Sukses

KOLOM: Giacomelli, Beratnya Tugas Seorang Wasit

Pietro Giacomelli wasit yang memimpin pertandingan Lazio vs Torino, 11 Desember lalu mendapatkan teror.

Liputan6.com, Jakarta - Apakah pekerjaan paling berat di sepak bola? Wasit. Sebagian dari kita mungkin menyebut penjaga gawang. Siapa pun tahu, semua penjaga gawang selalu dituntut tampil sempurna karena satu kesalahan saja bisa membuat timnya mengalami kekalahan.

Penjaga gawang tak seperti striker yang tak akan dicerca meski hanya mencetak satu gol dari sekian banyak peluang. Tak peduli tubuhnya nyaris membeku karena cuaca dingin dan timnya jarang diserang lawan, seorang kiper harus membuat penyelamatan gemilang begitu bola tiba-tiba meluncur ke gawangnya. Begitu kata Oliver Kahn, mantan kiper timnas Jerman.

Selain kiper, pelatih mungkin jadi jawaban atas pertanyaan itu. Seorang pelatih hanya boleh sukses. Kalau bisa, selain sukses meraih trofi, dia juga harus membawa timnya bermain indah, sesuai dambaan banyak orang. Gagal memberikan itu, pemecatan bisa datang kapan saja. Caci maki pun akan mengiringi hingga masa pensiun tiba.

Musim ini, kita melihat Carlo Ancelotti, pelatih yang sangat terhormat dari Italia, dilengserkan Bayern Muenchen. Lalu, tengok juga Frank de Boer, Ronald Koeman, Peter Bosz, dan Vincenzo Montella yang juga terjengkang dari kursi pelatih. Mereka jadi korban keterpurukan klub masing-masing.

Ketika sebuah klub mengalami masa sulit, langkah paling mudah memang mengganti pelatih. Itu pun lebih murah ketimbang memecat semua pemain dan merombak total tim. Bila kemudian pergantian pelatih tak langsung berdampak, itu lain soal. Tinggal lakukan langkah lain. Misalnya ritiro seperti yang dilakukan AC Milan saat ini.

Akan tetapi, bila melihat nasib Pietro Giacomelli saat ini, rasanya tidak salah untuk menyebut pekerjaan terberat di sepak bola adalah wasit. Sebagai pengadil di lapangan, dia dituntut mewujudkan keadilan di lapangan. Sulitnya, dia juga harus memuaskan semua pihak.

Tifosi Lazio dalam sorotan karena teror kepada wasit Pietro Giacomelli (AFP/Filippo Monteforte)

Seperti penjaga gawang, seorang wasit harus tampil sempurna, tanpa cela. Saking harus sempurna, wasit zaman sekarang bahkan harus dibantu oleh berbagai teknologi bantuan. Mula-mula, earpiece untuk berkomunikasi dengan para asistennya. Lalu, ada vanishing spray, goal-line technology, dan video assistant referee.

 

 

2 dari 3 halaman

Tragedi Giacomelli

Wasit Pietro Giacomelli (kanan) yang memimpin duel Lazio vs Torino dapatkan teror usai tak memberikan penalti untuk Lazio (Andreas SOLARO / AFP)

Semua alat bantu itu diperlukan untuk menjamin semua pertandingan tak diwarnai kontroversi. Tak peduli justru kontroversi-kontroversi itulah yang jadi kisah-kisah legendaris di sepak bola. Tak peduli juga bahwa alat-alat bantu itu justru merendahkan martabat wasit yang kini dianggap renta dan tak awas lagi.

Sialnya, alat-alat bantu itu pun tak lantas membuat beban wasit berkurang. Itu karena tugas utama wasit bukan hanya menentukan gol atau tidak gol, penalti atau tidak penalti. Tugas utama wasit adalah membuat putusan-putusan terkait semua i

nsiden yang terjadi di lapangan dan mengomunikasikannya kepada semua pihak.

Bukan hanya gol, wasit harus memutuskan sebuah pelanggaran patut diberi peringatan lisan, kartu kuning atau kartu merah. Dia juga harus menilai hardikan pemain di lapangan masih bisa ditoleransi atau tidak. Putusan-putusan itu tetap saja berpotensi membuat hidup sang wasit jadi lebih sulit.

Itulah yang dialami Giacomelli saat memimpin laga Lazio vs Torino di Serie A, 11 Desember lalu. Gara-gara tak memberikan penalti bagi Lazio dan mengusir Ciro Immobile dari lapangan hijau, dia dihujat para tifosi fanatik Gli Aquilotti. Hidup pria berumur 40 tahun dari Trieste itu pun berubah. Ketenangan jadi barang langka baginya. Mungkin Natal nanti akan jadi yang paling mencekam baginya.

