Liputan6.com, Jakarta - Manchester United (MU) adalah klub besar di kasta tertinggi sepak bola Inggris. MUÂ telah menorehkan sederet prestasi bergengsi, baik itu di kompetisi domestik maupun internasional.
Bila menengok performa Setan Merah dalam beberapa tahun terakhir, bisa dibilang MU sangat inkonsisten dan kerap tampil di bawah standar. Padahal, materi pemain MU tetap bertabur bintang yang didatangkan tidak murah.
Baca Juga
Manajemen MU tercatat telah menggelontorkan dana hingga 1,2 miliar poundsterling dalam bursa transfer guna meningkatkan performa tim.
Advertisement
Namun, semenjak kepergian Sir Alex Ferguson pada 2013, banyaknya dana yang digelontorkan untuk mendatangkan pemain tampaknya tidak begitu efektif. Hal ini dibuktikan dengan minimnya prestasi MU dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir.
Lantas, faktor apa saja yang membuat MU kesulitan untuk bersaing meraih gelar juara? Berikut tiga alasan MU selalu gagal meraih trofi juara seperti dilansir dari Sportskeeda:
1. Manajer yang Kurang Cocok
Usai ditinggal Sir Alex Ferguson, Setan Merah praktis melakukan bongkar pasang pada posisi manajer guna menemukan sosok yang tepat. Hingga hari ini tercatat ada empat pelatih tetap dan tiga pelatih sementara yang menukangi MU.
Namun, dari keseluruhan manajer tersebut, MU hanya berhasil meringkus empat gelar juara. Tercatat, sejak tahun 2013, MU hanya berhasil meraih trofi Piala FA (2015/16), Community Shield (2016), Piala Liga Inggris (2016/17), dan Liga Europa (2016/17).
Padahal, manajer yang menahkodai MU bisa dibilang bukan pelatih sembarangan. Ada sederet nama beken mulai dari David Moyes, Ryan Giggs, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solskjaer, Michael Carrick, dan Ralf Rangnick.
Timbulnya masalah internal di ruang ganti, desakan suporter untuk menuntut pelatih mundur, metode bermain yang kurang disukai, dan lambatnya progres mengembalikan citra MU menjadi sedikit alasan didepaknya beberapa manajer di atas.
Alhasil, pemain pun terkena imbas dari penggantian manajer yang kerap dilakukan. Sebab, tiap manajer memiliki tipe pemain kesukaannya tersendiri dan membuat anggaran belanja MU membengkak.
Kini, fans Setan Merah hanya bisa berharap terhadap keputusan manajemen pada akhir musim 2021/22 mendatang. Mengingat, MU bakal mendatangkan sosok manajer anyar usai posisi Rangnick bergeser menjadi direktur olahraga. Pendukung MU pun berharap sosok tersebut mampu mengembalikan predikat Setan Merah sebagai klub yang disegani dan berprestasi.
Advertisement
2. Tidak Memiliki Kapten yang Berjiwa Ksatria
Saat ini, MU kehilangan sosok penting yang dapat dijadikan panutan oleh rekan satu timnya. Hal ini terlihat usai hengkangnya kapten MU Nemanja Vidic pada 2014 lalu.
Vidic yang dikenal lugas, keras, dan tanpa ampun itu bisa membuat permainan MU menjadi solid. Ia juga berhasil mengarahkan rekan satu timnya untuk bermain layaknya di medan pertempuran serta mampu meraih beberapa trofi juara.
Kehilangan sosok seperti Vidic, Roy Keane, hingga Gary Neville membuat banyak pemain Setan Merah kehilangan arah kala pertandingan tak memihak kepada MU. Sebab, tidak ada sosok ksatria yang bisa memompa jiwa bertarung para pemain di lapangan.
Bila melihat kapten MU saat ini, Harry Maguire, mungkin banyak pendukung yang kurang setuju atas penunjukkan dirinya. Mengingat, Maguire adalah sosok baru di tubuh MU dan tidak terlalu vokal terhadap rekan satu timnya.
Alhasil, meski dewasa ini MU memiliki sederet pemain bertalenta hebat, tetapi belum ada sosok kapten yang ‘tepat’ untuk memimpin para talenta tersebut. Sehingga, permainan MU cenderung kurang solid dan timbul beberapa masalah akhir-akhir ini.
3. Kepemilikan Manchester United
Keluarga Glazer resmi membeli saham mayoritas MU pada 2006 lalu. Pembelian ini pun memberikan kesan negatif bagi sebagian pendukung MU.
Pasalnya, para pendukung sudah mengetahui niat awal keluarga Glazer membeli saham mayoritas MU. Para pendukung menilai kepemilikan baru MU akan membawa kehancuran, karena Glazer lebih mementingkan keuntungan daripada prestasi.
Meski di bawah era kepelatihan Ferguson MU tetap meraih sederet prestasi ciamik, tetapi semua itu murni berkat keahlian manajer asal Skotlandia tersebut. Glazer disinyalir tidak terlalu peduli dan hanya mementingkan sisi finansial yang didapat.
Oleh karena itu, selepas pensiunnya manajer legendaris tersebut, praktis Setan Merah mandek meraih banyak trofi juara. Hal ini disebabkan karena Glazer tidak terlalu paham akan dunia sepak bola.
Disisi lain, MU juga dipimpin oleh seseorang yang hanya paham tentang ekonomi. CEO MU, Ed Woodward merupakan seorang banker dan dirinya sudah dipastikan tidak terlalu paham akan kultur sepak bola di Kota Manchester.
Sehingga, berkat internal MU yang lebih mementingkan sisi bisnis, perkembangan MU selepas era Ferguson begitu lambat pertumbuhannya. Penunjukkan Rangnick sebagai direktur olahraga pada akhir musim nanti mungkin baru menjadi awal dimulainya era keberhasilan MU ke depan.
Advertisement