Liputan6.com, Jakarta - Gol. Rasanya tak ada yang lebih luar biasa dari hal itu di sepak bola. Mencetak gol adalah prestasi tertinggi seorang pemain saat berlaga di lapangan. Trofi? Tidak akan ada trofi dan gelar juara tanpa torehan gol, kan? Jadi, siapa pun berhak merayakan golnya. Tak terkecuali Federico Bernardeschi.
Eduardo Galeano dalam bukunya yang terkenal, Soccer in Sun and Shadow, bahkan menyamakan gol dengan orgasme. "Gol adalah orgasme di sepak bola. Dan seperti halnya orgasme, gol adalah sesuatu yang kian jarang di kehidupan modern. Setengah abad lalu, sangat jarang pertandingan berakhir tanpa gol. Sekarang, sebelas pemain menghabiskan seluruh waktu permainan dengan bergelantungan di mistar, coba mencegah gol tercipta sehingga mereka tak punya waktu untuk mencetaknya juga," urai Galeano.
Advertisement
Baca Juga
Sebagai puncak kebahagiaan yang kian langka, sudah sewajarnya gol dirayakan dengan suka cita. Bahkan, tak sedikit yang punya selebrasi menyerempet bahaya. Anda tentu masih ingat selebrasi salto khas Miroslav Klose, Robbie Keane, dan Julius Aghahowa, kan? Salah mendarat, cedera bisa didapatkan.
Musim ini, cedera saat merayakan gol dialami Nicolai Mueller. Pemain Hamburger SV itu harus absen selama tujuh bulan karena cedera lutut akibat salah mendarat saat merayakan gol dengan melompat dan memutar badannya.
Terdengar bodoh memang. Namun, begitulah ekspresi seharusnya saat berhasil menjebol gawang lawan. Emosi harus diluapkan agar semua sudut stadion bergemuruh, ikut merasakan orgasme yang luar biasa. Itulah cara menghormati permainan dan para fans yang telah menyisihkan rezeki dan masa untuk bisa berada di dalam stadion.
Dalih itu pula yang diungkapkan Bernardeschi kala Juventus bertandang ke Stadion Artemio Franchi milik Fiorentina, mantan klubnya. Dalam laga itu, Bernardeschi membuka kemenangan 2-0 Juventus dengan tendangan bebasnya.
Selebrasi itu menyakitkan bagi tifosi I Viola. Pasalnya, mereka tak berharap Bernardeschi, sang pengkhianat, mencetak gol. Mereka juga menilai selebrasi itu sebagai perilaku tak hormat terhadap klub yang telah berjasa mengorbitkan dan membesarkan namanya.
Â
Â
Bukan Dosa
Usai pertandingan, Bernardeschi membela diri. Dia menegaskan, selebrasi itu dilakukan untuk menghormati Juventus, klubnya saat ini, dan tifosi I Bianconeri. Selebrasi itu, kata dia, bukan bentuk sikap kurang ajar atau benci kepada Fiorentina dan tifosinya.
Hal serupa juga dilontarkan Sandro Wagner ketika Bayern Munich menang 5-2 atas TSG 1899 Hoffenheim, akhir Januari silam. Membobol gawang klub yang membuatnya masuk ke timnas Jerman, Wagner tanpa ragu meluapkan suka citanya.
"Aku selalu melakukan selebrasi setiap kali mencetak gol melawan tim mana pun. Aku akan tetap melakukannya meskipun telah membela klub itu atau ayah atau ibuku jadi pelatih di sana. Aku sama sekali tak peduli akan hal itu," tegas dia.
Memang benar, tak sedikit pesepak bola yang memilih menunjukkan hormat kepada mantan klub dengan tak merayakan gol saat menjebol gawang mantan klubnya itu. Namun, bukan berarti merayakan gol ke gawang mantan klub adalah perbuatan dosa. Sangat naif atau bahkan ngawur bila memandang segala sesuatu di dunia ini secara hitam-putih. Jika A baik, maka B buruk. Jika A benar, maka B salah.
