Sukses

Ambisi Timnas Indonesia U-22 Juara SEA Games Filipina, Mistis Angka 91 dan 19

Timnas Indonesia U-22 mencapai final SEA Games 2019 dalam upaya mengakhiri paceklik medali emas sejak 1991.

Jakarta - Timnas Indonesia U-22 melaju ke final cabang olahraga sepak bola putra SEA Games 2019 dengan dramatis. Sempat gagal mempertahankan keunggulan dua gol, Garuda Muda akhirnya menang 4-2 melalui perpanjangan waktu di Stadion Rizal Memorial, Manila, Sabtu (7/12/2019).

Evan Dimas (2), Osvaldo Haay, dan Egy Maulana menyumbang gol untuk mengamankan langkah Timnas Indonesia U-22 ke laga puncak. Mungkinkah

Legenda sepak bola Tanah Air yang menjadi bagian Timnas Indonesia saat menjuarai SEA Games 1991, ramai-ramai berkomentar soal mistis angka 19. Ya, Timnas Indonesia jadi juara SEA Games terakhir 28 tahun lalu, tepatnya tahun 1991.

Sekarang tahun 2019 di tempat yang sama Stadion Rizal Memorial, Manila, Tim Garuda Muda kembali akan berlaga di partai final.

"Selamat Pak Sumardji (manajer Timnas Indonesia U-22), Coach Indra Sjafri dan tim. SEA Games Manila 1991 kita meraih emas. Sekarang final ditempat yg sama 2019. Ada apa dengan angka 91 dan 19? Mudah-mudahan bisa terulang lagi. Amin," komentar Widodo Cahyono Putro, striker yang membela Timnas Indonesia di SEA Games 2019 dalam forum diskusi WhatsApp yang dihuni pelaku-pelaku sepak bola nasional.

Edy Harto, kiper Tim Merah-Putih yang menjadi pahlawan di final SEA Games 1991 tak mau kalah. Ia memajang tulisan dengan nuansa back-round merah 19-91 di akun Facebook miliknya.

Di sisi lain, kemenangan 4-2 itu membuat Indra Sjafri begitu gembira. Dengan melajunya Tim Garuda Muda ke final sepak bola SEA Games 2019, Indra Sjafri optimistis periodisasi yang sudah dipersiapkan olehnya akan membuat Andy Setyo Nugroho dkk. memperlihatkan performa terbaik pada laga final nanti, di mana Indonesia masih menunggu pemenang semifinal lain antara Vietnam dan Kamboja.

"Pertandingan ini secara permianan lebih baik dari pertandingan-pertandingan sebelumnya. Mudah-mudahan sesuai dengan periodisasi persiapan Timnas Indonesia U-22 dan performa puncaknya bakal 100 persen di pertandingan final," ujar Indra Sjafri usai laga.

"Kami menunggu siapa pun yang hadir di final sebagai lawan kami. Kami akan hadapi. Saya hanya memikirkan satu hal, karena sejak awal memang ditugasi untuk meraih medali emas, bismillah," lanjut pelatih Timnas Indonesia U-22 itu.

Video

2 dari 3 halaman

Stadion Mendadak Sunyi

Pemain sepak bola yang tergabung di Timnas Indonesia SEA Games 1991 di Manila bakal sulit melupakan ajang tersebut.

Pada SEA games ke-16 tersebut, Indonesia meraih medali emas dari cabang sepak bola. Itu merupakan medali emas kedua sepanjang sejarah dan Indonesia belum meraih lagi hingga saat ini.

Satu di antara pemain yang tergabung di Timnas Indonesia SEA Games 1991, Salahudin, menceritakan pengalaman seru bertanding di Manila 28 tahun silam.

Pria asal Palembang tersebut merupakan peman termuda yang dibawa pelatih Anatoli Polosin ketika itu. 

Salahudin bercerita, ketika acara pembukaan pada 24 November 1991 oleh Presiden Filipina saat itu, Corazon Aquino, banyak tentara dan para penembak jitu berjaga-jaga. Saat itu, upacara pembukaan digelar di Stadion Rizal Memorial. 

"Saat itu saya rasa lebih kepada suasana rawan di Filipina. Saya masih ingat betul pembukaan SEA games ada banyak sniper di atap-atap stadion. Tapi Alhamdulillah pemain tidak terpengaruh. Hingga akhirnya kami bisa merebut medali emas," ujar Salahudin kepada Bola.com belum lama ini. 

Timnas Indonesia meraih medali emas setelah mengalahkan Thailand lewat adu penalti dengan skor 4-3. Ini merupakan gelar kedua setelah pada SEA Games 1987.

