Sukses

KOLOM: Tamparan Tuhan untuk Italia

Italia gagal ke Piala Dunia 2018 setelah kalah 0-1 secara agregat dari Swedia di babak play-off.

Liputan6.com, Jakarta Tak ada Italia di Piala Dunia. Selama enam dekade, itu ibarat kemustahilan. Italia harus selalu ada di ajang sepak bola terakbar sejagat itu. Memang, Italia tidak seperti Brasil yang tak pernah absen. Namun, Italia adalah salah satu pemberi warna di Piala Dunia.

Bersama Jerman, Italia adalah kolektor empat gelar juara. Itu hanya kalah dari Brasil yang lima kali juara. Dalam deretan pemegang rekor di Piala Dunia juga ada orang-orang Italia. Sebut saja Vittorio Pozzo, Paolo Maldini, dan Alessandro Del Piero.

Timnas Italia juga menjadi pelaku dalam beberapa tonggak penting. Merekalah tim pertama yang mampu mempertahankan gelar. Mereka juga pionir pemakaian "pemain asing", oriundi. Lalu, jangan lupakan insiden Battle of Santiago dan tandukan Zinedine Zidane.

Jadi, sangat wajar bila banyak orang sedih, kecewa, dan menyayangkan Italia gagal ke Piala Dunia 2018. Mereka meratapi kemustahilan yang dihadirkan Tuhan di San Siro lewat rombongan pemain berkostum kuning dari Skandinavia. Tak kurang dari Joachim Loew, pelatih timnas Jerman, mengutarakan keprihatinannya. Padahal, siapa pun tahu, Italia itu bak nemesis bagi Jerman.

Akan tetapi, kiranya tidaklah sukar memahami kegagalan Italia. Mereka memang tidak pantas berada di Rusia. Tuhan, atau Dewa Sepak Bola, tak lagi mau menolong Gli Azzurri karena mereka kini memang tak perlu ditolong. Italia perlu ditampar agar bangun dari buaian kenangan masa lalu.

Gelandang Swedia Jakob Johansson (kedua kiri) merayakan gol bersama rekan setimnya saat melawan Italia dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2018 di Solna, Swedia (10/11). Timnas Italia takluk 0-1 dari Swedia. (AFP Photo/Soren Andersson)

Tuhan telah berkali-kali menolong Italia di Piala Dunia. Pada 1934 dan 1938, Dia mencegah Giuseppe Meazza dkk. dieksekusi Benito Mussolini. Dia biarkan Gli Azzurri berjaya bersama Vittorio Pozzo mesti dengan bantuan oriundi dan deretan kontroversi. Andai saja gagal juara di salah satu edisi itu, niscaya akan ada pesta pemenggalan kepala Meazza dkk.

Tuhan juga menurunkan tangan-Nya saat Italia juara pada 1982 dan 2006. Dua gelar itu Dia berikan guna menghapus coreng dosa Totonero dan Calciopoli. Dengan Piala Dunia, harkat sepak bola Italia tetap terjaga di mata dunia. Berkat aksi Paolo Rossi dan Marco Materazzi, orang-orang pun sedikit melupakan Totonero dan Calciopoli.

 

2 dari 3 halaman

Tak Punya Bintang

Mengapa Tuhan tak ingin menolong Italia sekarang? Seperti disampaikan sebelumnya, itu karena mereka tak pantas diberi pertolongan. Mereka bukanlah tim hebat seperti sebelum-sebelumnya. Gli Azzurri tak ubahnya kumpulan pensiunan dan anak-anak bau kencur.

Saat ini, akan sangat sulit menjawab bila ada yang bertanya, "Siapakah bintang sepak bola dunia asal Italia?" Nama-nama yang muncul tinggallah para veteran. Gianluigi Buffon salah satunya.

Andrea Belotti, Ciro Immobile, Federico Bernardeschi, Gianluigi Donnarumma, Alessandro Florenzi, hingga Davide Zappacosta bisa saja disebutkan orang. Namun, benarkah mereka sudah berada di kelas internasional atau bahkan dunia? Sulit mengatakan itu karena sebagian malah hanya menjadi back up di klubnya. Sebagian lain, macam Donnarumma, barulah talenta yang mentas dan tak serta-merta menjadi dewa di klubnya.

Mereka beda dengan Del Piero, Maldini, Francesco Totti, Roberto Baggio yang bukan hanya berstatus bintang. Del Piero cs. adalah ikon di klub masing-masing dan Serie A. Merekalah anak-anak lokal yang mengimbangi para stranieri luar biasa yang menyerbu Italia sebagai kiblat sepak bola saat itu.

