Sukses

KOLOM: Menanti Peluit Akhir Bagi Wenger

Apakah ini menjadi musim terakhir bagi Arsene Wenger?

Liputan6.com, Jakarta - Akhir pekan lalu, berita duka datang dari Italia. Davide Astori, kapten Fiorentina, meninggal dunia dalam tidurnya saat berada di sebuah hotel di Udine ketika I Viola hendak menjalani laga tandang melawan Udinese.

Semua orang terhenyak, tercenung, tertegun, dan tak bisa memercayai berita itu. Namun, begitulah adanya. Maut memang bisa datang kapan saja sesuai skenario yang sudah disiapkan Tuhan untuk setiap makhluknya.

Kematian itu menjadi peluit akhir bagi Davide Astori. Sebuah peluit panjang yang menyudahi kiprahnya, bukan hanya di sepak bola, melainkan juga di alam fana. Peluit panjang yang mematahkan banyak hati karena kehilangan sosok istimewa. Bahkan, Gabriel Omar Batistuta menyandingkan dia dengan Giancarlo Antognoni sebagai kapten sejati Fiorentina.

Peluit akhir yang diwarnai drama bukan semata milik Astori. Tottenham Hotspur pun mengalami "sudden death" saat menjamu Juventus di leg II babak 16-besar Liga Champions, Kamis (8/3/2018) dinihari WIB. Sempat berada di atas angin berkat gol Son Heung-min, asa ke perempat final sirna gara-gara gol Gonzalo Higuain dan Paulo Dybala yang hanya berselang 2 menit 49 detik.

Semua penggawa Tottenham sungguh tak bisa begitu saja mencerna kegagalan di Stadion Wembley tersebut. Manajer Mauricio Pochettino tak ragu menyebut hasil akhir sungguh tak adil bagi timnya yang bermain lebih baik dalam dua laga 16-besar.

Gelandang Arsenal, Jack Wilshere, mengkritisi sejumlah keputusan wasit Craig Pawson yang kontroversial dan dianggap menjadi penyebab kekalahan timnya dari Manchester City di final Piala Liga Inggris. (AFP/Glyn Kirk).

Tottenham patut meratapi hal itu. Bukan hanya di babak 16-besar, saat fase grup pun mereka tampil luar biasa. Mereka mampu menjadi pemuncak grup yang dihuni sang juara bertahan, Real Madrid. Bahkan, secara meyakinkan, mereka menekuk Los Blancos 3-1 di Wembley. Dari situ, tak sedikit orang yang memprediksi Spurs akan jadi kuda hitam di Liga Champions musim ini.

Meskipun demikian, peluit akhir bagi Tottenhan itu tidak terlalu merisaukan Pochettino. Bagaimanapun, posisinya masihlah aman. Beda halnya dengan Unai Emery di Paris Saint-Germain (PSG). Usai timnya disingkirkan Madrid, dia jadi kambing hitam.

Gelandang Julian Draxler tak ragu mengkritik sang pelatih. Dia menyebut putusan yang dibuat Emery dalam pertandingan itu sungguh aneh.

 

 

 

2 dari 3 halaman

Kekebalan Wenger

Sungguh sial bagi Emery. Baru dua musim menangani PSG, dia dianggap gagal hanya karena selalu kandas di babak 16-besar Liga Champions. Padahal, lawan yang menyingkirkan mereka termasuk kekuatan terbesar di Eropa, bahkan dunia, yakni Barcelona dan Madrid.

Musim ini, tekanan mahaberat dipikul Emery hanya karena Les Parisiens mendatangkan Neymar dari Barcelona dengan dana 222 juta euro. Padahal, pembelian pemain termahal dunia bukanlah jaminan untuk menjuarai Liga Champions. Andai itu yang jadi syarat utama, tentu semua klub teras Eropa akan berlomba-lomba mendatangkan pemain dengan harga selangit.

Nasser Al Khelaifi, Presiden PSG, memang belum secara nyata menyatakan keinginan merombak total tim, termasuk mengganti Emery. Namun, secara implisit, ancaman terhadap sang pelatih sudah terlontar. Usai kekalahan dari Los Blancos, Al Khelaifi sempat mengatakan, PSG harus memikirkan cara untuk meningkatkan tim.

Emery patut iri kepada Arsene Wenger yang selama lebih dari dua dekade tak pernah mendapatkan ancaman dari manajemen Arsenal. Bahkan, para petinggi The Gunners tetap menutup mulut soal masa depan The Professor saat empat kekalahan beruntun diderita belakangan ini.

