Sukses

Bersinar di Liga Champions, 8 Pemain Ini Kemudian Menghilang Begitu Saja

Liga Champions merupakan panggung bagi pemain untuk naik kelas. Kiprah mereka mendapat perhatian besar, bahkan dari luar Benua Biru.

Jakarta - Seorang pesepak bola tentu ingin dikenal dan menjadi sotoran besar media. Karena itu, tampil gemilang di kompetisi paling elite Eropa, Liga Champions, adalah salah satu caranya. 

Liga Champions merupakan panggung yang menyediakan kesempatan emas bagi pemain untuk naik kelas. Kiprah mereka bakal mendapat perhatian besar, bahkan dari luar Benua Biru. 

Salah satu pemain yang pernah bersinar di Liga Champions adalah Carlos Alberto ketika memperkuat FC Porto. Dia pernah diplot oleh pelatih Porto saat itu, Jose Mourinho, sebagai second striker di belakang Derlei atau Benni McCarthy.

Alberto selalu dimainkan pada setiap laga dalam perjalanan FC Porto menuju final Liga Champions 2004. Saat itu dia baru berusia 19 tahun. Namanya menjadi buah bibir ketika mencetak gol pada final melawan Monaco. 

Saat itu, karier Alberto tampaknya bakal cerah. Namun, ego besarnya menjadi penghalang menuju kesuksesan. Setelah bertengkar dengan pengganti Mourinho di Porto, Victor Fernandez, si pemain kembali ke Brasil pada 2005 untuk gabung Corinthians. 

Dia kemudian bertengkar dengan manajer Corinthians, Emerson Leao, dan didepak ke Fluminense. Setelah itu kariernya tak pernah sampai pada level tinggi lagi. 

Siapa lagi pemain yang pernah bersinar di Liga Champions, tapi kemudian menghilang begitu saja. Berikut 10 di antaranya, salah satunya Michalis Konstantinou saat memperkuat Panathinaikos seperti dilansir Four Four Two.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

2 dari 9 halaman

1. Juan Sanchez (Valencia 2000-2001)

Kontribusi terbesar Juan Sanchez bagi Valencia tersaji pada leg kedua semifinal Liga Champions 2000-2001 melawan Leeds United. Saat laga masih imbang 0-0 di Elland Road, Sanchez memecah kebuntuan pada menit ke-16 dengan cara kontroversial. 

Pemain Spanyol itu menerima umpan Gaizka Mendeita untuk menjebol gawang Leeds. Para pemain Leeds protes karena merasa Sanchez handball. Gol tetap disahkan meskipun para pemain Leeds memprotes.

Sanchez kemudian kembali menjebol jala Leeds dengan tendangan kaki kiri dari jarak dekat.  

Valencia akhirnya menang 3-0, tapi Sanchez tak dimainkan pada laga final. Setelah itu, dia makin dipinggirkan dari tim. Sanchez akhirnya pindah ke Celta Vigo pada 2004, dan pensiun pada usia 34 tahun. 

 

3 dari 9 halaman

2. Mauro Bressan (Fiorentina, 1999-2000)

Mauro Bressan dikenal suka berpindah-pindah klub. Dia pernah memperkuat setidaknya 13 klub berbeda. Namun, dia paling dikenal selama periode tiga musim memperkuat Fiorentina dan satu malam tak terlupakan di Liga Champions. 

Dia panen pujian berkat gol spektakuler melawan Barcelona, berupa bicycle kick dari jarak 22 meter. Pertandingan tersebut berakhir dengan skor 3-3. 

Bressan kemudian berhasil memenangi Coppa Italia bersama La Viola pada 2001, tapi penampilan gemilangnya di Liga Champions tak pernah terulang. 

Dia baru kembali disorot media pada 2011, tapi kali ini karena alasan buruk. Bressan menjadi satu dari 16 pemain yang ditangkap karena diduga terlibat pengaturan pertandingan. 

 

 

4 dari 9 halaman

3. Michalis Konstantinou (Panathinaikos, 2001-2002)

Panathinaikos berjudi pada musim panas 2011 ketika merekrut Michalis Konstantinou dengan banderol 11,3 juta euro. Dia penyerang tajam milik klub Iraklis Thessaloniki di Liga Siprus, dengan torehan 61 gol dalam 119 laga. Namun, masih ada keraguan apakah dia bisa mempertahankan performanya di Liga Yunani maupun Liga Champions. 

Pada musim pertamanya di Yunani, dia mempersembahkan enam gol dalam 14 laga bersama Panathinaikos. Dia juga menjadi pusat perhatian ketika melesakkan gol spektakuler dari jarak 40 yard ke gawang Barcelona pada perempat final Liga Champions 2001-2002 di Nou Camp. 

Meski kemudian mampu membawa klubnya berjaya di liga domestik, Kontantinou tak pernah mengulang penampilan gemilangnya di Eropa. 

