Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan dunia tanpa adanya rasisme adalah utopia. Dunia seperti itu tidak pernah ada dan kemungkinan besar tidak akan tercipta.
Manusia akan selalu menggunakan perbedaan untuk mengkategorikan diri dan kelompok. Kalau bukan berdasar ras, ekonomi dan latar belakang juga bisa digunakan.
Sepak bola di Brasil menggambarkan benar hal itu. Arthur Friedenreich bakal dianggap sebagai salah satu pesepak bola terbaik sepanjang masa kalau saja tidak berkulit hitam.
Advertisement
Ketika Pele, Garrincha, Zico, Ronaldinho, atau Ronaldo mewakili kehebatan Negeri Samba, Friedenreich hanya sekedar catatan kaki yang kerap dilupakan.
Friedenreich hidup di awal mula kelahiran sepak bola Brasil. Ketika itu sepak bola dianggap sebagai olahraga kaum elite dan pendatang dari Eropa. Sulit bagi orang kulit hitam bermain di level tertinggi.
Ayah Friedenreich adalah pebisnis asal Jerman, Oscar. Sementara ibunya, Mathilde, datang dari Afrika dan putri budak yang dibebaskan. Dia lahir pada 1892, empat tahun setelah Putri Kekaisaran Brasil Isabel menghapus perbudakan.
Pada titik ini Brasil tumbuh menjadi negara republik dan berkembang sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia.
Warga asal Italia, Inggris, dan Jerman datang. Salah satunya bernama Charles Miller yang mengembangkan sepak bola dan berujung pada berdirinya Sao Paulo Athletic Club.
Komunitas lain dari Eropa kemudian membentuk klub masing-masing. SC Internacional diprakarsai imigran asal Eropa Selatan, dengan SC Germania dibangun pendatang dari Jerman.
Saksikan Video Berikut Ini
Awal Menjanjikan
Berkat darah Eropa, Friedenreich bisa berhubungan dengan sepak bola sejak usia dini. Oscar melihat talenta sang putra dan mengirimnya ke akademi SC Germania.
Meski posturnya tidak setinggi orang Eropa, Friedenreich memiliki kecepatan, teknik, tenaga, dan semangat juang yang membuatnya dijuluki El Tigre.
Dia melakoni debut bersama SC Germania pada 1909 sebagai bagian skuat yang sepenuhnya berisi pemain berdarah Jerman. Penampilan impresif membuatnya menarik perhatian pemina.
Dalam empat musim berikutnya, Friedenreich membela empat klub berbeda dan selalu bersinar bersama masing-masing tim. Catatan golnya pun terus meningkat.
Pada 1914, performa Friedenreich menarik perhatian tim nasional yang memanggilnya untuk laga persahabatan melawan Exeter City.
Transfer ke CA Paulistano dua tahun berselang jadi salah satu langkah terpenting Friedenreich dalam kariernya. Selama 12 tahun di sana, dia membantu tim menjadi juara Campeonato Paulista, Kejuaraan Regional Sao Paulo, sebanyak enam kali. Friedenreich juga memenangkan titel top skor dengan jumlah sama.
Pada 1919, reputasinya meningkat usai mencetak gol ke gawang Uruguay di final Copa America. Kontribusinya membantu Brasil memenangkan titel internasional pertama.
Friedenreich melakukan ini meski kerap mesti menggunakan tepung untuk menutup kulit warnanya yang gelap saat bermain.
Advertisement
Gagal Ikut Piala Dunia
Brasil semula berharap Friedenreich juga dapat membantu timnas di Piala Dunia 1930. Namun karena alasan politis, dia tidak masuk skuat.
Ketika Uruguay dipilih sebagai tuan rumah, FIFA kesulitan menyakinkan negara kuat seperti Spanyol, Jerman, dan Italia untuk berpartisipasi. Logistik jadi masalah utama. Butuh 15-20 hari untuk mencapai Uruguay menggunakan perahu.
Setelah berkompetisi sebulan, perjalanan pulang memakan durasi serupa. Di sisi lain, pemain saat itu masih berstatus amatir. Banyak yang takut kehilangan pekerjaan utama jika memutuskan pergi.
Maka Italia, Spanyol, Jerman, dan Hungaria menolak undangan FIFA untuk berpartisipasi. Sebagai gantinya Rumania, Yugoslavia, Belgia, dan Prancis datang menggunakan perahu yang sama.
Dalam perjalanan ke Uruguay, mereka berlabuh di Rio de Janeiro untuk menjemput Timnas Brasil. Selecao pun hanya memilih pemain berbasis kota itu. Friedenreich hanya bisa gigit jari karena dia tinggal di Sao Paulo.
Amatir vs Profesionalisme
Setahun sebelumnya Friedenreich juga merasakan kekecewaan. Terjadi konflik besar di sepak bola Brasil antara dua kubu, mereka yang mengusung profesionalisme melawan penganut amatir.
CA Paulistano masuk kelompok kedua. Namun mereka kalah suara dan membubarkan diri. Friedenreich dan beberapa rekannya bergabung dengan Sao Paulo.
Menyusul polemik Piala Dunia, Friedenreich dianggap terlalu tua untuk masuk skuat edisi berikutnya empat tahun berselang. Karier internasionalnya pun selesai.
Dia kemudian benar-benar gantung sepatu setahun berselang. Ironisnya, klub terakhir Friedenreich adalah klub berbasis Rio de Janeiro, Flamengo.
Advertisement
Lampaui Pele?
Â
Banyak yang menganggap bakat Friedenreich melampaui Pele. Tidak hanya itu, rekor golnya juga dilaporkan melebihi Sang Raja.
Friedenreich disebut merobek gawang lawan 1.329 kali sepanjang karier, sementara Pele 1.282. Tentu catatan ini patut dipertanyakan karena beberapa gol tersebut tercipta di laga persahabatan dan tidak resmi.
Pada akhirnya, Friedenreich tidak mendapat perhatian dan kredit semestinya. Namun, dia merupakan bintang besar sepak bola pertama Brasil.
Meski terhalang isu ras dan politis, Friedenreich menunjukkan bagaimana sepak bola seharusnya dimainkan. Jika bukan karenanya, mungkin Brasil tidak bakal jadi raksasa lapangan hijau seperti yang terjadi sekarang.