Pemain Arsenal, Henrikh Mkhitaryan (tengah) tertunduk lesu setelah Swansea City mencetak gol ketiga dalam laga pekan ke-25 Premier League 2017-2018 di Liberty Stadium, Selasa (30/1). Arsenal dipaksa menyerah Swansea City 1-3. (Nick Potts/PA via AP)

Padahal, rasanya tidak ada dalih lagi yang bisa dipakai Wenger untuk membela diri. Arsenal benar-benar menukik tajam pada musim ini. Kemenangan atas tim besar di Inggris jadi hal langka. Nirtrofi pun sudah di depan mata. Hanya Liga Europa satu-satunya gelar yang masih tersisa bagi mereka.

Dari segi permainan, The Gunners kerap kali macet, seolah tanpa tenaga, semangat, dan fantasi. Semua lini Arsenal berantakan. Lini belakang sekeropos kayu yang dimakan rayap. Lini tengah seolah tanpa semangat dan kreasi. Lini depan pun bak pisau yang tak pernah diasah.

Di pinggir lapangan, Wenger yang dulu dianggap salah satu yang terbaik di dunia kini tak ubahnya seorang guru yang ketinggalan zaman. Semua ilmunya sudah usang dan sudah sangat dihafal semua lawan. Dia tak lagi punya trik rahasia.

3 dari 3 halaman

Demi Masa Depan

Hal itu membuat banyak pihak menilai sudah saatnya manajemen Arsenal meniup peluit akhir bagi Wenger. Namun, mengingat jasanya selama dua dekade, pemecatan pada tengah musim bukanlah hal elok. Tekanan kini ada di pihak para petinggi Arsenal macam Ivan Gazidis dan Stan Kroenke.

Dua mantan pemain Premier League, Jan Aage Fjortoft dan Jamie Carragher terang-terangan menuntut hal itu. Keduanya sama-sama meminta jajaran petinggi Arsenal dan Wenger duduk bersama memutuskan untuk mengakhiri kerjasama pada akhir musim nanti.

Tuntutan serupa juga diungkapkan Arsenal Supporters’ Trust. Dalam poling yang dilakukan terhadap 1.000 anggota, mayoritas meminta klub mengambil langkah pada akhir musim untuk mereview kinerja Wenger. Para suporter The Gunners tetap menghormati pria asal Prancis itu, tapi tak lagi yakin dia bisa membawa Arsenal ke masa depan yang lebih baik.

Tingkat kepercayaan yang menukik drastis itu bisa dimengerti. Seperti diungkapkan Carragher, Wenger adalah pengubah wajah sepak bola Inggris, dan tentu saja Arsenal. Namun, prestasi The Gunners dalam lima tahun terakhir ini tidaklah elok.

Bahkan, musim lalu, mereka untuk kali pertama sepanjang Era Wenger gagal finis di 4-besar. Hal serupa potensial terulang pada musim ini.Tuntutan adanya pergantian manajer bukan karena Wenger sudah tua. Bila dibandingkan dengan Jupp Heynckes yang sekarang menangani Bayer Munich, Wenger lebih muda empat tahun. Namun, berbeda dengan Don Jupp, The Professor seolah sudah tak bisa lagi berbuat apa-apa.

Pelatih Bayern Munchen, Jupp Heynckes (kiri) melihat para pemainnya saat latihan jelang melawan PSG di Liga Champions di Munich, Jerman, (4/12). Pada pertemuan pertama Munchen takluk 3-0 atas PSG. (AFP Photo/Guenter Schiffmann)

Tuntutan pelengseran Wenger adalah demi masa depan Arsenal. Peringkat di Premier League saat ini dan musim lalu adalah ukuran yang sangat jelas. Lalu, kekalahan beruntun 3-0 dari Manchester City juga menegaskan ada masalah serius antara tim dengan sang manajer.

Jika menengok deretan pemain di skuat The Gunners saat ini, tak ada alasan untuk kalah dari Ostersunds dan Brighton and Hove Albion. Secara materi, Arsenal seharusnya bisa bermain lebih baik dan meraih hasil yang lebih baik pula. Ini menandakan ada masalah. Biasanya, itu berada di diri sang pelatih.

Tengok sajalah bagaimana Bayern, Borussia Dortmund, dan AC Milan, bereaksi terhadap penurunan performa tim dan para pemain pada musim ini dan hasil yang kini mereka petik. Seharusnya manajemen The Gunners punya keberanian serupa. Mereka harus sadar untuk lepas dari masa lalu dan mengamankan masa depan. Beranikah mereka?

*Penulis adalah pengamat sepak bola dan jurnalis. Tanggapi kolom ini @seppginz.