Sukses

Bola Ganjil: Mempertaruhkan Nasib Melalui Lemparan Koin

Sebelum adu penalti, koin dan laga tambahan digunakan untuk menentukan laga yang berakhir imbang. Simak sejarahnya.

Liputan6.com, Jakarta - Sepp Blatter tidak menyukai klimaks final Liga Champions 2012. Dia menyebut kesuksesan Chelsea mengalahkan Bayern Munchen melalui adu penalti sebagai hal tragis.

Seperti pihak kontra lainnya, Blatter menilai adu penalti menodai sportivitas olahraga. Pasalnya, faktor keberuntungan terasa kuat di sana.

Meski begitu, deskripsi mantan presiden FIFA yang terjerat skandal korupsi tersebut terasa berlebihan. Terlepas berbagai kekurangannya, adu penalti merupakan metode terbaik untuk menentukan pemenang.

Buktinya adu penalti tetap bertahan hingga sekarang sejak International Football Association Board (IFAB) meresmikannya pada 1970.

Blatter dan pihak kontra lainnya juga seakan lupa sudah ada banyak cara yang digunakan sebelum adu penalti dan hasilnya lebih konyol.

Saksikan Video Adu Penalti Berikut Ini

2 dari 4 halaman

Laga Tambahan dan Koin

Sebelum adu penalti, otoritas menggelar laga kedua demi mencari pemenang. Sistem ini memiliki cacat besar.

Tim harus membanting tulang jika terus bermain imbang. Contohnya pada Piala FA 1974/1975. Fulham dan Nottingham Forest harus bertanding empat kali untuk memperebutkan satu tempat di 16 besar.

Fisik pemain bakal terkuras karena harus merumput dalam kurun waktu yang tersedia agar jadwal kompetisi tidak molor.

Selain menambah pertandingan, metode lain untuk menentukan hasil laga adalah memakai koin. Di sini tim harus benar-benar berdoa kepada dewi fortuna agar dibantu nasib baik.

Liverpool merasakannya ketika kalah dari Athletic Bilbao karena koin pada Piala Fairs (cikal Piala UEFA dan kini Liga Europa) 1968/1969. Namun, The Reds juga sempat terbantu ketika menyingkirkan Koln menggunakan metode sama di Piala Champions (kini Liga Champions) beberapa tahun kemudian.

3 dari 4 halaman

Mulai Memberatkan

Ketika UEFA menggelar kompetisi internasional pertama pada 1955, koin adalah skenario terburuk yang tersedia. Jika kedudukan sama kuat dalam format kandang-tandang, klub mesti melakoni laga ketiga alias play-off di tempat netral untuk menentukan pemenang. Digelarnya pertandingan penentu pada waktu itu kerap terjadi karena agregat gol tandang belum digunakan.

Kebijakan awal ini tidak diperdebatkan. Pasalnya, kebanyakan tim di Eropa masih amatir. Keletihan kerap mendera sehingga partai ketiga hampir pasti menghasilkan pemenang.

Terbukti, dalam delapan tahun awal penyelenggaraannya, hanya sekali koin digunakan. Itu pun juga karena faktor teknis. Laga Wismut Karl Marx Stadt dan Gwardia Warsaw sudah memasuki perpanjangan waktu ketika lampu stadion mati. Dengan kedudukan masih imbang, wasit berpaling pada koin untuk mengetahui siapa yang melaju. Tim yang beruntung adalah Wismut Karl Marx Stadt.

Namun, play-off mulai terasa memberatkan ketika sepak bola terus berkembang berkembang dan kekuatan peserta semakin merata. Kuantitas partai penentu ini bertambah dan cenderung merugikan.

Napoli merasakannya saat mengikuti Piala Winners 1962/1963. Klub Italia itu mesti melakoni play-off di tiga putaran awal melawan Bangor City, Ujpest Dozsa, dan OFK Belgrade.

Mereka pun terpaksa mengunjungi London, Lausanne, dan Marseille dalam daftar perjalanan. Lawatan tersebut memberatkan klub secara finansial.

Lagipula, play-off belum tentu menghasilkan pemenang. Muncul pertanyaan besar. Buat apa melewati proses sulit logistik menggelar pertandingan ketiga jika akhirnya ditentukan koin? Mengapa koin tidak bisa langsung dipakai di laga kedua?

4 dari 4 halaman

Solusi Terbaik

Masalah mulai berkurang ketika UEFA mengadopsi penggunaan gol tandang sebagai penentu kemenangan mulai Piala Winners 1965/1966, disusul Piala Champions semusim kemudian. Meski, problema akan tetap muncul jika hasil 1-0 dan 0-1 tercipta di dua laga yang dilakoni.

Koin akhirnya jadi solusi, walau konsekuensinya terasa lebih signifikan di panggung internasional.

Semifinal antara Italia dan Uni Soviet pada Piala Eropa 1968 harus ditentukan melalui koin. Di sini Italia beruntung. Akhirnya jadi juara dengan mengalahkan Yugoslavia di final, capaian Gli Azzurri terasa kurang berkesan karena 'noda' di partai sebelumnya. 

Beberapa bulan kemudian, Israel gagal melaju ke perempat final Olimpiade 1968 akibat metode sama. Pengalaman pahit tersebut mendorong salah satu ofisial sepak bola Israel Yosef Dagan untuk menyusun format adu penalti. FIFA dan IFAB menerima ide ini pada 1970 dengan kompetisi Eropa mulai menerapkannya setahun kemudian.

Adu penalti pada awalnya mendapat cibiran di awal meski tetap dinilai sebagai jawaban terbaik ketimbang penambahan laga atau koin.

"Adu penalti ini seperti sirkus, tapi saya rasa tetap lebih bagus daripada partai ketiga," ujar manajer Everton Harry Catterick usai menyingkirkan Borussia Monchengladbach di Piala Champions.