Sukses

Bola Ganjil: Proyek Ambisius Raja Rudal Prancis di Lapangan Hijau

Simak kisah Jean-Luc Lagardere, pengusaha sukses Prancis yang mencoba peruntungan di sepak bola pada 1980-an.

Liputan6.com, Jakarta - Sudah banyak pengusaha dari berbagai penjuru dunia dan latar belakang bisnis menjajal sepak bola. Ada yang memang mencari untung, tidak sedikit pula yang hendak menyalurkan hobi. Jean-Luc Lagardere asal Prancis masuk dua kategori tersebut.

Mendapat gelar pascasarjana teknik dari Ecole Superieure d'Electricite alias Supelec, Lagardere mulai bekerja di Dassault Aviation, perusahaan yang memproduksi pesawat jet untuk militer dan sipil.

Dia kemudian pindah ke Matra, perusahaan yang memproduksi senjata dan rudal, membangun karier di sana, hingga akhirnya jadi CEO.

Kesuksesan membantu Lagardere melebarkan sayap dan merambah bisnis lain. Hingga akhir hayatnya pada 2003, dia terlibat di bidang penerbangan dan pertahanan (Airbus Defence and Space), penerbitan (Hachette, Paris Match, Elle, dan lainnya), serta televisi (Tele 7 Jours, La Cinq).

Tidak semuanya sukses memang. Namun, latar belakang di dunia teknik membantunya bertahan dalam menghadapi kegagalan berulang di industri lain dan arena politik.

Kondisi tersebut pun membantu Lagardere menekuni gairahnya yang lain yakni olahraga.

Saksikan Video Sepak Bola Prancis Berikut Ini

2 dari 5 halaman

Kesuksesan di Sirkuit

Lagardere membentuk tim balap yang mencapai puncaknya dengan mengkuti Formula 1 pada 1968. Setahun kemudian, dengan Jackie Stewart di belakang kemudi, Matra Ford menjadi juara dunia pembalap dan konstruktor.

Matra Ford pada akhirnya menarik diri dari F1 beberapa tahun kemudian untuk fokus pada balapan ketahanan. Kembali prestasi dicapai. Matra Simca MS670 memenangkan balapan 24 jam Le Mans untuk tiga musim beruntun pada 1972-1974 serta jadi juara dunia pada 1973-1974.

Lagardere lalu berpaling ke balapan lain. Dia membeli Haras d'Ouilly, peternakan dan penangkaran kuda balap terkenal yang berdiri sejak abad ke-19. Kontribusinya selama berkecimpung 20 tahun di dunia itu kemudian membuat namanya dijadikan sebagai balapan bergengsi yang dulu dikenal sebagai Grand Criterium.

Kemenangan di sirkuit dan lintasan balap kemudian menumbuhkan keyakinannya untuk terjun ke bidang lain dan kembali berjaya: sepak bola.

3 dari 5 halaman

Berpaling ke Sepak Bola

Pada 1980-an, masa kejayaan Racing Club Paris sudah jauh berlalu. Setelah sukses di 1930-an dan 1940-an, dengan merebut satu gelar liga dan lima titel Piala Prancis, mereka dilanda kesulitan finansial sehingga tidak mampu bersaing.

Namun, Lagardere melihat klub ini sebagai kesempatan, bukan cuma masalah. Dengan bantuan perusahaan media dan televisi miliknya sendiri, dia yakin bisa menyulap Racing Club menjadi nama besar, sama seperti manuvernya saat membangun tim balap.

Lagardere lalu menggabungkan Racing Club dan Paris FC. Tujuannya untuk menandingi tetangga Paris Saint-Germain (PSG). Meski berdiri tahun 1970, PSG sudah menjadi tim utama dan bermain di venue utama ibu kota, Parc des Princes. Mereka memenangkan liga pada 1982, tahun yang sama ketika Lagardere menjadi pemilik Racing Paris.

Uniknya, Paris FC semula juga bersinergi dengan PSG saat hendak berkompetisi. Namun, Paris FC kembali menjadi entitas sendiri pada 1972.

Di bawah kepemimpinan Lagardere, Racing Club meraih promosi ke Ligue 1 pada musim kedua 1983/1984. Tragisnya, Racing Club harus melakukan restrukturisasi. Hasilnya, mereka berpisah dengan Paris FC yang kemudian dipaksa turun ke Divisi IV.

Untuk jadi yang terbaik, maka Racing Club harus membeli pemain top. Lagardere sadar akan hal itu dan siap merogoh kocek demi membangun skuat.

Namun, dia menggunakan modal dari perusahaan induk yang dipimpinnya yakni Matra. Lagardere berkaca pada capaian klub sepak bola yang sukses berkat dukungan perusahaan lain yang dikuasai pemilik, di antaranya PSV Eindhoven (Phillips), Juventus (Fiat), dan Leverkusen (Bayer).

Sayang sistem itu tidak membuahkan hasil. Racing Club hanya semusim bertahan di kasta tertinggi. Tidak terima kegagalan, Lagardere lalu menanam investasi lebih besar dan mendatangkan striker tajam asal Kongo Eugene Kabongo dan bek internasional Prancis Maxime Bossis.

Hasilnya efektif. Racing Club kembali promosi pada usaha pertama. Agar tidak kembali terdegradasi, Lagardere lalu mendatangkan sejumlah pemain mahal yang tidak pernah terjadi di panggung sepak bola Eropa pada masa itu.

4 dari 5 halaman

Borong Bintang

Waktu menunjukkan musim panas 1986. Racing Club membuat cerita dengan mendatangkan duo Uruguay Ruben Paz dan Enzo Francescoli, playmaker Jerman Barat Pierre Littbarski, serta gelandang internasional Prancis Luis Fernandez.

Dengan komposisi itu, Racing Club semestinya bersaing di papan atas. Namun, mereka justru terdampar di peringkat 13, lebih dekat dengan papan bawah dibanding zona kompetisi Eropa.

Melihat ini, Lagardere kembali turun tangan. Dia mengubah nama klub menjadi Matra Racing. Identitas itu lebih mirip tim balap ketimbang klub sepak bola. Lagardere juga mendatangkan Artur Jorge, sosok yang baru saja membawa FC Porto memenangkan Piala Champions.

Sayang, kebijakan tersebut juga tidak berbuah manis. Racing Club hanya menempati peringkat tujuh klasemen 1987/1988, jauh di belakang sang juara AS Monaco yang ditangani pelatih muda bernama Arsene Wenger.

Lagardere lalu mencoba perjudian pamungkas. Meski Littbarski pergi, dia membantu Matra Racing merekrut Sonny Silooy, Bernard Casoni, Pascal Olmeta, dan winger berbakat David Ginola menyambut kampanye berikutnya.

Nyatanya, Matra Racing hanya satu strip di atas zona merah. Mereka bahkan lolos hanya karena unggul produktivitas gol.

5 dari 5 halaman

Mundur Teratur

Setelah mengeluarkan 300 juta francs (jika dikonversi sekitar 46 juta euro), Lagardere akhirnya berkata cukup. Merasa pergerakannya di sepak bola hanya menghambur-hamburkan uang Matra, dia menarik diri pada 1989.

Klub kembali bernama Racing Club Paris. Mereka terdegradasi pada 1989/1990 dan kerap berganti nama dan berkutat di level amatir.

Di sisi lain Prancis, pengusaha tenar lain Negeri Anggur bernama Bernard Tapie sukses menjalankan proyek serupa bersama Olympique Marseille. Mereka memenangkan berbagai gelar yang mencapai puncak dengan memenangkan Liga Champions 1993.