Liputan6.com, Jakarta Angkutan udara mulai mengaktifkan lagi jadwal penerbangannya seiring kembali beroperasinya angkutan umum di masa transisi PSBB, terutama di DKI Jakarta. Aturan melakukan perjalanan dengan angkutan udara kali ini mangacu pada SE 7 di mana salah satu syaratnya menyertakan hasil tes PCR.
Namun banyak calon penumpang yang mengeluh mahalnya biaya tes PCR dan tidak semua daerah punya layanan tes ini. Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Novie menjelaskan, calon penumpang bisa melampirkan hasil tes rapid atau surat kesehatan yang terakreditasi oleh Kemenkes.
"Penumpang domestik bisa menggunakan 3 persyaratan teekait ketersediaan tes. Pertama, PCR berlaku 7 hari, kemudian untuk rapid 3 hari, yang terakhir adalah surat kesehatan dokter yang terakreditasi. Kita semuabtahu PCR ini mahal, oleh karena itu, apabila di suatu tempat tidak ada PCR dan rapid, bisa dilakukan dengan surat kesehatan, yang tentu saja terakresitasi dan terdaftar di Kemenkes," kata Novie dalam konferensi pers, Selasa (9/6/2020).
Advertisement
Di masa PSBB, untuk tes PCR sendiri terhitung mahal, di mana rata-rata bisa mencapai Rp 2 juta. Sehingga penumpang pesawat dapat menggunakan rapid test dan surat keterangan sehat.
Novie menambahkan, pihak airlines juga dapat menyediakan layanan rapid bagi penumpangnya, dan tetap harus seseuai dengan SE 7.
"Apabila airlines melaksanakan rapid sehingga menjadi terintegrasi, saya rasa nggak masalah, yang penting memenuhi persyaratan SE 7 gugus tugas," kata Novie.
Komentar Pengamat
Pengamat penerbangan Gatot Raharjo menilai peraturan Menteri Perhubungan nomor 18 tahun 2020 pasal 14 bagian C bertentangan dan tak sesuai kondisi lapangan. Aturan tersebut berisi soal Pengendalian Transportasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona.
Gatot menjelaskan, jika melihat kondisi saat ini, aturan baru tersebut bisa dikatakan kontraproduktif atau bertentangan dan tidak membantu menggairahkan penerbangan nasional.
"Baik untuk maskapai terutama yang non-BUMN, penumpang maupun stakeholder lain dikarenakan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan,” kata Gatot dalam keterangan tertulis, Senin (13/4/2020).
Untuk diketahui, aturan yang diteken oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang merangkap menjadi Menteri Perhubungan, Luhut B Panjaitan tersebut pengendalian kegiatan transportasi udara meliputi:
a. pengurangan kapasitas (slot time) bandar udara berdasarkan evaluasi
b. pembatasan jumlah penumpang pesawat paling banyak 50 persen dari jumlah kapasitas tempat duduk dengan penerapan jaga jarak fisik atau physical distancing; dan
c. penyesuaian tarif batas atas dan atau pemberlakuan tuslah surcharge berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lanjut Gatot, sejak Indonesia menyatakan darurat nasional Corona di awal Maret lalu, tingkat isian muatan atau Load Factor (LF) penumpang setiap pesawat milik maskapai nasional tidak lebih dari 50 persen.
Contohnya seperti dinyatakan oleh PT Angkasa Pura II (Persero) bahwa pada tanggal 10-11 April 2020 lalu, LF di Bandara Soekarno-Hatta mengalami penurunan sehingga LF tidak sampai 50 persen.
“Padahal jumlah penerbangan di bandara ini sekitar 60-70 persen dari total jumlah penerbangan nasional. Ditambah lagi bahwa setiap penerbangan adalah resiprokal antar dua bandara, sehingga kalau penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta menurun, maka bandara lain yang terhubung juga pasti menurun jumlah penerbangannya,” jelasnya.
Advertisement
Tak Bisa Selamatkan Industri Penerbangan
Tentu saja hal tersebut diakui pengelola bandara-bandara besar di tanah air yaitu PT. Angkasa Pura I dan II yang kemudian mengurangi jam operasional dan layanan penerbangannya demi efisiensi. Agar LF meningkat, maskapai sudah berupaya dengan memberikan diskon harga tiket hingga mendekati batas bawah.
Misalnya untuk penerbangan Jakarta – Surabaya, Maskapai Garuda memberikan potongan diskon hingga 37 persen sehingga tarifnya menjadi Rp 700 ribuan. Sedangkan, Batik dan Lion air menjual tarif antara Rp 350-400 ribu, Citilink sekitar Rp 550 ribu, serta Sriwijaya sekitar Rp 350 ribuan.
Tarif dasar itu nantinya masih harus ditambah pajak, layanan bandara dan lainnya yang besarnya bervariasi antara Rp100-200 ribu hingga menjadi harga tiket.
Namun hal tersebut berbeda dengan Keputusan Menteri Perhubungan no. KM 106 tahun 2019, tarif batas atas rute itu adalah Rp 1.167 ribu dan batas bawah Rp 408 ribu untuk maskapai full service seperti Garuda dan Batik.
Sedangkan maskapai menengah seperti Sriwijaya bisa menjual 90 persen dan LCC 85 persen dari batas atas. Batas bawah ditetapkan 35 persen dari masing-masing tarif batas atas sesuai layanan.
“Bisa dilihat, tarif yang ditawarkan sudah mendekati bahkan sudah ada yang di batas bawah. Itu pun LF masih sekitar 50 persen. Bagaimana nanti kalau tarif dinaikkan? Bisa jadi LF akan semakin menurun. Pemasukan maskapai pun akan semakin menurun, sehingga tidak mungkin akan mengurangi penerbangan atau menutup operasi sementara seperti yang sudah dilakukan Indonesia AirAsia mulai awal April lalu,” ungkapnya.
Apalagi saat ini masyarakat diimbau pemerintah untuk mengurangi dan menunda bepergian (no mudik dan no piknik) kecuali kondisi mendesak. Serta dianjurkan tidak keluar rumah dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jabodetabek dengan konsekuensi bekerja dan belajar di rumah.
Oleh karena itu, Gatot menegaskan kembali, dengan adanya pasal 14 terutama ayat C tersebut, bertentangan dengan apa yang diharapkan untuk menyehatkan penerbangan nasional, dan malah bisa mengganggu kelangsungan supply chain melalui transportasi udara.
Disadur dari kanal ekonomi Liputan6.com (Penulis Pipit Ika Ramadhani, published 9/6/2020).