Jakarta - Kesuksesan mengangkat harkat Timnas Indonesia membuat sejumlah pelatih asing terselip dalam lembar sejarah sepak bola Tanah Air.
Dipilihnya pelatih asing bukanlah kali pertama buat Timnas Indonesia. Jauh sebelum Shin Tae-yong, sudah ada nama beken yang pernah mampir menangani Skuat Garuda.
Baca Juga
Carlo Ancelotti Kehilangan Kepercayaan pada Ferland Mendy dan Fran Garcia, Terancam Akan Tersingkir dari Skuad Real Madrid
Erick Thohir Beruntung Pemain Diaspora Yakin pada Proyek untuk Lolos ke Piala Dunia dan Olimpiade
Pengamat Sarankan Shin Tae-yong Tetap Jadi Pelatih hingga Selesai di Kualifikasi Piala Dunia 2026
Shin Tae-yong datang menggantikan Simon McMenemy yang dipecat PSSI lantaran dicap gagal membawa Timnas Indonesia unjuk gigi sepanjang Pra-Piala Dunia. Sebelumnya, ada Luis Milla yang menangani Septian David Maulana cs. di pentas Asian Games 2018.
Advertisement
Sejak 1950-an, tepatnya setelah Choo Seng Quee, pelatih asal Singapura membesut Timnas Indonesia, deretan pelatih asal Eropa maupun pelatih lokal bergantian menduduki posisi strategis sebagai nahkoda timnas.
Tercatat ada 17 pelatih lokal yang telah membesut Tim Garuda mulai dari E.A. Mangindaan pada 1966 hingga 1970, sampai Bima Sakti pada 2018. Sementara bicara pelatih asal Eropa, ada 19 nama pelatih dari segala penjuru Benua Biru yang pernah menangani Tim Garuda.
Dari sekian nama, terdapat lima pelatih asing berkharisma yang pernah melatih Timnas Indonesia. Berikut ini Bola.com merangkumnya.
Saksikan Video Timnas Indonesia Berikut Ini
Anatoli Polosin
Pelatih asal Rusia, Anatoli Polosin, disebut-sebut masih menjadi pelatih terbaik yang pernah menangani Timnas Indonesia hingga saat ini. Medali emas SEA Games 1987 dan 1991 merupakan hasil positif dari keberadaan satu-satunya pelatih asal Rusia yang pernah menangani Tim Garuda itu.
Anatoli Fyodorich Polosin yang didatangkan PSSI buat kepentingan SEA Games 1991 memiliki kiblat sepak bola yang jelas. Sebagai orang Eropa Timur, Polosin lebih mengedepankan kekuatan fisik ketimbang sepak bola indah yang pernah diturunkan pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, untuk Tim Garuda pada era 1970-an.
Saat masa persiapan menuju SEA Games, Polosin menempa fisik Raymond Hattu dkk. Selama tiga bulan, fisik seluruh pemain digenjot dengan materi latihan yang di luar batas kemampuan pemain kala itu. Pemain muntah-muntah dan kabur dari pemusatan latihan jadi hal yang lumrah.
Kala itu, Polosin menilai Timnas Indonesia tidak bisa berbicara banyak karena kondisi fisik yang tidak memadai. Oleh karena itu, ia tetap jalan terus dengan metode “Shadow Football” walau Satgas Pelatnas saat itu, Kuntadi Djajalana, mengaku sempat ada perdebatan ketika Timnas Indonesia digembleng begitu keras.
“Polosin sempat melihat pertandingan Galatama sebelum memanggil pemain untuk pemusatan latihan. Ia pun bilang bahwa kami hanya kuat main di babak pertama saja kemudian menurun di babak kedua,” kata Sudirman.
Fisik para pemain Timnas Indonesia mengalami peningkatan drastis berkat gemblengan Polosin yang diketahui tidak cukup mahir bicara bahasa Indonesia selama melatih di Tanah Air. Ia bisa membuat pemain berlari menempuh jarak 4 kilometer dalam waktu 15 menit. Standar VO2Max pemain pun sudah sesuai dengan pemain Eropa.
Kekuatan fisik yang meningkat drastis dijajal Polosin dengan mengikuti ajang Presiden Cup di Seoul. Namun, hasilnya mengenaskan karena Tim Garuda takluk dari klub Austria, China U-23, Mesir, Korea Selatan, dan Malta. Timnas Indonesia kebobolan 17 gol dan hanya memasukan satu gol.
