Liputan6.com, Jakarta - Kesuksesan bisa menjadi pedang bermata dua. Tanya saja Partizan Belgrade. Di balik capaian mendobrak sepak bola Eropa pada pertengahan 1960-an, klub tersebut juga merasakan penderitaan besar.
Semakin besar prestasi yang dipetik, keruntuhan Partizan bahkan sulit terbendung. Kisah mereka pun menjadi representasi jelas bagaimana sepak bola di Yugoslavia berjalan.
Ketika itu Yugoslavia dikenal sebagai Brasil dari Eropa karena memproduksi pemain sepak bola berteknik tinggi. Partizan turut berkontribusi pada akhir 1950-an dengan melahirkan empat nama yang kemudian menjadi tulang punggung tim.
Advertisement
Milutin Soskic adalah kiper lincah dan pemberani. Di lini belakang Fahrudin Jusufi, bek sayap yang piawai mengisi dua sisi lapangan. Lalu di depan hadir Milan Galic, penyerang oportunis yang juga dapat menjadi winger kiri.
Ketiganya membantu Yugoslavia merebut medali emas Olimpiade 1960 dan menjadi runner-up di Piala Eropa pada tahun yang sama. Melengkapi trio tersebut kemudian muncul Velibor Vasovic beberapa musim berselang.
Mengisi jantung pertahanan, Vasovic merupakan pemain revolusioner dalam mendefinisikan peran baru bek tengah sebagai playmaker.
Saksikan Video Berikut Ini
Gejolak di Dalam Negeri
Dengan meruntuhkan dominasi Red Star Belgrade untuk jadi juara liga pada 1961, permainan kuartet tersebut semakin matang. Mereka tanpa kesulitan menaklukkan lawan. Torehan tiga gelar liga dalam empat musim berikut pun direbut.
Dalam periode ini akademi klub melahirkan bintang-bintang baru yang mendukung kuartet utama. Ada gelandang serang Vladica Kovacevic, bek kiri Ljubomir Mihajlovic, winer Mane Bajic, serta Jovan Miladinovic yang bisa mengisi berbagai posisi di lapangan.
Namun, Partizan juga merekrut talenta dari klub lain. Daftarnya mencakup Branko Rasovic, Mustafa Hasanagic, Radoslav Becejac, Josip Pirmajer, serta Ivan Curkovic.
Komposisi skuat ini membuat Partizan lebih percaya diri menghadapi kompetisi Eropa, terutama setelah jadi juara Yugoslavia 1965. Mereka tanpa kesulitan menyingkirkan Nantes (Prancis) dan Werder Bremen (Jerman).
Pada saat bersamaan, Yugoslavia mengalami perubahan besar menghadapi profesionalisme ala Barat. Pada 1961, pemerintah mulai mengizinkan masyarakat untuk bekerja di luar negeri demi memperbaiki kondisi mata uang.
Pemain sepak bola juga masuk kategori ini asalkan dua syarat terpenuhi, mereka mencapai usia 28 tahun dan sudah menunaikan wajib militer.
Advertisement
Sikap Tegas Pemerintah
Dua tahun berselang, reformasi peraturan sepak bola Yugoslavia diperkenalkan. Pemerintah membeli hak siar televisi dan memberi hibah bagi klub. Di saat bersamaan, klub bisa menyimpan pemasukan dari penjualan tiket serta pendapatan lain.
Aturan ini menciptakan masalah besar bagi klub. Dengan pertandingan disiarkan televisi, jumlah penonton ke stadion menurun drastis.
Klub menjadi tergantung kepada hibah. Di sisi lain, pemerintah bisa mengontrol sepak bola dan memainkan peran besar dalam menentukan biaya transfer, gaji, serta bonus pemain.
Pembatasan tersebut membuat pemain bintang resah. Partizan dan klub besar lain pun berkolaborasi dengan menyediakan dana gelap untuk membuat pemain kerasan.
Bentuknya bisa macam-macam, mulai uang tunai, peralatan rumah tangga seperti kulkas atau mesin cuci, mobil, hingga disewakan apartemen mewah.
Namun praktik ini terendus pemegang kuasa. Pemerintah lalu menjerat presiden Zeleznicar Sarajevo hukuman enam tahun penjara agar pelaku lain kapok.
Pemberontakan Pemain
Partizan kini dalam posisi terjepit. Mereka tidak memiliki uang untuk mempertahankan pemain bintang. Sikap tegas presiden klub Vladimir Dujic juga membuat kondisi semakin rumit. Vislavski dan beberapa pemain lain dicadangkan karena meminta dijual. Sanksi ini mendorong Jusufi, Vukelic, dan Becejac untuk mogok sebagai tanda simpati kepada rekan setim.
Mereka mendengar kabar ini dalam perjalanan kereta ke Skopje. Ketiganya lalu turun di stasiun terdekat dan menyewa mobil kembali ke Beograd.
Klub kembali bertindak keras menghadapi pembangkangan ini. Selain membekukan status bermain, mereka juga menarik voucher untuk membeli makanan dan menyewa tempat tinggal bagi para pemberontak.
Dalam kondisi ini, Partizan terpaksa menurunkan pemain akademi saat tampil di kompetisi domestik. Alhasil mereka terlibat persaingan degradasi setelah sebelumnya paling buruk menempati peringkat enam.
Advertisement