Timnas Spanyol menang 3-0 atas Italia pada laga lanjutan Grup G kualifikasi Piala Dunia 2018, di Santiago Bernabeu, Jumat (2/9/2017). (AP Photo/Francisco Seco)

Bukan hanya Italia yang gagal ke Piala Dunia karena hal ini. Belanda pun begitu. Cobalah Anda sebutkan bintang-bintang berkelas dunia yang ada saat ini setelah era Arjen Robben cs. Niscaya sulit. Itu karena banyak penggawa muda Belanda yang sempat memesona, tapi lantas menuju ketiadaan dalam waktu singkat. Sebut saja Memphis Depay, Vincent Janssen, dan Jasper Cillessen.

Memang serbasalah bagi para pemain muda Belanda. Di satu sisi, Eredivisie hanyalah liga semenjana di elite Eropa. Berlama-lama di sini tak akan lantas menaikkan kelas mereka. Namun, sialnya, ketika terburu-buru memilih jalan sulit dengan bergabung ke klub-klub di liga elite Eropa, mereka ternyata belum siap juga.

Gejala gap antargenerasi di Italia dan Belanda itu tidaklah muncul baru-baru ini saja. Tanda-tandanya sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Bagi Italia, tanda tegasnya tentu keterpurukan di Piala Dunia 2014. Adapun Belanda jelas-jelas harus move on dari generasi emas Robben cs. setelah gagal lolos ke EURO 2016. Namun, Italia dan Belanda tetap saja tak sadar diri hingga Tuhan jengah dan lantas menampar dengan menjauhkan keduanya dari Rusia 2018.

Italia dan Belanda mengingatkan kepada Jerman pada akhir 1990-an. Mereka tak punya bintang-bintang muda baru hingga berkutat dengan generasi emas yang membawa mereka juara Piala Dunia 1990 dan Piala Eropa 1996. Jerman pun lantas ditampar Tuhan di Piala Eropa 2000, terutama lewat hat-trick Sergio Conceicao.

3 dari 3 halaman

Tak Lagi Ditakuti

Ah, apalah arti bintang-bintang? Bukankah banyak tim semenjana tanpa bintang besar yang tetap bisa melenggang ke Rusia? Sangat mungkin dalih itu terlintas di kepala Anda. Islandia dan Panama misalnya. Mereka tak punya bintang berkelas dunia.

Pada dasarnya, bintang hanyalah katalisator semata. Hal terpenting adalah menjadikan tim sebagai bintang itu sendiri. Itulah yang diinginkan Joachim Loew di timnas Jerman dan dia buktikan di Piala Konfederasi lalu.

Bagi para semenjana yang ternyata lolos ke Piala Dunia, ada faktor-faktor lain yang sangat berperan. Pertama, tentu saja kehendak Tuhan. Lihat saja Panama yang lolos berkat gol hantu saat melawan Kosta Rika. Kedua, persaingan yang tak ketat karena berada di grup mudah saat kualifikasi. Ini faktor yang antara lain memuluskan langkah Islandia.

Ketiga, pergeseran peta persaingan sepak bola regional. Salah satunya, degradasi kualitas tim-tim raksasa. Ini paling kentara di Afrika serta Amerika Tengah dan Utara. Kini, Kamerun dan Pantai Gading bukan siapa-siapa. Begitu pula Amerika Serikat.

Memang benar, hal terpenting menjadikan tim sebagai bintang utama. Namun, tak bisa dimungkiri pula, keberadaan bintang-bintang akan meningkatkan pamor sebuah tim. Sebaliknya, penurunan jumlah atau malah ketiadaan bintang dari sebuah tim yang biasanya disesaki bintang tentu akan membuat mereka tak lagi ditakuti.

Kamerun gagal lolos ke Piala Dunia 2018 usai ditahan imbang Nigeria 1-1, Senin (4/9/2017) atau Selasa pagi WIB. (AFP / PIUS UTOMI EKPEI )

Itulah yang dialami Italia dan Belanda saat ini. Siapa pun yang menghadapi mereka pasti lebih percaya diri. Beda halnya dengan saat kedua tim itu disesaki bintang-bintang menawan. Siapa pun pasti keder. Mungkin sampai terkencing-kencing karena takut bukan main. Para semenjana, karena minder, sudah memastikan kalah sebelum bertanding.

Jermaine Jones, mantan pemain timnas AS, dengan geram mengutuk ketiadaan bintang-bintang itu sebagai alasan kegagalan Sam's Army. Menurut dia, AS terlalu didominasi pemain MLS. Padahal, dulu, hal yang jelas-jelas membuat mereka ditakuti adalah keberadaan pemain-pemain yang ditempa di Eropa. Kini, karena anomali hanya milik segelintir pemain macam Christian Pulisic, Sam's Army pun tak lagi ditakuti dan akhirnya gagal ke Rusia 2018.

*Penulis adalah pemerhati dan jurnalis sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.