Liputan6.com, Jakarta - Di seluruh dunial, 21 Maret diperingati sebagai Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial sedunia setelah sebuah tragedi terjadi di Afrika Selatan pada 1960. Tragedi itu mengakibatkan 69 orang tertembak mati oleh pihak apartheid.
Hari tersebut menjadi simbol perjuangan dalam usaha mengeliminasi segala perlakuan diskriminasi terhadap ras tertentu di dunia. Tetapi, hal ini belum benar-benar sirna di berbagai belahan dunia.
Advertisement
Baca Juga
Sebagai sebuah disiplin olahraga yang inklusif, mixed martial arts (MMA) punya peranan besar dalam penghapusan diskriminasi. Caranya dengan memberikan kesempatan setara bagi siapapun untuk unjuk kemampuan dalam ajang ONE Championship.
Seorang atlet MMA Indonesia Rudy 'The Golden Boy' Agustian mengaku MMA telah menyatukan dunia. Atlet yang bergabung dengan organisasi beladiri terbesar di dunia, ONE Championship, menganggap jajaran petarung dari berbagai belahan dunia telah membuktikan bahwa semua orang itu setara, dimana mereka dibedakan hanya dengan kemampuannya.
"Peran martial arts sangat penting. Sebagai pelatih dan juga petarung, saya berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai ras dan golongan. Kami berlatih dan tertawa bersama karena kita dibiasakan untuk saling menghormati sebelum dan setelah bertanding," ujar Rudy, yang berlatar belakang etnis Tionghoa.
Setelah mencatatkan kemenangan pertama bagi Indonesia tahun ini pada ajang ONE: CALL TO GREATNESS, 22 Februari lalu, Rudy mengatakan bahwa ONE Championship memberikan kesempatan bagi dirinya untuk berinteraksi dan bertanding melawan petarung multi-etnis dari berbagai negara.
"Tidak sedikit yang awalnya lawan kini menjadi kawan. Kami cinta beladiri dan apapun agama atau rasnya, kami bersatu dalam [dunia] martial arts," ujar Rudy, yang memiliki rekor tiga kemenangan beruntun.
"Salah satu idola saya, Genki Sudo, petarung asal Jepang, selalu membawa spanduk bertuliskan ‘WE ARE ONE’. Itu yang memotivasi saya untuk memerangi rasisme," ucapnya menambahkan.
Rasisme Tidak Punya Tempat
Lain halnya dengan Adrian Mattheis, seorang atlet MMA Indonesia yang lahir dan besar di Halmahera, Maluku Utara – lokasi dimana sebuah konflik berdarah sempat meletus. Bagi Adrian, rasisme adalah sebuah konsep usang yang tidak memiliki tempat lagi di dunia.
"Kita dengan orang lain harus saling menghargai. Kita tidak tahu kulit leluhur kita itu apa, atau apakah kita memiliki satu leluhur. Seharusnya dalam hidup, kita tidak saling membedaka," katanya.
"Tuhan sendiri tidak pernah membedakan [siapapun]."
Sebagai orang Timur, ia menyadari ada prasangka negatif yang disematkan kepada dirinya. Adrian sering dianggap sebagai seseorang yang kasar dan menyukai keributan.
"Saya memang suka berkelahi dalam ring, tapi tidak pernah berkelahi di jalan. Saya buktikan bahwa anggapan saya kasar itu salah," tegasnya.
Advertisement
Tempat Aman
Bagi petarung berusia 25 tahun ini, pertikaian bukanlah sekedar retorika. Pada1999, ketika ia belum genap berusia enam tahun, keluarganya harus mengungsi ke Papua.
Adrian harus mencari tempat aman karena tanah kelahirannya dilanda konflik. "Sempat suatu sore, Bapak tidak ada dengan kita. Saya cuma sama Mama. Lalu ada rumah-rumah yang terbakar. Saya sangat ketakutan karena itu bukan hal yang biasa terjadi,” tutupnya.
Tetapi, pengalaman ini tidak mengurungkan semangat Adrian untuk bertanding. Sementara ini, ia telah dijadwalkan untuk kembali tampil di pentas ONE Championship pada Mei nanti di Jakarta.