 

5 dari 9 halaman

4. Jerome Rothen (Monaco, 2003-2004)

Jerome Rothen dan Ludovic Giuly berperan penting mengantar Monaco ke final Liga Champions 2004. Mereka memberikan assist untuk gol Fernando Morientes dan Dado Prso pada perjalanan menuju partai puncak. 

Kedua pemain sama-sama jadi incaran klub-klub besar pada bursa transfer musim panas 2004. Giuly memilih gabung Barcelona. Adapun Rothen malah mengabaikan tawaran Manchester United dan Chelsea, demi gabung klub di kampung halamannya, Paris Saint-Germain (PSG). 

Namun, pilihan Rothen ternyata berisiko. Saat itu, Rothen dan PSG terus berkutat dengan ancaman degradasi. Rothen setelah itu hanya lima kali tampil di Liga  Champions, kali terakhir saat dipinjamkan ke Rangers. Meskipun ia secara reguler bermain untuk Prancis, namun tak pernah kembali ke titik terbaik kariernya. 

 

6 dari 9 halaman

5. Hakan Yakin (Basel, 2002-2003)

Hakan Yakin merupakan ancaman berbahaya bagi Liverpool saat berjibaku melawan Basel pada fase grup Liga Champions, November 2002. Dia memborong tiga gol saat Basel menahan The Reds 3-3. Gara-gara hasil itu Liverpool tersingkir. 

Hakan Yakin menggambarkan penampilannya pada laga itu sebagai pertandingan terbaik dalam hidupnya. Namun, setelah itu dia mengalami penurunan.

Setelah itu, Hakan Yakin mencari tantangan lebih besar. Tapi, kepindahan ke PSG, Stuttgart, dan Galatasaray tak mampu membawa Yakin kembali merasakan malam penuh keajaiban di St Jakob-Park pada 2002.  

 

7 dari 9 halaman

6. Simone Inzaghi (1999-2000)

Simone Inzaghi memulai kisah dengan Lazio pada 1999 pada musim debut tak terlupakan. Saudara Pippo Inzaghi tersebut kesulitan mencetak gol di Serie A setelah direkrut dari Piacenza, hanya mengoleksi tujuh gol dalam 12 penampilan tahun itu. Tapi, dia tajam di Eropa dengan torehan 11 gol. 

Performa fantastisnya mencuat pada Maret 2000, ketika menyamai rekor Marco van Basten dengan mencetak empat gol dalam satu pertandingan di Eropa melawan Marseille.

Penampilan itu membuatnya dilirik Timnas Italia untuk pertandingan persahabatan kontra Spanyol. Mulai muncul harapan dia akan berpartner dengan sang kakak di lini depan Timnas Italia pada Piala Eropa 2000. 

Meskipun merayakan gelar Scudetto dan Coppa Italia bersama Lazio pada tahun itu, Simone gagal menyaingi kinerja Pippo setelah itu. Simone hanya sekali meraih dobel digit gol dalam semusim di sisa kariernya sebelum pensiun pada 2010. 

 

8 dari 9 halaman

7. Milos Krasic (CSKA Moskow, 2009-2010)

Juventus merasa sudah menemukan The Next Pavel Nedved ketika membeli gelandang Serbia, Milos Krasic, pada musim panas 2010. Dia dibeli setelah tampil trengginas dengan membantu CSKA Moscow mencapai perempat final Liga Chaampions 2009-2010. 

Krasic mencetak empat gol di Liga Champions musim itu, termasuk satu gol apik ke gawang Manchester United. 

Dia mengawali karier di Juventus dengan menjanjikan, mengukir tiga assist dalam dua laga pertama. Setelah itu Krasic mencetak hatttrick pada laga ketiganya. 

Namun, setelah itu performanya menurun drastis. Krasic kemudian dijual ke Fenerbahce, serta baru-baru ini bermain di Polandia bersama Lechia Gdansk. 

 

9 dari 9 halaman

8. Diego Tristan (Deportivo La Coruna, 2001-2002)

Diego Tristan bisa keluar dari bayang-bayang Roy Makaay di Deportivo La Coruna pada 2001-2002 dan bisa menyulitkan tim-tim Inggris di Liga Champions. 

Pria Spanyol itu berperan krusial saat meraih kemenangan pada fase grup atas Manchester United dan Arsenal. Dia menyumbang dua gol saat Deportivo membungkam Red Devils 3-2. Tristan mengakhiri musim itu dengan mencetak enam gol di Eropa. 

Tristan terpilih masuk skuat Timnas Spanyol untuk Piala Dunia tahun itu, tapi mengalami cedera engkel saat turnamen, kemudian disusul kena cedera betis pada tahun berikutnya. 

Namanya perlahan tenggelam, terutama dipercepat dengan kehidupan malamnya yang liar. 

Disadur dari Bola.com (Penulis Yus Mei Sawitri, Published 22/10/2019)

 

Â