Liputan6.com, Jakarta Angker dalam terminologi sepak bola kerap dikaitkan dengan stadion-stadion di mana tim tamu sulit sekali meraih kemenangan. Namun bukan berarti kata angker dalam makna sebenarnya juga terkadang ditemukan bermakna sebenarnya bagi sejumlah stadion di dunia, termasuk Ghazi.
Melalui rubrik Bola Ganjil yang terbiat setiap tanggal ganjil, Liputan6.com akan membawa para pembaca setia kanal bola untuk bernostalgia dengan salah satu kisah stadion yang bikin bulu kuduk merinding. Tulisan yang terbit empat tahun lalu kami remajakan lagi demi sahabat liputan6 semua.
Seperti apa kisahnya? Langsung saja yuk.
Advertisement
Afghanistan. Seperti diceritakan petualang asal Indonesia, Agustinus Wibowo, lewat bukunya berjudul "Selimut Debu" seakan sukar dilepaskan dari jejak peperangan. Aksi teror, desing peluru, kemiskinan, kesedihan, dan air mata, mewarnai perjalanan negara berpenduduk 32 juta jiwa tersebut.
Puing-puing sisa perang masih banyak berserakan di Afghanistan. Kemiskinan dan keterbelakangan juga kental terlihat, setidaknya hingga kunjungan kedua Agustinus ke Afghanistan sekitar 2006 lalu.
Di bukunya, Agustinus menulis bangunan modern memang telah menjulang di Kabul. Beragam mal dan gerai makanan bernuansa Amerika dan Eropa juga menghiasi sebagian wajah ibu kota. Namun, jejak perang dan kekejaman rezim yang berkuasa seakan tak lekang dari negeri berdebu itu.
Kota-kota di Afghanistan punya cerita kelamnya masing-masing. Jejak kengerian perang dan rezim penguasa terekam dalam berbagai bentuk, termasuk sebuah stadion sepak bola di Kabul.
Saksikan juga video menarik di bawah ini
Stadion Perlawanan
Stadion Ghazi, begitu orang-orang menyebutnya. Lokasinya di pusat Kota Kabul. Stadion berkapasitas 25 ribu penonton itu berdiri sejak era King Amanullah Khan 1923 lalu.
Ghazi berarti pahlawan. Nama ini diberikan untuk memperingati kemenangan Afghanistan pada perang Anglo-Afghan III. Perang ini bertujuan mempertahankan perjanjian Anglo-Afghan tahun 1919.
Pada 1941, Stadion Ghazi untuk pertama kali menggelar pertandingan internasional antara timnas Afghanistan melawan Iran. Saat itu, skor berakhir imbang tanpa gol. Pada 1963, musisi asal Amerika Serikat Duke Ellington juga pernah manggung di sana atas permintaan pemerintahan AS.
Saat ini, Stadion Ghazi sudah lebih modern. Tanah yang lama telah diganti dan ditempatkan rumput sintetis di atasnya. Lintasan lari juga diperbaiki dan lampu-lampu dipasang untuk penerangan malam. Meski demikian, status sebagai stadion angker masih terus melekat di bangunan tak beratap tersebut.
"Terlalu banyak darah yang tumpah di sini," ujar Mohammad Nasim, petugas kebersihan Stadion Ghazi kepada Reuters beberapa tahun yang lalu. "Tidak ada yang mau datang ke sini saat sore, bahkan kami sendiri tidak berani masuk," kata Nabeel Qari, petugas keamanan stadion.
Bagi warga Kabul, memori kelam Stadion Ghazi memang sulit untuk dilupakan. Sebab, sejak rezim Taliban berkuasa (1996-2001), stadion ini sempat digunakan sebagai lokasi eksekusi tahanan. Bukan hanya jumlahnya yang banyak, tapi cara-cara eksekusi yang dilakukan menyisakan trauma bagi warga.
"Setiap orang percaya, tempat ini dihantui oleh arwah orang-orang mati yang belum beristirahat dengan tenang hingga kini," beber Nabeel Qari.
Advertisement
Taliban
Independent.co.uk, 1998 lalu mengisahkan, dua pria pernah diseret oleh tentara Taliban ke lapangan Ghazi Stadium. Kedua pria itu divonis bersalah atas pembunuhan dan akan dieksekusi.
Dengan tangan terikat ke belakang, kedua pria itu lalu di tempatkan di kotak penalti. Algojo kemudian memutilasi satu persatu tahanan tersebut sebelum menuntaskan hukumannya lewat tembakan AK47.
Kisah lain yang tak kalah mengerikan adalah, eksekusi seorang wanita yang juga divonis bersalah atas kasus pembunuhan. Dalam video yang diunggah Rawa.org, tampak seorang wanita berkerudung diturunkan mobil bak terbuka. Dia lalu ditempatkan di area kotak penalti dengan posisi berlutut.
Keluarga korban sebenarnya sudah mengampuni wanita tersebut. Namun karena sudah kadung diumumkan, eksekusi tetap dijalankan. Seorang pria mendekat. Laras AK-47 diarahkan ke bagian kepala tahanan. Dan, dor..! Wanita itu ambruk dan tak bangkit untuk selama-lamanya.
Nasim yang menjadi saksi mata kekejaman Taliban mengatakan, tidak semua tahanan yang dieksekusi bersalah. "Keluarga saya sama sekali tidak bersalah, seperti korban-korban lain yang tewas di sini."
Gentayangan
Saat rezim Taliban tumbang, pemerintah Afghanistan berusaha mengembalikan fungsi stadion ke asalnya. Bangunan pun diperbaiki dan lapangan yang hanya menyisakan tanah coba ditanami rumput. Meski demikian, Nasim dan warga lainnya belum bisa melupakan pemandangan mengerikan itu.
Bahkan mereka percaya, arwah-arwah tahanan masih gentayangan di sana. Sebagian juga mengaku di malam hari pernah mendengar jerit tangis dari dalam stadion. Warga Kabul juga menganggap, banyaknya darah yang tumpah Ghazi Stadium membuat rumput tidak bisa tumbuh di sana.
Renovasi besar-besaran pun dilakukan tahun 2011 lalu. Tanah di stadion diganti dengan yang baru. Kantor Komite Olimpiade Afghanistan juga dibangun di sana. Tanah yang lama diganti baru. Di atasnya kemudian ditempatkan rumput sintetis. Acara pembukaan dimeriahkan dengan berbagai perlombaan dan kegiatan olahraga yang diikuti hampir 5000 penonton. Meski demikian, kesan horor masih tetap melekat, dan Ghazi Stadium tetap masuk dalam deretan stadion angker di dunia.
Advertisement