Liputan6.com, Jakarta - Sepekan ini, pemberitaan seputar sepak bola nasional didominasi satu nama: Egy Maulana Vikri. Pemberitaan besar-besaran dilakukan banyak media massa begitu pemain berumur 17 tahun itu diumumkan sebagai pemain baru Lechia Gdansk, klub Ekstraklassa Polandia, pada Minggu lalu. Saat ini, bila Anda melakukan pencarian dengan kata kunci "Egy Maulana Vikri", Google News akan menampilkan 106.000 hasil dalam 0,17 detik.
Euforia yang timbul sangat bisa dimengerti. Pemain Indonesia dikontrak klub Eropa adalah hal langka. Jadi, tak usah heran bila semua berlomba-lomba memberitakannya. Apalagi Egy adalah harapan masa depan sepak bola kita. Puja-puji untuk pemain yang satu ini sudah tertumpah sejak lama.
Advertisement
Baca Juga
Salah satunya tentu saja dari Quique Sanchez Flores. Saat membawa Espanyol melawat ke Indonesia, dia sempat menyebut Egy Maulana sebagai Lionel Messi-nya Indonesia. Itu tentu bukan basa-basi belaka, melainkan berdasar pada kemampuan dan posturnya. The Guardian pada tahun lalu pun memasukkan Egy ke dalam daftar 60 pemain muda paling berbakat.
Kiprah Egy di level junior, setidaknya dalam dua tahun terakhir, memang cemerlang. Tak heran bila dia diramalkan bakal menjadi bintang masa depan. Itu hal yang sangat wajar di tengah dahaga publik sepak bola nasional akan prestasi gemilang timnas Indonesia.
Melihat jejak gemilangnya di level junior, tak bisa disangkal, Egy adalah permata. Dia harus dijaga sebaik-baiknya. Imbauan Indra Sjafri, mantan pelatih timnas U-19 Indonesia, agar Egy berkelana di Eropa sangatlah tepat. Bagaimanapun, bila berkutat di dalam negeri, sulit membayangkan talenta yang ditempa Diklat Ragunan tersebut berkembang sesuai bakatnya dan mampu mengeluarkan seluruh potensinya.
Memang, Egy hanya bergabung dengan Lechia, sebuah klub semenjana di Polandia. Lechia bukanlah Legia Warsawa yang sebelumnya santer dikabarkan sebagai klub yang akan dibela Egy. Namun, rasanya Lechia tetap pilihan lebih baik dibanding bergabung dengan klub lokal mana pun, terutama dalam hal profesionalisme.
Lagi pula, patut diingat, ini adalah langkah awal Egy Maulana berkiprah di sepak bola profesional. Sangat realistis untuk bergabung dengan klub semenjana yang memungkinkan dia mendapat kesempatan bermain. Di tahap awal, itu merupakan hal terpenting. Untuk apa bergabung dengan klub besar tapi tanpa harapan berlaga?
Â
Â
Menurunkan Ekspektasi
Egy mengingatkan kepada Serge Gnabry dan Jadon Sancho. Sadar sulit berkembang di Arsenal, Gnabry memilih pulang ke Jerman. Awalnya ke Werder Bremen, lalu lanjut ke TSG 1899 Hoffenheim. Adapun Sancho meninggalkan Manchester City guna meraih kesempatan bermain lebih besar di Borussia Dortmund.
Hal positif lain dari langkah itu, ekspektasi publik pun lebih teredam. Bisa dibayangkan betapa membuncah harapan publik sepak bola Indonesia andai Egy bergabung dengan Barcelona atau Real Madrid. Bisa dipastikan, sorotan kepadanya pasti tiada henti. Pada usia yang masih belia dan kiprahnya yang baru di awal, itu bukanlah hal positif.
Bagi seorang pemain muda, sangat penting untuk tidak berada dalam sorotan secara terus-menerus. Hal utama baginya adalah fokus mengasah kemampuan dan berjuang mendapatkan tempat di tim utama. Popularitas hanya akan nikmat ketika datang berkat prestasi besar yang didapatkan.