Kegagalan dalam beberapa laga uji coba tak diambil pusing oleh Polosin. Timnas Indonesia tetap melangkah penuh keyakinan ke Manila demi merealisasi target meraih medali emas pertama saat bermain di negeri orang.
“Hasil uji coba nggak bagus karena Polosin juga tidak peduli. Sebabnya intensitas latihan tetap tinggi selama periode uji coba itu dan dia baru menurunkan intensitas jelang tampil di SEA Games. Dia sudah menghitung semua itu menurut cara dia,” kata Sudirman.
Advertisement
Antun Pogacnik
Sulit untuk menolak anggapan bahwa Timnas Indonesia menjalani masa emasnya pada era 1950-an di bawah tangah dingin Antun 'Toni' Pogacnik. Bisa dibilang, Pogacnik adalah orang yang kembali menempatkan Indonesia di peta dunia usai proklamasi kemerdekaan pada 1945 yang dibacakan oleh Presiden Indonesia pertama, Ir. Soekarno.
Ini tidak berlebihan. Sebab, torehan prestasi di kancah internasional sanggup ia berikan selama kariernya di Tanah Air.
Pada Asian Games 1954, Timnas Indonesia mampu dibawanya ke semifinal. Meski pada akhirnya gagal menyabet medali perunggu, keberhasilan itu membuat gairah sepak bola di Indonesia meningkat. Apalagi, pada era 1950-an, nasionalisme rakyat sedang tinggi-tingginya lantaran Indonesia masih berumur jagung pasca kemerdekaan.
Medali akhirnya didapat tim sepak bola Indonesia pada Asian Games edisi berikutnya, tepatnya pada Asian Games 1958 di Tokyo. Indonesia bergabung di grup B bersama India dan Burma. Kali ini Indonesia menyapu bersih semua laga, termasuk membalas kekalahan menyakitkan dari Burma (Myanmar) di perebutan tempat ketiga pada edisi sebelumnya (kalah 4-5). Kali ini, Indonesia menang 4-2.
Kemenangan besar kembali diraih Timnas Indonesia pada perempat final. Berhadapan dengan Filipina, Pogacnik menerapkan permainan indah yang berujung pada kemenangan 5-2. Sayang, untuk kali kedua secara beruntun, Indonesia kandas di semifinal, saat itu Taiwan meraih kemenangan tipis 1-0.
Pada perebutan medali perunggu atau tempat ketiga, Timnas Indonesia kembali bersua India, tim yang sudah mereka hadapi pada babak grup. Tanpa kesulitan berarti, Indonesia menang telak 4-1.
Sejak saat itu, Indonesia tak pernah lagi menggondol perunggu Asian Games dari cabang olahraga sepak bola. Peluang terbaik didapat Bertje Matulapelwa pada Asian Games 1986. Namun tumbang dari Kuwait pada perebutan medali perunggu.
Selain itu, Timnas Indonesia Junior berhasil menjadi juara Piala Asia Muda (kini Piala Asia U-19) bersama Myanmar pada edisi 1961. Yang paling legendaris adalah kala Tim Merah-Putih sukses menahan 0-0 tim raksasa Uni Soviet pada babak perempat-final di Olimpiade Melbourne 1956. Sayang pada pertandingan ulangan Indonesia kalah 0-4 dari tim yang akhirnya jadi juara.
Wiel Coerver
Wiel Coerver merupakan pelatih klub top Belanda, Feyenoord. Dia nyaris membawa Timnas Indonesia lolos ke Olimpiade Montreal 1976, sebuah tendangan penalti dari Anjas Asmara yang melayang mengubur mimpi Timnas Indonesia ke olimpiade.
Skuat Merah putih berhasil melaju ke final kualifikasi. Sayangnya, pasukan Garuda harus tersingkir setelah ditundukan Korea Utara melalui drama adu penalti, 4-5.
Coerver yang lahir pada 3 Desember 1924 memenangi Kejuaraan Belanda 1956 ketika memperkuat Rapid JC (sekarang Roda JC). Pada periode 1975 sampai 1976, Coerver menukangi skuat Merah Putih.
