Liputan6.com, Jakarta - Masalah. Siapa sih yang mau bermasalah dan dikelilingi masalah? Rasanya tak ada orang yang mau seperti itu. Apalagi bila bermasalah dengan orang-orang yang punya kekuasaan. Berabe urusannya. Kelar idup lo! Itu pula sepertinya yang dirasakan gelandang Schalke 04, Leon Goretzka.Â
Akan tetapi, siapa pun tak bisa menghindari masalah. Sepanjang masih bisa bernapas, manusia selalu dihadapkan dengan masalah. Manusia tak akan lagi bermasalah bila memang hidupnya sudah kelar. Seperti kata Joseph Stalin, hanya kematian yang mengakhiri semua masalah manusia.
Advertisement
Baca Juga
Meskipun begitu, bukan berarti kita boleh bermain-main dengan masalah atau mencari-cari masalah. Memang benar, kita bisa mempermasalahkan segala masalah, mempersoalkan semua persoalan, bahkan memerkarakan semua perkara. Namun, alangkah bijak bila kita bisa memilah dan memilih, mana yang pantas dipermasalahkan, mana pula yang sepatutnya tak dipermasalahkan apalagi sampai diperkarakan.
Paling mudah itu mempermasalahkan pendapat, putusan atau pendirian orang lain. Tentu dengan nada menyalahkan karena merasa diri sebagai yang paling benar. Kiranya, sudah bawaan manusia untuk cenderung merasa seperti itu. Padahal, siapa pun tahu, mahabenar dan mahatahu adalah sifat khalik, bukan makhluk.
Saat ini, kiranya yang mengaku paling benar itu adalah para fans fanatik FC Schalke 04. Adapun yang paling salah, ya sudah tentu Leon Goretzka. Gara-garanya sederhana. Sang gelandang setuju pindah ke Bayern Muenchen saat kontraknya di Schalke usai, akhir Juni nanti.
Bagi para fans Schalke, putusan pemain berumur 22 tahun itu salah sehingga harus dipermasalahkan. Bagaimanapun, dari sudut pandang fans, hal terpenting dan paling mulia adalah kesetiaan. Itulah yang paling berharga di mata mereka. Pindah, apalagi ke klub yang paling dibenci, adalah pengkhianatan terbesar. Dan seorang pengkhianat sangat layak untuk dihujat.
Maka muntahlah sumpah serapah. Bukan hanya lewat lisan, melainkan juga lewat tulisan, bentangan spanduk raksasa di Veltins Arena saat Die Koenigsblauen menghadapi Hannover 96. Intinya, ya menegaskan bahwa Goretzka telah salah jalan dan tak bisa dimaafkan. Kalau boleh, dia sepatutnya dirajam dengan batu-batu tajam.
Â
Â
Pilihan Logis
Bagi Goretzka, itu sungguh mengherankan dan berlebihan. Selama 4,5 tahun berada di Veltins Arena, dia sudah melihat banyak pemain andalan, bahkan didikan asli Die Knappenschmiede, yang hengkang. Namun, gelombang kekecewaan yang muncul tak seperti yang dia dapatkan.
Pemain andalan angkat kaki dari Schalke adalah hal biasa. Awal musim ini, Sead Kolasinac pergi ke Arsenal. Semusim sebelumnya, Leroy Sane hijrah ke Manchester City, sedangkan Joel Matip menerima pinangan Liverpool. Namun, kepergian mereka tak lantas menimbulkan gelombang hujatan seperti yang menghajar Goretzka saat ini.
Padahal, alasan kepindahan mereka sama saja dengan Goretzka. Mereka pergi karena Schalke itu madesu. Jauh panggang dari api untuk merengkuh trofi bila bertahan di sana. Gelar juara terakhir yang diraih Die Knappen adalah DFB Pokal 2010-11. Itu pun diraih setelah sembilan musim menanti.