Di tengah euforia yang luar biasa dalam sepekan terakhir, kekhawatiran soal ekspektasi ini tak bisa dihindari. Kita tak boleh terjebak pada anggapan bahwa sang talenta muda pasti akan jadi bintang dan dewa sepak bola nasional. Ingatlah, dia bahkan baru bisa membela Lechia pada musim depan. Ini adalah sebuah langkah awal, langkah kecil yang perlu diikuti langkah-langkah berikutnya. Bukankah segala sesuatu membutuhkan proses yang terkadang panjang dan berliku?
Lagi pula, sepak bola adalah olahraga tim. Seorang talenta luar biasa atau bintang besar hanyalah katalisator. Di sepak bola, dia tetap membutuhkan rekan-rekan sepadan. Tidak seorang pun legenda sepak bola dunia yang sendirian membawa timnya juara.
Tidak juga Pele dan Diego Maradona. Pele tiga kali juara Piala Dunia bersama pemain-pemain yang tak kalah luar biasa. Sebut saja Garrincha, Didi, Vava, Mario Zagallo, Carlos Alberto Torres, Rivelino, Gerson, Tostao, dan Jairzinho. Dia tak sendirian mengantar Selecao berjaya.
Pada 1986, banyak orang menilai Argentina juara Piala Dunia hanya berkat Maradona. Padahal, pada kenyataannya, di sana juga ada sosok-sosok lain yang tak kalah hebat. Sebut saja kiper Nery Pumpido serta duet gelandang Jorge Valdano dan Jorge Burruchaga. Patut dicatat, pada 1985-86, Valdano adalah Pemain Asing Terbaik La Liga. Adapun Burruchaga meraih predikat yang sama di Ligue 1.
Advertisement
Inspirasi Baru
Hal terpenting saat ini adalah tak mendewa-dewakan Egy. Lebih baik kita mendudukkan dia sebagai sosok inspirator baru di kancah sepak bola nasional. Terutama dalam keberanian mengambil langkah berkelana ke Eropa demi kemajuan kariernya.
Sudah bukan rahasia, enggan meninggalkan tanah air adalah penyakit utama para pesepak bola negeri ini. Mereka tak percaya diri menghadapi tantangan-tantangan baru di tanah asing. Mereka lebih suka terjebak di zona nyaman yang sebenarnya semu saja.
Melihat langkah Egy, kita tentu berharap ada talenta-talenta muda lain yang mengambil langkah serupa. Semakin banyak pemain muda kita ditempa kompetisi lebih baik dan keras di Eropa, semakin besar harapan untuk melihat kebangkitan sepak bola kita di Asia Tenggara dan Asia.
Bagaimanapun, di tengah kompetisi dan klub-klub dalam negeri yang begitu-begitu saja, hanya tempaan kompetisi luar negeri yang bisa diharapkan membuat para talenta muda kita makin tertempa dan jadi bintang yang sebenarnya.
Kita tak perlu memungkiri hal itu. Toh, hal serupa juga dialami Amerika Serikat yang secara memalukan gagal lolos ke putaran final Piala Dunia 2018. Jermaine Jones terang-terangan menuding minimnya pemain yang berkiprah di Eropa adalah salah satu sebabnya.
Jones mengharapkan para pemain muda AS meniru jejak Christian Pulisic yang berkembang pesat di Dortmund. Tentu saja, kita berharap Egy bisa seperti Pulisic yang mengemuka di Bundesliga 1 dalam usia belia.
Pada akhirnya, bila Egy mampu membuat efek domino yang membuat para pemain lain ikut merantau ke luar negeri, terutama Eropa, rasanya itu juga akan bisa mengakhiri program naturalisasi yang terbukti hanya delusi. Dengan semakin banyaknya pemain yang unjuk gigi, sudah tak perlu lagi kita menaturalisasi pesepak bola demi timnas yang faktanya sia-sia belaka.
*Penulis adalah jurnalis dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.