi mereka nanti. Sudahkah mentalitas juara tertanam di dada mereka?
Mentalitas juara ini penting. Kadang kala orang terjebak menilai hal tersebut sebagai mental yang tumbuh dari kebiasaan merengkuh juara. Sesungguhnya, mentalitas juara lebih merujuk pada kekuatan mental dan keyakinan diri yang kuat dalam menggapai trofi. Leicester City di premier League pada 2015-16 adalah contohnya. Mereka juara karena yakin akan hal itu dan menunjukkan keyakinan itu di lapangan.
Saat ini, Napoli memiliki semua syarat untuk juara. Mereka punya permainan oke, skuat yang solid karena tak terlalu berubah dalam beberapa tahun terakhir, dan menunjukkan semangat juara. Belum lagi, seperti diungkapkan Ottavio Bianchi, Juventus sebagai petahana dan pesaing utana sudah menua. Juve pun sangat mungkin lebih fokus mengakhiri kepenasaran di Liga Champions.
Itu semua modal berharga. Namun, pada akhirnya, stabilitas permainan dan konsistensi menunjukkan mental juara di lapangan adalah hal utama. Andai mampu melakukan hal itu dan belajar banyak dari pengalaman dua musim terakhir, Scudetto tak akan lagi hanya mimpi bagi Hamsik dkk.
*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.