Di Bundesliga 1, Schalke hanya juara selama 4 menit pada 2001. Mereka berpesta layaknya juara sebelum Patrik Andersson melesakkan bola ke gawang Hamburger SV di Volksparkstadion pada menit akhir injury time. Itu satu-satunya gol Andersson selama membela Bayern. Sebuah gol yang abadi di hati fans Die Roten dan Die Koenigsblauen.
Jadi, ya wajar saja bila Goretzka menerima pinangan Bayern. Dia tentu tidak buta, berapa banyak piala sudah direngkuh Manuel Neuer sejak hengkang dari Gelsenkirchen ke Muenchen? Lagi pula, seperti kata Mario Basler, mendapat tawaran berkostum Die Roten itu adalah anugerah dan sebuah kehormatan.
Sebetulnya tak susah untuk menerima pandangan itu. Peter Neururer, mantan pelatih Goretzka di VfL Bochum yang juga member Schalke, tak melihat ada masalah dari putusan yang diambil sang pemain. Untuk jadi lebih baik, tentu harus bergabung dengan klub yang lebih baik dan berada di antara pemain-pemain terbaik.
Lagi pula, enam bulan jelang kontrak habis, pemain bisa melakukan negosiasi dengan klub mana pun. Itulah yang dilakukan Goretzka. Soal dia pergi tanpa uang transfer, itu karena manajemen Die Koenigsblauen menginginkannya. Sejak awal, kata Goretzka, Schalke hanya memberikan dua opsi: perpanjang kontrak atau pergi saat kontrak usai.
Advertisement
Tabu Bayern
Satu hal yang patut digarisbawahi, Goretzka pergi dengan baik-baik. Dia tidak seperti Ousmane Dembele, Virgil van Dijk atau Pierre-Emerick Aubameyang yang mencari-cari masalah, memancing amarah agar dipermudah pindah.
Saat sudah membuat putusan, Goretzka pun dengan jantan menyatakan putusannya itu mungkin melukai hati sebagian fans. Dia tetap bersikap tenang saat dicaci maki saat hendak menjalani latihan. Dia juga tak gamang ketika "dijerumuskan" pelatih Domenico Tedesco dengan menjadi starter saat melawan Hannover.
Bila dicermati, kesalahan Goretzka cuma satu. Itu adalah pindah ke Bayern. Siapa pun tahu, Die Roten adalah klub paling dibenci di Jerman, bahkan mungkin di muka bumi. Bagi Schalke, apalagi setelah pengalaman pahit musim 2000-01, Bayern adalah durjana paling memuakkan.
Bayern adalah sebangsat-bangsatnya klub di dunia ini. Begitulah citra yang ditempelkan kepada Der Rekordmeister. Mereka juara hanya karena melemahkan para rival. Bukan hanya pemain, pelatih terbaik pun pasti dibajak klub yang presidennya sempat dibui karena mengemplang pajak itu. Buyern, pelesetan orang-orang saat mencibir sang bangsat.
Padahal, ketimbang mempermasalahkan pilihan Goretzka, menggugat kebijakan Schalke jelas lebih masuk akal. Bagaimana mungkin bisa melawan sang bangsat bila pemain-pemain terbaik dengan mudahnya mencelat?
Lalu, bagaimana pula pemain bintang tak hengkang dan dibajak sang bangsat bila klub tak mendatangkan rekan-rekan sepadan? Kiranya, itu pula yang jadi pertimbangan Goretzka. Ketika melihat Sane dan Kolasinac pergi, saat Max Meyer tak jua luluh untuk menandatangani kontrak baru, kala itu Goretzka pasti sadar, Schalke tak akan pernah jadi pemenang. Schalke menuju klub abal-abal. Schalke itu madesu.
Andai tak memakai kacamata kuda, fans Schalke tak perlu berlelah-lelah mercerca Goretzka. Itu tiada guna karena sang pemain tetap akan pergi saat akhir musim tiba. Jika saja mampu berempati, memandang dari sudut pandang sang pemain, rasanya sangat terang bagi mereka siapa yang seharusnya dihujani kritik dan hujatan.
*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.