Jakarta - Timnas Indonesia mencatat prestasi terbaik ketika merebut medali perunggu Asian Games 1958 di Tokyo. Di luar itu, Merah Putih gagal bicara banyak, bahkan di panggung Asia Tenggara.
Pada Asian Games 1958, Timnas Indonesia bergabung di Grup B bersama India dan Burma (Myanmar). Indonesia sukses revans atas kekalahan empat tahun lalu ketika melawan Burma pada laga perdana dengan skor 4-2. Tim Garuda lalu menerkam India dengan skor 2-1 untuk memastikan sebagai pemuncak Grup B.
Baca Juga
Karena Efek Nataru, Timnas Vietnam Harus Berangkat Dalam Dua Kelompok usai Leg Pertama Semifinal Piala AFF 2024
Sejarah Buruk Juara Bertahan Premier League: Man City Bukan yang Mengalaminya Pertama Kali
Asisten Shin Tae-yong Ungkap Timnas Indonesia Akan Mengevaluasi dan Minta Pemain Menyadari Kekurangan di Piala AFF 2024
Berlabel juara grup, Indonesia terhindar dari masalah dini, menghadapi favorit juara, Hongkong di perempat final.
Advertisement
Babak perempat final memang tak begitu sulit bagi Liong Houw dkk. Mereka dengan mudah menyikat Filipina dan lolos ke semifinal. Taiwan, sudah menunggu di babak ini sekaligus sebagai tim yang memupus harapan Indonesia melaju ke final. Indonesia tunduk dengan skor 0-1 meski sepanjang pertandingan mampu menguasai.
"Kekalahan atas Taiwan akibat kurang cepat dalam dari bertahan ke menyerang. Indonesia mendapat empat peluang namun gagal. Sedangkan lawan begitu satu peluang langsung berbuah gol," kata Maulwi kepada Harian Umum.
Pada era 1950-an, Taiwan memang kerap menjadi sandungan Timnas Indonesia. Pada semifinal Asian Games 1954 di Manila, Indonesia jga tumbang di semifinal dengan skor 2-4.
Kembali ke Asian Games 1958, India yang pernah dikalahkan Indonesia pada fase grup, menanti pada laga perebutan medali perunggu. Masih dengan penuh semangat, Timnas Indonesia memukul telak India dengan skor 4-1 dan meraih perunggu, satu-satunya medali dari ajang tersebut hingga saat ini.
Antun Pogacnik dan Diplomasi Indonesia - Yugoslavia
Perjalanan tim Garuda meraih perunggu pada pesta olahraga Asia itu diawali dengan hubungan diplomatik Indonesia dengan Yugoslavia pada era kepemimpinan Presiden Soekarno. Lewat relasi itu, Indonesia mendatangkan pelatih Yugoslavia, Antun ‘Toni’ Pogacnik pada 1954.
Pada era itu, Indonesia dan Yugoslavia sangat mesra dan menggalang kekuatan di dunia ketiga. Presiden Soekarno dan pemimpin Yugoslavia, Josip Broz Tito, sangat mendukung kedatangan Toni. Mereka yakin olahraga bisa menjadi wadah bagi kedua negara untuk bertukar pikiran dan bersahabat.
Jika Soekarno punya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), Tito dengan Socialist Federal Republic of Yugoslavia (SFRY). Mereka juga pemimpin yang menjadi pelopor Gerakan Non Blok. Soekarno dan Tito pun punya pandangan dan basis masa yang sama, serta prinsip loyalitas dan kerja keras.
Prinsip itulah yang tercermin dalam filosofi sepak bola Toni Pogacnik. Begitu mendarat di Jakarta, Toni langsung memberikan perubahan. Ia berhasil membawa Indonesia tampil di Olimpiade Melbourne 1956.
Zaman dulu, Toni juga melakukan penelusuran pemain sampai ke pelosok-pelosok daerah. Pada akhirnya hanya menyisakan 18 pemain yang berangkat ke Olimpiade. Selain itu, Timnas Indonesia intensif melakukan rangkaian uji coba, terutama melawat tim-tim Eropa Timur.
Sebelum Asian Games Tokyo, ujian pertama Toni ialah Asian Games Manila 1954. Dengan skuat muda, Toni membawa Indonesia ke semifinal. Sayangnya, Timnas Indonesia harus mengakui keunggulan Burma (Myanmar) dengan skor 4-5 pada perebutan medali perunggu.
Â
Advertisement
Hancur Lebur karena Kasus Suap
Match fixing atau pengaturan skor atau suap atau apa pun itu istilahnya ternyata sudah menjadi momok buat sepak Indonesia sejak lama. Ini terjadi pada Asian Games 1962 yang ironisnya digelar di Jakarta.
Sukses di Asian Games Manila 1954, Olimpiade Melbourne 1956, dan Asian Games Tokyo 1958, membuat Toni Pogacnik dibebani target juara. Hal yang cukup realistis mengingat gairah sepak bola Indonesia tengah menanjak dan momentum itu ada tatkala Jakarta ditunjuk sebagai tuan rumah.
Sayang, Toni Pogacnik meninggalkan Indonesia dengan cerita tidak enak. Timnas Indonesia dihantam skandal suap di Asian Games 1962.
Skandal Senayan 1962 mencoreng wajah sepak bola Indonesia. Kasus match fixing yang melibatkan sejumlah pemain pilar Timnas Indonesia mulai terkuak pada awal Januari 1962 dan memuncak pada 19 Febuari 1962 ketika Indonesia berujicoba dengan tim Vietnam Selatan.
Ini bermula saat penggawa Timnas Indonesia, Maulwi Saelan merasa ada gelagat aneh dari rekan setimnya pada 1961 atau ketika Indonesia menjalani beberapa laga persahabatan. Usut punya usut, termasuk dengan melibatkan penyelidikan kepolisian, bukan sekali dua kali saja para pemain timnas bermain mata dengan para bandar judi.
Hasil penyelidikan menyebutkan, pertandingan-pertandingan yang ditemukan telah diatur itu di antaranya adalah pertandingan timnas Indonesia melawan Malmoe (Swedia), Thailand, Yugoslavia Selection dan Ceko Combined.
Setidaknya ada 10 pemain andalan timnas saat itu yang dikenai skorsing. Mereka adalah Iljas Hadade, Pietje Timisela, Omo Suratmo, Rukma Sudjana (kapten), Sunarto, Wowo Sunaryo (Persib), John Simon, Manan, Rasjid Dahlan (PSM Makassar), dan Andjiek Ali Nurdin (Persebaya).
Wowo Sunaryo, satu di antara pemain Timnas Indonesia yang menerima suap, mengaku tak punya pilihan selain menerima suap. Ia merasa terperangkap oleh jerat setan sehingga ia tak cuma mengkhianati Pogacnik saja, tapi seluruh rakyat Indonesia.
"Seperti digoda setan, saya terperangkap. Saya terpaksa menerimanya karena kondisi keluarga," kata Wowo Sunaryo seperti dilaporkan majalah Tempo edisi 14 Juli 1979.
Â
Disadur dari: Bola.com (Penulis: Gregah Nurikhsani/Editor: Gregah Nurikhsani, published 7/5/2020)