Sudirman yang mengeksekusi tendangan penalti terakhir Indonesia mengaku sempat stres sebelum melakukan tendangan. "Mendadak jadi sunyi stadion. Gelap. Dalam pikiran saya cuma ada satu kalimat yang terngiang: tendang bola sekencang-kencangnya," kata sang bek yang kini jadi asisten pelatih klub Persija Jakarta.

SEA Games tahun 1991 jadi momen penting dalam perjalanan sejarah Timnas Indonesia. Tim Merah-Putih yang diarsiteki Anatoli Polosin mempersembahkan medali emas bagi Indonesia setelah menang dramatis melalui adu penalti 4-3 (0-0) atas Thailand di Stadion Rizal Memorial, Manila, Filipina.

Sukses Tim Garuda meraih medali emas kedua sepanjang sejarah juga terasa semakin spesial. Selain mengalahkan musuh bebuyutan Thailand, Timnas Indonesia “berpesta” di negeri orang. Pada SEA Games 1987, Timnas Indonesia meraih medali emas perdana saat berstatus sebagai tuan rumah.

3 dari 3 halaman

Kenangan Emas 1991

Ferril Raymond Hattu cs membawa pulang medali emas ke Tanah Air melalui perjuangan yang berat.

Setelah mengalahkan Malaysia (2-0), Vietnam (1-0), Timnas Indonesia yang lebih banyak menurunkan pemain lapis kedua pada pertandingan ketiga justru tertinggal lebih dahulu 0-1 dari Filipina di babak pertama.

Suntikan semangat yang diberikan Polosin saat jeda babak pertama membuahkan hasil positif. Tendangan penalti, Raymond Hattu, dan striker muda Rocky Putiray, membalikkan keadaan menjadi 2-1 atas Filipina. Timnas Indonesia pun melenggang ke semifinal sebagai juara Grup B dengan mengoleksi poin sempurna dari tiga pertandingan.

Perjuangan para pengawa Tim Garuda mulai menemui jalan berliku pada babak semifinal. Tim yang diperkuat banyak pemain muda tersebut harus berjuang hingga babak adu penalti untuk lolos dari adangan Singapura yang diperkuat, Fandi Ahmad. Skor 0-0 bertahan selama 120 menit dan Timnas Indonesia akhirnya melaju ke final setelah menang adu penalti dengan skor 4-2.

Kendati lolos ke final, pesimisme publik mengenai peluang Timnas Indonesia mengulangi pencapaian di SEA Games 1987, tetap mengemuka. Keraguan itu mencuat seiring kiprah anak asuh Polosin yang lebih mengandalkan kekuatan fisik ketimbang permainan cantik.

Selain itu, Timnas Indonesia juga menghadapi Thailand yang mengincar gelar keempatnya di Rizal Memorial Stadium.

"Sejauh yang saya lihat di media-media waktu itu kami memang tidak diunggulkan. Hasil uji coba kami jelek, main bola saat itu juga tidak cantik, dan tidak punya pola permainan yang bagus. Kami hanya punya mental pemenang," ujar Sudirman.

Kematangan mental itu terbukti mampu memberikan perbedaan karena sebenarnya dalam drama adu penalti Timnas Indonesia nyaris menangis. Eksekutor pertama kedua tim, Raymond Hattu dan Attapon Busbakom menjalankan tugas dengan baik dan membuat skor menjadi 1-1.

Thailand kemudian unggul 2-1 setelah tendangan Maman Suryaman mampu ditepis. Kedudukan berubah menjadi 3-2 untuk Thailand setelah eksekutor ketiga kedua tim sama-sama berhasil mengeksekusi penalti.

Yusuf Ekodono lantas mengawali kebangkitan Tim Garuda setelah mengelabui kiper Thailand, Chaiyong. Eddy Harto kemudian menjadi penentu setelah menahan tembakan Suksok.

Tekanan adu penalti semakin terasa setelah Widodo Cahyono Putro dan Ranachai Busbakom gagal membobol gawang lawan. Namun, Timnas Indonesia akhirnya membalikkan keadaan setelah sepakan Sudirman tak mampu dihalau kiper lawan. Setelah itu, Eddy Harto yang waktu itu berusia 29 tahun memastikan skor 4-3 usai memblok eksekusi Pairot.

Indonesia menang dan berpesta setelah memastikan medali emas kedua sepanjang sejarah partisipasi di pesta olahraga se-Asia Tenggara itu. “Masih bisa saya rasakan bagaimana tegangnya kami waktu itu. Terpenting, Indonesia tak hanya bisa menang di Jakarta,” ujar Eddy Harto beberapa waktu silam.

Mungkinkah cerita membahagiakan tahun 1991 akan terulang di 2019 ini?

 

 

Disadur dari: Bola.com (Penulis: Ario Yosia/Editor: Ario Yosia, published 7/12/2019)