Jakarta - PSSI menggandeng brand lokal Mills sebagai penyedia apparel Timnas Indonesia mulai 2020. Ini bukan kali pertama Tim Merah-Putih menggunakan produk dalam negeri.
Mills mulai dipakai pada pemusatan latihan (TC) Timnas Indonesia pada 14-23 Februari tahun ini di Jakarta. Kerja sama ini akan berlangsung selama dua tahun.
"Kami resmi memilih Mills sebagai apparel Timnas Indonesia mulai tahun ini. Pemilihan ini melalui pertimbangan yang matang dan komitmen Mills untuk mensupport Timnas Indonesia," kata Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan.
Advertisement
"Selain itu Mills produk asli Indonesia. Kami mendukung program pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengangkat UMKM dan produk lokal. Terbukti kualitas produk lokal kita tidak kalah dengan apparel dari Amerika dan Eropa. Dengan kepercayaan ini, kami berharap produk anak bangsa bisa mendunia. Semoga kerja sama ini berlangsung baik dan Timnas Indonesia meraih prestasi, " tambahnya.
Mills akan memenuhi kebutuhan Timnas Indonesia dari segala usia dan untuk timnas putri. Selain itu, Mills akan menyuplai kegiatan PSSI diantaranya kursus pelatih, kursus perwasitan, dan untuk asosiasi provinsi. Apparel asli Indonesia ini diharapkan menjadi produk yang berkualitas dan membanggakan.
Penunjukkan Mills sebagai apparel resmi Timnas Indonesia sempat memicu kontroversi. Pasalnya, PSSI sempat menjalin mitra dengan perusahaan asing asal Thailand, Warrix.
Jersey-jersey hasil disain Warrix telah didistribusikan dan dikenakan oleh Timnas Indonesia U-19 sewaktu pemusatan latihan (training centre) di Cikarang, Kabupaten Bekasi dan Chiang Mai, Thailand, akhir Januari lalu. Kok bisa PSSI membelot?
Polemik bermula ketika Warrix, melalui akun Instagram @warrixindonesia mengunggah pesan yang dapat diartikan bahwa apparel asal Thailand itu akan menggantikan Nike sebagai produsen seragam Timnas Indonesia pada 12 Januari 2020.
Sehari berselang, Mochamad Iriawan selaku Ketua PSSI membantah pihaknya telah resmi bekerja sama dengan apparel Timnas Thailand tersebut.
"Belum, masih ada peluang buat apparel lain. Kami coba dulu mana yang cocok dan mana yang bagus. Jadi, masih ada peluang untuk merk jersey yang lain," kata pria yang karib dipanggil Iwan Bule itu.
Belakangan, pria yang juga menduduki posisi sebagai Sekretaris Utama (Sestama) Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) ini memastikan, PSSI tidak lagi berminat menjalin mitra dengan Warrix. Setelah melalui pertimbangan yang cukup matang, Iwan Bule terpukau dengan produk lokal bernama Mills.
"Untuk seragam Timnas Indonesia, akhirnya kami putuskan untuk memakai buatan lokal. Alasannya, pertama bahannya lebih bagus. Kedua, kami ingin memajukan produk lokal. Apa bedanya usaha mikro kecil dan menengah di Thailand dengan di sini. Maka dari itu, kami memilih produk Indonesia," kata Iwan Bule, 8 Februari 2020.
Padahal dua hari sebelum Iwan Bule menjatuhkan pilihan kepada Mills, Warrix telah mengenalkan seragam untuk Timnas Indonesia di Jakarta. Namun, apparel yang berdiri pada 2013 ini memilih untuk bermain aman dalam mengomentari kontroversi kerja sama dengan PSSI.
"Untuk saat ini saya tidak ingin berkomentar. Pernyataan yang ada di media Thailand itu bukan berasal dari kami. Jadi, kami tidak bisa mengatakan apa pun,"Â kata Atsuo Ogura, International Business Development Warrix, 6 Februari 2020.
"Soal jersey latihan yang digunakan Timnas Indonesia, kami hanya sebatas memberi dukungan. Jadi, kami belum bisa berbicara lebih jauh soal itu," Lanjut Ogura.Â
Terlepas dari kontroversi itu, sejatinya bukan kali pertama PSSI bermitra dengan apparel lokal. Hal itu terjadi pada era 1960 hingga 1990-an, saat Tim Merah-Putih belum dilirik perusahaan penyedia jersey sepak bola raksasa dunia macam Adidas dan Nike. Kedua perusahaan itu lebih berminat mensponsori tim-tim di percaturan elite.
