Liputan6.com, Jakarta Lapangan bulu tangkis Garuda di Jakarta Barat berdenyut. Suara lantai berdecit terdengar dari telapak sepatu anak-anak yang tengah berlatih di dalamnya. Silih berganti mereka mengayunkan raket. Menyambut shuttlecock yang dilempar melintasi jaring net. Terkadang, sembari melompat tinggi sebelum melepas smes keras ke lapangan kosong. Mereka bergerak mengikuti instruksi yang diberikan sang pelatih, Edy Susanto–atlet disabilitas rungu Indonesia.
Ada 10 anak. Mereka dibagi dalam dua kelompok. Edy tampak menangani kelompok yang dihuni empat anak, sedangkan satu kelompok lain yang berjumlah enam orang ditangani asistennya bernama, Muhammad Enrico.
Lapangan mereka ber-sebelah-sebelahan. Namun ada kalanya anak-anak mendapat kesempatan bertukar tempat sesuai dengan instruksi pelatih. Siang itu, Edy mengenakan kaos merah berlogo Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) den gan gambar bendera Merah Putih di lengannya. Pria berusia 38 tahun tersebut tampak serius meski keringat mengalir membasahi tubuhnya.
Advertisement
Tumpukan shuttlecock menutupi lengan kiri Edy. Satu per satu kemudian dilemparkan ke arah anak didiknya untuk kemudian dipukul melewati net.
Sepintas, Edy tidak berbeda dengan pelatih-pelatih bulu tangkis pada umumnya. Hanya saja, sebagai penderita disabilitas rungu, Edy tak banyak bersuara. Instruksi lebih banyak diberikan Edy lewat gerakan tangannya.
“Oi..Oi,” teriak Edy kepada salah seorang muridnya, Lionita. Perempuan berusia 10 tahun itu menolah. Namun Edy tidak lagi mengeluarkan suara. Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seolah-olah meneguk minuman dari botol.
Lionita paham. Waktunya istirahat. Dia lalu menepi dan meneguk air dari botol minumannya sebelum bergegas kembali ke lapangan melanjutkan latihan.
Lionita Faranissa berada di kelompok yang dihuni empat orang. Mereka merupakan anak-anak disabilitas rungu seperti Edy. Menurut ayahnya, Then Tjun Fuk, Lionita sudah tiga tahun berlatih bulu tangkis. Dia membawa anaknya berlatih bersama Edy setelah mendapat informasi dari salah satu kerabatnya.
“Anak saya menyandang disabilitas rungu sejak lahir,” ujar Then Tjun Fuk, ayah Lionita saat ditemui di pinggir lapangan. “Saat ini dia sekolah di SLB B Pangudi Luhur,” dia menambahkan.
Then mengaku, sejak ditangani Edy, Lionita mengalami banyak kemajuan dalam bermain bulu tangkis. Selain itu, rasa percaya diri Lionita juga ikut meningkat. Dia pun tidak akan menolak bila suatu saat Lionita ingin mengikuti jejak Edy.
“Dulu, anak saya pemalu sekali. Tapi ketika bermain bulu tangkis dia jadi percaya diri,” kata pria yang akrab disapa Afu tersebut. “Kalau dia punya kemampuan jadi atlet, kami akan dukung,” ujarnya lagi.
Di kelompok yang sama juga dihuni Davina. Bocah berusia 10 tahun itu teman satu sekolah Lionita. Mereka digabung dengan dua anak lain yang memiliki disabilitas sama. Saat berinteraksi, mereka juga menggunakan bahasa isyarat.
Mimpi Besar Edy Susanto
Lapangan Garuda berlokasi di Jakarta Barat. Anak-anak yang berlatih siang itu merupakan anggota PB Garuda yang didirikan Edy pada tahun 2014 lalu. Sejak berdiri, klub ini telah menangani sekitar 20 atlet disabilitas. Selain berlatih untuk mengisi waktu luang, sebagian ada yang diproyeksikan menjadi atlet.
Para penyandang disabilitas rungu seluruhnya berlatih di bawah arahan Edy Susanto. Sehari-hari, dia dibantu pasangannya di nomor ganda, Enrico.
Bersama Enrico, Edy pernah meraih medali perak di nomor ganda putra pada kejuaraan bulu tangkis Asia Pacific di Kuala Lumpur, Malaysia, 2019. Sementara di nomor tunggal, Edy berhasil mempersembahkan emas untuk Merah Putih.
PB Garuda menjadi wadah Edy dalam berbagi ilmu dengan penyandang disabilitas seperti dirinya. Dia berharap, kelak muncul atlet-atlet penerus baru.
