Sukses

Cerita Haru Kontingen Indonesia Boyong Piala Thomas Usai Kerusuhan Mei 1998

Atlet bulu tangkis keturunan Tionghoa seperti Candra Wijaya, Hendrawan, Alan Budikusuma, dan Susy Susanti sulit konsentrasi ketika membela Tanah Air di Piala Thomas dan Piala Uber 1998.

Liputan6.com, Kudus - Bulu tangkis Indonesia turut merasakan dampak kerusuhan Mei 1998. Fakta itu terungkap dalam buku Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia yang diluncurkan di kantor PB Djarum, Kudus, Jawa Tengah.

Buku tersebut tidak hanya mengisahkan perjalanan 50 tahun PB Djarum membina bulu tangkis di Indonesia. Cerita dampak kerusuhan Mei 1998 kepada para atlet keturunan Tionghoa juga tercakup di dalamnya.

Cerita tersebut dirangkum dalam bab berjudul Juara di Tengah Prahara. Ketika itu, para atlet keturunan Tionghoa seperti Candra Wijaya, Hendrawan, Alan Budikusuma, dan Susy Susanti menjadi bagian dari rombongan yang turun di Piala Thomas dan Piala Uber.

"Rombongan tim merah putih bertolak ke Hong Kong pada 11 Mei 1998. Sehari kemudian, di Jakarta terjadi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang berdemonstrasi menuntut Soeharto mundur sebagai presiden," tulis buku tersebut.

Seperti diketahui, peristiwa itu berujung kepada penjarahan, pembakaran, serta kerusuhan rasial yang menyasar warga keturunan Tionghoa. Hendrawan menuturkan, peristiwa itu membuat para atlet menjadi tidak konsentrasi karena terus memantau situasi di Tanah Air.

"Kita kurang tidur. Tidak pernah bisa istirahat karena televisi 24 jam menyala," ujar Hendrawan di sela-sela HUT PB Djarum, Minggu (28/4/2019).

Hendrawan mengatakan, kegusaran para atlet keturunan Tionghoa akhirnya sirna karena semua anggota lain saling menenangkan. Pernyataan itu diamini Sigit Budiarto yang juga menjadi bagian tim.

"Kami saling mendukung, mensupport. Semua adalah satu untuk Indonesia," kata Sigit di acara yang sama.

Selain kekompakan, manajer tim saat itu, Mayor Jenderal Agus Wirahadikusumah (almarhum), turut memainkan peran. Ia meminta para atlet mengumpulkan daftar nama sekaligus alamat keluarga masing-masing.

"Daftar tersebut lalu dikirimkan Agus Wirahadikusumah kepada Subagyo HS, Ketua Umum PBSI, yang juga Kepala Staf Angkatan Darat, disertai permintaan untuk menurunkan pasukan menjaga rumah keluarga pemain," tulis buku tersebut.

2 dari 3 halaman

Berakhir Manis

 

Pada akhirnya, kekompakan dan persatuan yang ditunjukkan atlet dan anggota tim berujung manis. Tim Piala Thomas Indonesia sukses mempertahankan gelar juara dengan mengalahkan Malaysia.

Lagu Indonesia Raya pun berkumandang di Hong Kong. Tangis kebahagiaan para atlet pun pecah. "Susah diungkapkan dengan kata-kata," kata Sigit dalam buku tersebut.

Sayang kesuksesan ini tak diikuti tim Uber yang finis sebagai runner-up. Meski begitu, keberhasilan tim Piala Thomas mengembalikan optimisme masyarakat Indonesia. Media-media saat itu pun menyanjung keberhasilan Sigit dan kawan-kawan.

Harian Kompas tanggal 25 Mei 1998 misalnya menulis berita dengan judul Republik Indonesia Masih Ada. "Di tengah keprihatinan yang melanda negeri ini, bulu tangkis mampu mengangkat harkat bangsa yang memungkinkan kita untuk bisa berjalan tegak," tulis Kompas.

3 dari 3 halaman

Bertemu Presiden Berbeda

Hendrawan mengatakan, ketika itu dirinya tak pernah menyangka situasi politik di Indonesia akan berubah drastis. Pengalaman berjuang di Piala Thomas 1998 pun menjadi yang paling berkesan buatnya.

Bagaimana tidak, tim saat itu dilepas dan diterima kembali di Tanah Air oleh presiden berbeda. "Waktu pergi, kita dilepas Pak Harto, kita pulang diterima Pak Habibie," kenang Hendrawan.

Momen lain yang berkesan bagi Hendrawan adalah saat arak-arakan juara. Ia menuturkan, arak-arakan itu sempat berlangsung sepi lantaran digelar beberapa hari usai kerusuhan di Jakarta.

"Suasana jalan masih kosong, polisi mengawal kita. Mendengar voorijder, rakyat tidak turun. Tetapi begitu ada pengumuman di radio, baru mereka keluar. Momen pada waktu itu berkesan buat kita," ujarnya.

Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela pernah berujar bahwa olahraga bisa mengubah dunia. "Olahraga punya kekuatan untuk menyatukan orang-orang dengan cara yang tak bisa dilakukan hal lain. Olahraga bisa membuat harapan ketika yang ada hanya keputusasaan," katanya.

Dalam sejarah bangsa Indonesia, olahraga yang dimaksud Mandela adalah bulu tangkis.