Lagi pula, jika itu yang berlaku, sungguh kasihan pemain yang rajin berpindah klub. Sebut saja Peter Crouch yang sekarang membela Stoke City. Dia setidaknya harus menahan orgasmenya saat menjebol gawang Southampton, Tottenham Hotspur, dan Liverpool.
Andai mencetak gol ke gawang mantan klub adalah haram, alangkah lebih baik sang pemain tak usah bermain saja. Bukan hanya menyiksa diri sendiri, itu juga menyiksa hati para fans yang merasa kurang dihormati. Seharusnya bergembira menikmati orgasme bersama-sama, yang ada malah kecanggungan luar biasa.
Rasanya, tak kalah elegan untuk membuat selebrasi khusus bagi gol yang dicetak ke gawang mantan klub. Selebrasi yang membuat semua pihak tetap nyaman melihatnya. Bentuknya bisa dengan isyarat atau gestur tertentu. Pada zaman sekarang ini, ketika kreativitas mengekpresikan diri begitu mewabah, kiranya hal itu bukanlah hal yang terlampau susah.
Advertisement
Tahu Diri
Hal menarik lain yang tersaji di sepak bola pada sepekan terakhir adalah sikap tahu diri yang ditunjukkan Peter Hermann dan Sven Ulreich. Keduanya dari Bayern Muenchen. Hermann adalah asisten pelatih Jupp Heynckes, sedangkan Ulreich adalah deputi kiper Manuel Neuer.
Pekan lalu, usai kemenangan 2-1 atas FC Schalke 04, kedua sosok itu mendapatkan pujian. Hermann dipuji karena mampu menjalankan fungsinya sebagai pelatih dadakan. Hari itu, dia mengambil alih komando dari pinggir lapangan karena Heynckes sakit dan harus beristirahat total.
Andai mau, bisa saja Hermann memanfaatkan situasi itu untuk mengisyaratkan kesiapan menjadi penerus Heynckes pada akhir musim nanti. Di tengah kebimbangan Bayern mencari sosok pengganti Don Jupp, dia bisa jadi alternatif menarik. Setidaknya, dia punya nilai lebih karena telah mengenal tim dengan baik.
Akan tetapi, alih-alih menunjukkan ambisi, Hermann justru menegaskan dirinya tak ingin mengambil alih posisi Don Jupp. Secara elegan, dia menyebut hal itu tak ubahnya mengenakan sepatu dengan satu nomor lebih besar. Dia tahu diri, hal terbaik bagi dirinya adalah menjadi asisten pelatih. Di posisi itulah dia bisa merasa nyaman walau tanpa sorotan.
Ulreich menunjukkan hal serupa terkait ketertarikan pelatih timnas Jerman, Joachim Loew, terhadap kiprahnya sepanjang musim ini. Loew secara terbuka mengakui mantan kiper VfB Stuttgart itu berpeluang masuk skuat Die Mannschaft ke Piala Dunia.
Tanggapan Ulreich sungguh di luar dugaan. Menurut dia, dirinya tidaklah pantas berangkat ke Piala Dunia. Dia menilai ada banyak kiper muda dengan kemampuan luar biasa dan sudah kenyang pengalaman di Jerman. Mereka, kata dia, lebih pantas berangkat ketimbang dirinya yang hanya berstatus kiper kedua di Bayern.
Ulreich yang baru memperpanjang kontrak hingga 2021 sangat tahu diri. Meskipun tampil apik dengan rasio penyelamatan di Bundesliga 1 mencapai 74 persen, dia tak mau mengudeta sang kiper utama, Manuel Neuer. Menurut dia, tugasnya hanyalah tampil apik saat Neuer tak bisa turun.
Sikap Hermann dan Ulreich ini sudah terbilang langka pada zaman sekarang. Saat ini, lebih banyak orang-orang oportunis yang tak segan menelikung kawan seiring dan mengorbankan harmoni di dalam kehidupan. Hal terpenting bagi mereka adalah mewujudkan keinginan dengan cara apa pun.
*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.