Indonesia, jangankan lolos ke Piala Dunia, bermain di level Piala Asia prestasinya relatif pas-pasan. Walau sejatinya, massa sepak bola fanatis di negara kita merupakan potensi pasar yang besar.
Kualitas Bahan yang Jelek
Pada era 1990 hingga awal 2000-an, Timnas Indonesia rajin menggunakan kostum dengan logo-logo brand besar macam, Adidas, Diadora, atau Nike, saat berlaga di pentas internasional. Tapi tunggu dulu, jersey-jersey tersebut dibeli PSSI dari distributor. Tidak ada ikatan bisnis apa-apa.
"Paling mentok PSSI minta harga diskon dari mereka. Mereka belum menghitung kita sebagai mitra bisnis yang menguntungkan," cerita Nugraha Besoes, Sekjen PSSI di era Azwar Anaz dan Nurdin Halid.
Pada era itu, PSSI tak kekurangan ide untuk mengakali pengeluaran besar membeli jersey. Mereka bermitra dengan garmen lokal untuk menduplikasi kostum-kostum dengan logo brand besar.
Bambang Sucipto, pengurus Persija Jakarta, yang punya bisnis garmen intens memasok jersey-jersey replika buat Timnas Indonesia. Sempat mencuat guyonan: Adidas Made in Bangcip (singkatan nama Bambang Sucipto), dikalangan pemain Tim Garuda.
"Kalau dilihat dari jauh, kelihatannya sama. Tapi kalau sudah memakainya langsung rasanya beda. Kostum timnas produksi garmen lokal bahannya agak tebal dan cenderung berat. Mungkin tujuannya biar awet, walau malah bikin pemain kepanasan," cerita Sudirman, bintang Timnas Indonesia di era 1990-an.
"Mungkin sekarang kalau dipakai, malu rasanya," imbuh Patar Tambunan, pilar Tim Merah-Putih di SEA Games 1987 sambil terkekeh.
Walau kualitasnya jauh dibanding produk asli, para pemain Timnas Indonesia periode itu sangat bangga. "Kualitas nomor dua, yang paling penting momennya. Kostum yang kami pakai punya banyak kenangan. Hal itu tak terbayar dengan apapun," papar Bambang Nurdiansyah, striker Timnas Indonesia yang sukses memenangi gelar SEA Games 1991.
Lantas bagaimana saat bertukar kostum dengan tim lawan?
"Karena rata-rata kita melawan tim sesama Asia Tenggara atau level bawah Asia, ya tidak ada rasa malu. Saat itu jersey-jersey timnas negara lawan juga jelek," papar Sudirman.
Advertisement
Disain Garuda Besar di Dada yang Dicibir
Memasuki periode awal 2000-an, Timnas Indonesia mulai dilirik perusahaan-perusahaan apparel asing. Walau pasokan kostumnya hanya sebatas kerja sama barter. PSSI hanya mendapat pasokan jersey, tanpa mendapat rupiah sepeser pun.
Pada periode 2000 hingga 2003, Timnas Indonesia sempat menggunakan kostum bermerek Nike dan Adidas. Cerita lucu terjadi di Piala Asia 2003.
Saat itu asisten manajer Timnas Indonesia, Muhammad Ghazali, melakukan sebuah terobosan. Ia berani mensponsori jersey Tim Garuda. Kebetulan yang bersangkutan punya brand pakaian Ghazali Sports di Semarang.
Jadilah Ponaryo Astaman dkk. menggunakan jersey bermerek lokal Ghazali Sports pada saat berlaga di China. Pada awalnya, disain milik Ghazali Sports banjir kritik.
Kostum Timnas Indonesia dianggap norak. Lambang Garuda besar menempel di dada. Andi Darussalam, manajer Timnas Indonesia saat itu memilih tutup kuping.
"Kita harus hargai kebaikan Pak Ghazali. Dia mau menyuplai kostum timnas disertai perjanjian bisnis yang bagus ke PSSI," kata Andi kala itu.
Ghazali sempat melontarkan kesedihannya, ketika jersey milik perusahaan garmennya dicaci. "Sedih saya, niat hati ingin menonjolkan logo Garuda di dada kostum untuk mengobarkan semangat para pemain, eh malah dihujat," katanya.
Ivan Kolev dan para pemain Timnas Indonesia tak mempersoalkan kualitas bahan jersey yang mereka pakai. "Lumayan enak dipakai, tidak seberat jersey yang dipakai klub," kata Ponaryo Astaman, gelandang Timnas Indonesia saat itu.