Dia didatangkan khusus untuk membantu Timnas Indonesia lolos kualifikasi Olimpiade 1976. Kala itu, Indonesia baru kembali ke pentas internasional setelah dijatuhi sanksi larangan tampil selama 16 tahun akibat memboikot pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1958 melawan Israel.
Walau berada di Indonesia dalam waktu yang singkat, nama Coerver melegenda. Ia dinilai sukses membangun pondasi gaya bermain sepak bola Indonesia.
Di pentas internasional, prestasi Wiel Coerver amat mentereng. Ia mengantar Feyenoord mengalahkan Tottenham Hotspur untuk memenangi Piala UEFA 1974 silam.
Gerrad Meijer yang bertugas sebagai fisioterapis di Feyenoord selama 50 tahun, mengatakan Coerver merupakan sosok dengan semangat yang tinggi. Ketika baru tiba di Feyenoord, dasar-dasar sepak bola menjadi materi utama Coerver. Teknik yang diajarkan Coerver membuat para pemain benar-benar berkembang.
Selain Indonesia dan Feyenoord, Coerver juga pernah melatih Sparta Rotterdam, Roda JC Kerkrade dan Go Ahead Eagles. Namun, bukan kiprahnya sebagai pelatih yang membuat Coerver terkenal di persepakbolaan internasional.
Dia terkenal dengan metode kepelatihannya yang disebut Coerver Method. Metode ini dinilai sebagai sistem kepelatihan paling sukses di era sepak bola modern. Metode ini menggabungkan kemampuan pesepak bola menggiring bola, mengoper, kecepatan, pergerakan satu-lawan-satu, dan penyelesaian.
Advertisement
Ivan Kolev
Ivan Kolev begitu akrab dengan sepak bola Indonesia. Sederet klub-klub elite hingga Timnas Indonesia pernah merasakan tangan dinginnya.
Ivan Kolev tercatat sebagai seorang gelandang ketika menjadi pesepak bola pada 1967-1979. Sepanjang karier, Kolev menghabiskannya bersama klub-klub Bulgaria seperti Lokomotiv Sofia, OFC Sliven 2000, Akademik Sofia, dan PFC CSKA Sofia.
Karier kepelatihan Ivan Kolev di Indonesia berawal di Persija. Pada 1999, klub berjulukan Macan Kemayoran itu mendatangkan Ivan Kolev untuk menukangi Bambang Pamungkas dkk.
Dalam debutnya di Indonesia, Kolev mampu menunjukkan kualitasnya bersama Persija. Bersama Kolev, Persija pada babak grup berhasil menjadi pemuncak klasemen dengan 14 kali menang, sembilan kali imbang, dan tiga kali kalah.
Namun, kegemilangan Persija berakhir pada babak semifinal Liga Indonesia. Persija kalah 0-1 dari PSM Makassar. Pada akhir musim, Ivan Kolev meninggalkan Persija.
Sementara sebagai pelatih Timnas Indonesia, PSSI menunjuk Ivan Kolev pada 2002. Ketika itu, Ivan Kolev dipersiapkan untuk membentuk timnas yang akan berlaga di Piala Tiger (nama sebelum Piala AFF).
Materi sepak bola Indonesia ketika itu cukup bagus karena memiliki pemain-pemain berkelas. Sederet nama dipanggil untuk memperkuat Timnas Merah Putih mulai dari Hendro Kartiko, Elie Aiboy, hingga kuartet penyerang semisal Gendut Doni, Bambang Pamungkas, Zaenal Arif, dan Budi Sudarsono.
Dengan memiliki materi pemain seperti itu, Timnas Indonesia dijagokan menjadi juara. Sepanjang penyisihan grup, Indonesia asuhan Ivan Kolev tak terbendung dengan dua kali menang serta dua kali imbang.
Timnas Indonesia berhasil tampil tajam dengan mencetak 19 gol dan hanya kebobolan lima kali. Pada laga semifinal, Timnas Indonesia berhasil menyingkirkan Malaysia melalui gol semata wayang Bambang Pamungkas.
Pada laga final Timnas Indonesia ditantang Thailand. Sempat kebobolan dua gol lebih dulu pada babak pertama, Timnas Indonesia mengamuk pada babak kedua dengan menyeimbangkan kedudukan menjadi 2-2.
Sayangnya, gelar yang sudah di depan mata sirna. Timnas Indonesia kalah melalui drama adu penalti dengan skor 2-4 dari Thailand.
