Sukses

KOLOM: Zidane, Antara Sang Terbaik dan Sang Terpilih

Zidane terpilih menjadi yang terbaik dan bagaimana pula dengan pelatih terpilih?

Liputan6.com, Jakarta - Pelatih Terbaik Dunia 2017. Itulah penghargaan yang diterima Zinedine Zidane dalam The Best FIFA Football Awards 2017. Dalam acara penganugerahan yang dilakukan pada Senin (23/10/2017), Zidane unggul atas dua pelatih Italia, Antonio Conte (Chelsea) dan Massimiliano Allegri (Juventus).

Berdasarkan hasil pemungutan suara terhadap para pelatih dan kapten tim nasional negara anggota, jurnalis, serta fans, Zidane menang mutlak. Dia meraih 46,22 persen suara. Di belakangnya, Conte hanya memperoleh 11,62 persen suara. Adapun suara yang didapatkan Allegri sebanyak 8,78 persen saja.

Kalau mau menepuk dada, sah saja bila Zidane mengklaim diri sebagai pelatih paling hebat sedunia pada saat ini. Dengan keunggulan mutlak itu, rasanya boleh-boleh saja jika dia memandang rendah para pelatih lain. Namun, Zizou tidaklah begitu.

Zizou tahu, meskipun labelnya “terbaik”, sesungguhnya pemilihan semacam itu sangatlah subjektif. Para pemilik suara bisa memilih siapa saja, bahkan dengan mata terpejam sekalipun. Dia sadar, penghargaan yang diterimanya dari FIFA tak lebih dari sebuah pengakuan atas prestasinya pada musim lalu.

Zidane juga tak menganggap anugerah itu miliknya pribadi. “Saya menerima anugerah ini dan saya pikir ini merupakan pengakuan atas kerja kami sepanjang musim lalu,” terang Zizou kepada Diario AS. “Kami telah memenangkan banyak trofi bersama sebagai sebuah tim.”

Pelatih Real Madrid, Zinedine Zidane berpose dengan Cristiano Ronaldo setelah meraih penghargaan pelatih terbaik pada acara The Best FIFA Football Awards 2017 di London,Inggris (23/10). (AFP Photo/Ben Stansall)

Soal predikat terbaik, pahlawan Prancis saat juara Piala Dunia 1998 tersebut berujar, “Jika Anda bertanya apakah saya pelatih terbaik di dunia, saya akan menjawab tidak. Itu karena memang saya percaya ada pelatih-pelatih lain yang lebih baik dari saya.”

Zidane menegaskan, untuk bisa mengklaim sebagai pelatih terbaik, dirinya perlu bertahan setidaknya satu dekade ke depan dan tetap meraih trofi demi trofi. Menurut dia, jika itu terjadi, bolehlah orang menanyakan kembali apakah dirinya pelatih terbaik di dunia.

 

 

 

2 dari 3 halaman

The Chosen One

Anugerah-anugerah seperti itu, termasuk juga Ballon d’Or dan Golden Boy, memang pada dasarnya hanya sebuah apresiasi terhadap prestasi jangka pendek. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, ajang tersebut, seperti pernah ditulis di kolom ini pada 2015 (Messi Vs Ronaldo Lagi, Ballon d’Or Kian Membosankan), tak lebih dari kontes popularitas.

Jadi, alih-alih mengatakan sosok-sosok penerima anugerah itu sebagai the best one, lebih tepat bagi kita menyebut mereka sebagai the chosen one. Ya, mereka bukan yang terbaik, melainkan yang terpilih. Mereka terpilih untuk menerima anugerah itu, walaupun sebenarnya entah pantas ataupun tidak.

Patut dicatat pula, predikat terbaik bukan jaminan untuk bisa melanjutkan kiprah dengan sama bagusnya. Tengok saja tahun lalu. Di ajang The Best FIFA Football Award 2016 yang diumumkan pada 2 Desember 2016, Claudio Ranieri adalah sosok yang terpilih sebagai pelatih terbaik.