Striker Torino, Andrea Belotti (tengah) rayakan gol Torino (Andreas SOLARO / AFP)

Giacomelli jadi sasaran kemarahan. Layaknya para pembenci yang mempermasalahkan semua hal, para tifosi Lazio menyerang semua lini kehidupannya secara membabi buta. Di TripAdvisor, mereka bahkan memberikan rating buruk bagi Kafe Rossetti dari empat menjadi hanya satu. Saking membabi buta, mereka abai bahwa Giacomelli bukan lagi pemilik kafe itu dalam setahun terakhir.

Tak berhenti di sana, para tifosi Lazio dikabarkan coba menyeret sang wasit ke meja hijau. Melalui biro hukum Previti, mereka mengajukan gugatan class action terkait putusan-putusan sang wasit yang dianggap merugikan Gli Aquilotti. Mereka meminta kompensasi atas hal itu.

Giacomelli kian tersudut karena Komisi Wasit FIGC tak memberikan perlindungan nyata atas serangan membabi buta itu. Sebaliknya, mereka justru akan menginvestigasi sang wasit atas laporan media massa yang menyebutkan dia memasang foto Francesco Totti tengah mengeksekusi penalti di akun Facebook-nya. Itu ditengarai sebagai indikasi keberpihakan. Lagi pula, Giacomelli menggunakan nama alias di akun Facebook-nya. Itu melanggar aturan yang ada.

3 dari 3 halaman

Tekanan Berat

Graham Poll (kanan) saat masih bertugas jadi wasit (CARL DE SOUZA / AFP)

Kisah Giacomelli ini mengingatkan pada penjelasan mantan wasit Inggris, Graham Poll, yang dituturkan dalam buku Seeing Red. Di buku itu, Poll menjabarkan betapa berat tekanan yang dihadapi seorang wasit. Tak hanya dari satu atau dua arah, tekanan datang dari berbagai penjuru.

Ketika membuat putusan di lapangan, kata Poll, tak jarang para pemain dari salah satu tim melancarkan protes bersama-sama. Tak jarang, ada umpatan-umpatan yang terlontar dari mulut mereka. Tekanan itu diulangi usai pertandingan lewat wawancara dengan media.

Tak hanya pemain, pelatih pun kerap melakukan hal itu dalam wawancara pascalaga. Mereka mempertanyakan putusan yang diambil pengadil. Ironisnya, terang Poll, mereka tak jarang melontarkan kecaman dengan disertai logika yang berantakan.

Tekanan serupa datang dari para suporter dan media. Para suporter pasti akan menghujat habis-habisan ketika seorang wasit dinilai membuat putusan-putusan yang merugikan tim kesayangannya. Poll bahkan pernah diusir oleh sekelompok suporter Newcastle United di sebuah kafe. Dia bahkan tak diizinkan menghabiskan minuman yang dipesannya.

Sementara itu, media dengan mudahnya membuat headline kontroversial. Mereka akan mengekspos habis-habisan keterangan yang dinilai memiliki nilai berita dari seorang pemain. Tentu saja, di sini berlaku bad news is a good news. Makin kontroversial keterangan sang pemain atau pelatih, makin bernilailah dia. Sialnya, itu kadang tak diverifikasi terlebih dahulu.

Graham Poll (kanan) saat masih bertugas jadi wasit (CARL DE SOUZA / AFP)

Poll ingat betul, suatu ketika Ashley Cole berkata kepada jurnalis, "Frank Lampard mengatakan kepada saya, wasit Poll berujar bahwa kami harus mendapatkan pelajaran." Padahal, kata Poll, sejatinya dia hanya mengingatkan Lampard untuk meredam tensi rekan-rekannya yang mulai tak terkendali.

Terlepas dari segala tekanan itu, seorang wasit tak bisa menghindari tugasnya mengambil putusan-putusan di lapangan. Itu adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Mereka tak boleh ciut oleh segala konsekuensi yang ada karena sejatinya, mereka adalah orang-orang terpilih.

Seperti kata Sir Alex Ferguson, mantan manajer Manchester United, wasit adalah sosok istimewa karena kemampuannya mengambil putusan. Itu sebabnya, tak banyak orang yang memilih menekuni pekerjaaan ini. Beda halnya dengan menjadi pesepak bola yang dicita-citakan oleh demikian banyak anak-anak di berbagai penjuru dunia.

*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.