Pada 2004, Timnas Indonesia tampil di Piala AFC bersama Ivan Kolev. Timnas Garuda ketika itu berada satu grup dengan tuan rumah China, Bahrain, dan Qatar.
Akan tetapi, Timnas Indonesia hanya mampu meraih sekali kemenangan dan dua kali kalah. Timnas Indonesia finis di peringkat ketiga dengan raihan 3 poin sekaligus tersingkir dari Piala AFC 2004.
Pada 2007, PSSI sempat menunjuk kembali Ivan Kolev sebagai pelatih Timnas Indonesia untuk Piala AFC. Akan tetapi, Timnas Indonesia gagal melaju ke fase knockout setelah hanya meraih sekali kemenangan dan menelan dua kekalahan di fase grup.
Alfred Riedl
Alfred Riedl merupakan pelatih yang cukup lekat dengan Timnas Indonesia dalam satu dekade terakhir. Tidak ada gelar juara yang berhasil dipersembahkan Riedl bersama Timnas Indonesia. Torehan terbaiknya hanya dua kali menjadi runner-up di Piala AFF.
Terakhir kali Timnas Indonesia ditangani oleh Riedl adalah di Piala AFF 2016. Saat itu, tepatnya akhir Mei 2016 setelah Indonesia bebas dari skorsing FIFA, Riedl dikontrak oleh PSSI untuk menangani Tim Garuda di Piala AFF 2016. Dalam waktu satu pekan, pelatih asal Austria itu pun memutuskan untuk menerima kembali pinangan PSSI.
Nama Riedl begitu lekat dengan Timnas Indonesia. Dalam tiga edisi Piala AFF, yaitu 2010, 2014, dan 2016, Tim Garuda berada di bawah asuhannya. Timnas Indonesia pun dua kali mencapai final pada 2010 dan 2016. Sayang Tim Garuda kalah dari Malaysia pada 2010 dan Thailand pada 2016.
Tiga episode bersama Tim Merah-Putih di Piala AFF membuatnya merasa dekat dengan Indonesia. Pelatih kelahiran Wina, Austria, 2 November 1949 menyebut, melatih Indonesia adalah proyek tersulit yang dia rasakan sepanjang 26 tahun berkarier menjadi pelatih.
"Selama 18 tahun lalu saya melatih di Asia Tenggara, ada firasat yang berbeda ketika saya tiba di Indonesia. Bila Anda bertanya apakah saya ditakdirkan berada di Indonesia untuk waktu yang lama, mungkin iya dan sekarang sudah terjadi,” ucap Alfred Riedl, dalam sesi wawancara dengan Bola.com di Sleman, 21 Oktober 2016.
Bicara soal pertama kali Timnas Indonesia diasuh Alfred Riedl, yaitu pada 2010, sang pelatih mengaku penasaran sejak menangani Laos di SEA Games 2009. Saat itu, tim asuhannya menang 2-0 atas Indonesia di babak penyisihan grup. Laos melangkah ke semifinal. Namun, satu tahun berselang, Riedl resmi menangani Timnas Indonesia.
Menangani Tim Garuda adalah pengalaman baru bagi Riedl. Pelatih asal Austria itu menyebut Indonesia paling sulit dilatih karena pemain yang berasal dari berbagai daerah dengan kultur dan karakter berbeda.
"Di Indonesia saya merasa sulit membentuk tim nasional yang kuat. Negara ini besar dan banyak perbedaan di masyarakat. Saya mengalami kendala ketika memanggil pemain dari Papua. Mereka harus menempuh perjalanan mungkin bisa sampai satu hari berikutnya," imbuhnya.
Tiga periode menangani Timnas Indonesia, Alfred pun mulai memahami karakter pemain yang berasal dari Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Papua. Tak hanya itu, mantan arsitek Vietnam dan Laos itu juga sangat paham dengan perbedaan agama di kalangan pemain, ofisial, hingga suporter.
“Salah satu yang membuat saya bersyukur adalah bisa mengenal masyakarat negara ini lewat Timnas Indonesia yang punya latar belakang berbeda, dari agama maupun ras. Ini membuat saya merasa sudah mengenal semua orang di dunia,” tutur Alfred Riedl.
Disadur dari: Bola.com (Penulis: Gregah Nurikhsani/Editor: Gregah Nurikhsani, published 12/7/2020)
Advertisement