Akan tetapi, empat bulan kemudian, sang pelatih terbaik dunia, didepak dari kursi manajer Leicester City. Sungguh tak masuk akal melihat Ranieri yang didapuk sebagai pelatih terbaik karena membawa The Foxes menorehkan sejarah malah membawa klubnya terseok-seok di papan bawah dan kemudian dipecat.

Pelatih Real Madrid, Zinedine Zidane bersalaman dengan Claudio Ranieri setelah meraih penghargaan pelatih terbaik pada acara The Best FIFA Football Awards 2017 di London, (23/10). (AFP Photo/Ben Stansall)

Sebut saja Ranieri sebagai anomali. Namun begitu, hal yang dialaminya adalah pelajaran berharga bagi kita semua yang juga selalu terlibat dalam pemilihan-pemilihan serupa. Bukankah setiap lima tahun sekali kita ikut merayakan pesta demokrasi dengan memimpin wakil dan pemimpin kita?

Walaupun konteksnya berbeda, patutlah kita sadari bahwa sang the chosen one belum tentu bisa mewujudkan berbagai harapan dan tuntutan. Karena itu tadi, the chosen one belum tentu the best one. Jangankan itu, bisa jadi dia bukanlah the right one.

Meskipun demikian, perlu disadari pula, sebenarnya seburuk apa pun the chosen one, dia selalu punya potensi untuk menjadi the right one atau bahkan the best one. Syaratnya, biarkan saja dia bekerja dan menunjukkan kemampuannya. Bila kemudian jeblok, ya jangan jadikan dia the chosen one lagi pada kontes berikutnya.

3 dari 3 halaman

Selalu Perlu Waktu

Sosok the best one yang jadi the chosen one sekalipun selalu perlu waktu untuk memperlihatkan kehebatannya. Bahkan kadang tidak sebentar. Buktinya, lihat saja Pep Guardiola, pelatih yang bagi sebagian orang adalah the best one, di Manchester City.

Di City, Guardiola adalah the chosen one, sosok yang dipilih untuk mewujudkan misi menjadi klub terhebat dunia. Namun, meski mampu secara instan membawa kesuksesan saat menangani Barcelona dan Bayern Munich, dia gagal total pada musim pertamanya.

Musim lalu, The Citizens nirtrofi. Bagi Guardiola, itu noda tersendiri. Sebelumnya, dia selalu meraih setidaknya satu trofi. Lalu, di Liga Champions pun untuk kali pertama dia gagal membawa klub asuhannya masuk 4-besar.

Bila ukurannya trofi, Guardiola gagal. Dia bahkan kalah dari pelatih yang digantikannya, Manuel Pellegrini. Pada 2015-16, musim terakhirnya di Stadion Etihad, Pellegrini masih sempat membawa Man. City juara Piala Liga dengan mengalahkan Liverpool di partai puncak.

Musim ini, dengan belajar dari kegagalan musim lalu, Guardiola mulai menunjukkan sentuhan midasnya. The Citizens jadi monster menakutkan. Hingga tulisan ini dibuat, mereka tercatat selalu menang dalam sebelas laga beruntun di semua ajang.

Pelatih Manchester City, Pep Guardiola, memberikan instruksi saat anak asuhnya melawan Burnley pada laga Premier League di Stadion Etihad, Manchester, Sabtu (21/10/2017). City menang 3-0 atas Burnley. (AP/Martin Rickett)

Itu pun diraih tidak dengan cuma-cuma. Pada awal musim, Guardiola memaksa Man. City mengeluarkan tak kurang dari 220 juta pounds untuk belanja pemain baru. Patut dicatat, langkah itu membuat The Citizens kembali berada dalam radar UEFA karena berpotensi melanggar aturan Financial Fair Play (FFP).

Jadi, rasanya tak pada tempatnya bila belum apa-apa kita sudah menganggap seorang the chosen one tak akan jadi the right one dan the best one. Apalagi jika itu hanya karena dia bukan sosok yang kita pilih. Bukankah akan lebih terpuji bila kita mendorong the chosen one, siapa pun itu dan seburuk apa pun dia, untuk menjadi the best one?

*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.