Liputan6.com, Jakarta - Lahir pada 5 Februari 1965 di Sacale, wilayah administratif kecil di Constanta, Gheorghe Hagi dikenal sebagai pesepak bola terbaik sepanjang sejarah Rumania. Tampil di tiga edisi Piala Dunia, membela Barcelona dan Real Madrid, serta jadi legenda di Galatasaray, sosok yang kemudian dijuluki Maradona dari Karpatia ini merupakan salah satu pemain terdepan pada 1990-an.
Namun, perjalanan Hagi yang kerap terlupakan sebenarnya hadir satu dekade sebelumnya.
Baca Juga
Hagi memulai karier di tim lokal junior Farul Constanta. Dia menghabiskan lima musim di sana setelah bergabung di usia 10 tahun.
Advertisement
Talentanya menarik perhatian pemandu bakat Federasi Sepak Bola Rumania (FRF). Dia diboyong ke Bucharest untuk membela Luceafarul Bucuresti, tim junior yang sengaja dibentuk bagi talenta berbakat dan mengasah mereka berkembang bersama.
Menghabiskan dua tahun di sana, Hagi kembali ke Constanta. Dirasa siap tampil di level tertinggi, dia kembali ke ibu kota pada umur 18 tahun dan memperkuat Sportul Studentesc.
Hagi mencetak 62 gol dari 118 pertandingan selama empat tahun bersama Sportul. Rekor impresif yang menarik perhatian klub terdepan Rumania Steaua Bucuresti. Namun, kepindahannya kala itu mendominasi pemberintaan media setempat.
Saksikan Video Berikut Ini
Kontrak Unik
Steaua dan Dinamo Bucuresti bersaing untuk mendominasi sepak bola di Rumania. Steaua disokong militer, sedangkan Dinamo didukung polisi rahasia.
Dinamo menancapkan hegemoni pada 1960-an dan 1970-an. Namun, kedatangan Valentin Ceausescu, putra diktator rumania Nicolae ke Steaua pada 1983 mengubah segalanya.
Steaua menjadi juara liga lima musim beruntun, plus empat gelar piala domestik. Mereka juga membukukan rekor dunia tidak terkalahkan dalam 116 pertandingan.
Ros-Albastrii juga sukses menjadi juara Eropa dengan memenangkan Piala Champions 1986. Mereka menalukkan Barcelona di final melalui adu penalti.
Meski komposisi tim sudah kuat, Ceausescu tetap menginginkan Hagi. Mereka mengikatnya dengan kontrak unik yang hanya berlaku untuk satu pertandingan: Piala Super Eropa melawan Dynamo Kyiv.
Advertisement
Bersinar di Steaua
Manuver Steaua berbuah manis. Hagi mencetak satu-satunya gol penentu kemenangan dan koleksi prestasi Steaua bertambah.
Sesuai kesepakatan, sang pemain semestinya kembali ke Sportul. Namun Steaua menyadari potensi Hagi dan enggan kehilangan. Mereka pun merekrutnya dengan status permanen. Steaua bahkan sama sekali tidak membayar uang transfer ke Sportul karena sepak bola Rumania masih berstatus amatir.
Bagi pemuda berusia 22 tahun, situasi seperti ini bisa memengaruhi psikologis dan penurunan performa. Tapi tidak bagi Hagi. Dia mencatat periode terproduktif sepanjang karier. Bersama Steaua, total Hagi mencetak 88 gol dari 118 laga di seluruh kompetisi.
Dia membawa tim memenangkan tiga titel liga, dua piala domestik, serta tentunya gelar Piala Super Eropa. Sayang Hagi urung menjuarai Piala Champions. Meski lolos ke final 1989, Steaua harus mengakui keunggulan AC Milan arahan Arrigo Sacchi.
Puncak Kejayaan
Kinerja Hagi mulai menarik perhatian klub kaya Eropa. Namun Rumania melarang pemain tampil di luar negeri.
Situasi baru berubah ketika Nicolae Ceausescu dan istrinya dieksekusi karena kejahatan terhadap negara setelah terjadi revolusi. Rumania merdeka dan pesepak bola bisa mengadu nasib di negara lain.
Hagi pindah ke Real Madrid. Sebelumnya dia mengikuti Piala Dunia 1990 meski Rumania tidak bertahan lama. Mereka disingkirkan Republik Irlandia di babak 16 besar dengan Hagi gagal memberi kontribusi berarti.
Kariernya di Estadio Santiago Bernabeu juga tidak sesuai ekspektasi. Kehadiran tiga pelatih pada musim debut membuatnya sulit mengeluarkan penampilan terbaik. Meski performanya meningkat di musim kedua, Hagi meminta dijual walau kontraknya baru setengah jalan.
Dia dilepas ke Brescia dari Italia. Pilihan aneh tapi bisa dimengerti mengingat pengaruh Rumania di sana. Mircea Lucescu menangani tim yang berisi Florin Raducioiu dan Ioan Sabau.
Hagi juga menghabiskan dua musim di Brescia. Dia memutuskan bertahan meski klub terdegradasi di kampanye pertama. Namun, perilaku buruk membuat klub menjualnya ke Barcelona setahun berselang. Sebelum itu, dia masuk skuat Piala Dunia 1994.
Menuju turnamen, mental Hagi dipertanyakan. Meski memiliki talenta tinggi, dia dianggap kurang kerja keras di lapangan.
Yang ada Hagi justru menunjukkan penampilan terbaik di panggung utama sepak bola dunia. Dia bersinar di laga melawan Kolombia, Swiss, serta Amerika Serikat.
Hagi juga mencetak satu gol dan dua assist saat Rumania mengajutkan Argentina. Sayang, adu penalti kembali menjadi petaka. Rumania tersingkir di perempat final. Namun, Hagi masuk tim terbaik turnamen.
Advertisement
Kubu Berbeda di El Clasico
Dengan pindah ke Barcelona, Hagi menjadi satu dari sedikit pemain yang membela dua kubu di El Clasico. Sayang, seperti kisahnya di ibu kota Spanyol, dia juga gagal bersinar di Catalunya. Cedera membuat penampilannya kurang maksimal selama dua musim di sana.
Hagi baru kembali menunjukkan performa terbaik setelah pindah ke Galatasaray. Menghabiskan lima musim di sana, dia menyumbang 73 gol hasil 192 pertandingan serta mempersembahkan banyak trofi, salah satunya Piala UEFA 1999/2000.
Pada level internasional, Hagi mengikuti Piala Dunia 1998 dan mengutarakan pensiun. Namun dia mengubah pikiran dan mengikuti Piala Eropa 2000. Kariernya berakhir dengan tragis karena diusir wasit pada perempat fial melawan Italia.
Hagi mendapat kartu kuning pertama setelah menekel Antonio Conte, kedua karena melakukan diving.
Dirikan Klub dan Bantu Juara
Setelah pensiun, Hagi melatih berbagai tim, termasuk negaranya, sebelum mendirikan klub bernama Viitorul Constanta pada 2009. Dia membawa klub merangkak naik ke kasta tertinggi dari balik kursi kerja, sebelum turun tangan menjadi pelatih tahun 2014.
Hagi menangani Viitorul hingga 2020. Dia membantu klub juara Rumania pada 2016/2017 serta dua gelar lain.
Advertisement