Selain dipakai di Piala Asia 2004, jersey dengan brand Ghazali Sports sempat wira-wiri pada Kualifikasi Piala Dunia 2008.
Era Baru Adidas
Piala AFF 2004 jadi momen membanggakan bagi Timnas Indonesia. Untuk kali pertama di event internasional, Tim Merah-Putih menggunakan jersey brand besar disertai kontrak bisnis yang menguntungkan. Timnas yang saat itu dibesut Peter Withe menggunakan kostum dengan merek Adidas.
Perusahaan asal Jerman itu menjalin kontrak kerja sama dengan PSSI selama dua tahun. "Ketertarikan Adidas mensponsori Timnas Indonesia sebuah kebanggaan bagi PSSI. Tak usah saya sebut nominal kontraknya, pastinya angkanya sangat bagus," kata Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI saat itu.
Selain menyokong timnas, Adidas juga mensponsori secara pribadi tiga pilar Tim Garuda: Boaz Solossa, Ilham Jayakesuma, dan Ortizan Solossa. Ketiganya merupakan bintang di Piala AFF 2004.
"Popularitas mereka meroket di Piala AFF, Adidas ingin mereka menjadi duta kami di sepak bola, terutama berkaitan dengan timnas," ucap Asep Hadian, perwakilan Adidas saat itu.
Adidas sukses meraih keuntungan finansial dengan menyuplai jersey ke Timnas Indonesia. Jersey Tim Merah-Putih saat itu laku keras di gerai-gerai Adidas. Masyarakat pencinta sepak bola Tanah Air mau merogoh kocek mahal Rp500 ribu untuk bisa mempunyai jersey Timnas Indonesia.
"Selama ini suporter hanya bisa melihat dari kejauhan saja, tak bisa memiliki jersey timnas karena tidak diproduksi massal. Sekarang setelah diproduksi Adidas, kami bisa membelinya," tutur Danang Ismartani, Ketua The Jakmania saat itu yang juga fan fanatik Timnas Indonesia.
Advertisement
Ini Kandang Kita
Kesuksesan Adidas, dicermati pesaing utamanya Nike. Begitu kontrak antara PSSI dengan perusahaan asal Jerman tersebut habis pasca Piala AFF 2007, Nike langsung menyodorkan kontrak jangka panjang dengan nilai wah.
Perusahaan asal Amerika Serikat itu kabarnya mengelontorkan dana Rp10 miliar per tahun buat kerja sama bisnis dengan PSSI.
Ajang Piala Asia 2007 yang dihelat di empat negara Asia Tenggara: Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Malaysia, dipakai Nike buat menggaet pasar di kawasan ini. Negara-negara tuan rumah kesemuanya disponsori Nike.
Di Indonesia, Nike berpromosi gede-gedean dengan jargon "Ini Kandang Kita" untuk membakar semangat publik sepak bola Tanah Air. Mereka menjadikan tiga bintang Timnas Indonesia: Bambang Pamungkas, Elie Aiboy, dan Budi Sudarsono jadi duta produk mereka. Lauching digelar besar-besaran di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Ketiganya dapat kontrak pribadi dari Nike dengan nominal besar. PSSI pun dilibatkan untuk mendisain kostum Timnas Indonesia produksi Nike.
"Mereka punya rancangan dasar yang sama buat tiap negara, tapi untuk keunikan masing-masing negara mereka memberikan ruang kosong untuk didisain dengan sesuatu yang khas sesuai keinginan federasi," ujar Nugraha Besoes.
Di Piala Asia, untuk kali pertama PSSI kembali menghidupkan aroma warna Hijau di antara warna kebesaran timnas: Merah dan Putih. "Warna hijau jadi warna khas Timnas Indonesia di era 1950 hingga 1970-an. Saat itu Indonesia dijuluki Raksasa Asia," tutur Nugraha.
Kerja sama antara PSSI dengan Nike berlangsung cukup lama. Perusahaan tersebut menyokong Timnas Indonesia hingga 2019. Mereka sama sekali tak terpengaruh dengan konflik yang terjadi di PSSI, atau buruknya citra sepak bola Indonesia karena rentetan kasus kontroversial.
Nike melihat potensi pasar Indonesia sangat menjanjikan. Indonesia jadi negara dengan jumlah penikmat sepak bola terbesar di Asia, walaupun prestasi mereka tak istimewa-istimewa amat.
Â
Disadur dari: Bola.com (Penulis: Ario Yosia/Editor: Rizki Hidayat, published 21/4/2020)Â