”Saya berharap mereka bisa jadi penerus saya. Saya juga ingin tuna rungu diperlakukan dengan baik oleh pemerintah, orang normal, dan semua disabilitas,” ujar Edy Susanto saat ditemui setelah sesi latihan berakhir.
Sebagai pelatih, Edy sangat memahami keterbatasan yang dialami murid-muridnya. Namun dia yakin, dengan kerja keras mereka juga bisa sukses. Pengalaman hidup telah mengajarkan Edy cara untuk mengubah keadaan.
Edy sebenarnya terlahir normal. Namun saat berusia dua tahun, demam tinggi membuat pendengarannya terganggu. Sejak saat itu, Edy sulit berkomunikasi secara verbal. Dia lebih banyak memakai bahasa isyarat. Dan ketika berinteraksi dengan orang normal, Edy biasanya membaca gerakan bibir lawan bicaranya.
Bulu tangkis sebenarnya bukanlah pilihan pertama. Dia mengaku justru lebih menyukai sepak bola dari tepok bulu. Namun sang ayah justru berkata lain.
”Dari papa aku bukan dari saya. Awal lebih suka sepak bola. Kalau di sekolah main sepak bola tapi pas papa datang bolanya dipecahkan,” kata Edy saat ditanya awalnya berkecimpung di dunia bulu tangkis.
Edy mengaku, ayahnya sangat menyukai bulu tangkis dan ingin anaknya jadi atlet. Meski menyandang disabilitas rungu, Edy ternyata tidak diperlakukan berbeda oleh ayahnya. Dia tetap didik dengan cara yang keras dan disiplin. Saat berusia 4 tahun, Edy sudah dititipkan ke asrama milik PB Jaya Raya. Di klub ini, Edy harus berlatih dari pagi dengan porsi yang cukup melelahkan.
Edy sempat tidak tahan dan minta pulang dari asrama. Akan tetapi, ayahnya dengan tegas melarangnya. Untuk meningkatkan kemampuan Edy, orang tuanya bahkan sampai membayar pelatih untuk mengajarinya secara privat.
Namun didikan keras sang ayah akhirnya berbuah hasil. Edy lambat laun menjelma menjadi atlet bulu tangkis berprestasi. Edy juga tidak lagi diremehkan oleh anak-anak seusianya. “Waktu SD, aku diremehkan karena tuna rungu tapi, saat aku sudah bisa badminton keliling dunia mereka takut dan nggak meremehkan lagi,” kata semifinalis Peparnas Papua 2021 tersebut.
Kejuaraan Asia Pasifik di Kuala Lumpur Malaysia, 2019 lalu, jadi momen terbaik dalam karier Edy. Pada kejuaraan ini, dia sukses merebut dua medali. Di nomor tunggal, Edy merebut emas, sedangkan di ganda putra, Edy menyabet perak.
”Yang paling berkesan, kejuaraan Asia Pasifik pertama kali. Karena papa pernah pesan kalau tidak pernah juara tidak boleh pulang selamanya. Maka dari itu, saya harus berusaha. Udah dari kerja keras dari SD hingga remaja soalnya.”
Didikan keras ayahnya terus diingat Edy hingga kini. Dia pun berharap, anak-anak didiknya tidak gampang menyerah meski memiliki keterbatasan fisik.
Proses jatuh bangun ini juga mendorong pria kelahiran Jakarta itu berbagi ilmu kepada anak-anak tuna rungu. Lewat program latihan di PB Garuda, Edy pun berharap anak-anak disabilitas harus bisa bertumbuh dan berprestasi.
Advertisement
Disabilitas dan Olahraga
Menurut The World Health Organization (WHO), disabilitas adalah “payung” terminologi bagi gangguan keterbatasan aktivitas atau pembatasan partisipasi. Penyandang disabilitas dibagi lagi menjadi tiga kategori. Pertama, impairment yaitu orang yang tidak berdaya secara fisik sebagai konsekuensi dari ketidaknormalan psikologi, psikis, atau karena kelainan struktur organ tubuh.
Kedua, disabilitas yaitu ketidakmampuan dalam melakukan aktivitas pada tataran aktivitas manusia normal. Sedangkan yang ketiga, adalah handicap yaitu ketidakmampuan seseorang di dalam menjalankan peran sosial-ekonominya sebagai akibat dari kerusakan fisiologis dan psikologis karena sebab abnormalitas fungi atau karena disabilitas.
ILO melalui situs resminya melaporkan sekitar 15 persen dari penduduk di dunia merupakan penyandang disabilitas. Sementara di Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik (2011) menemukan 10 persen atau sekitar 24 juta penduduk juga menyandang disabilitas.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam salah satu artikelnya menyebutkan bahwa penyandang disabilitas sering menghadapi hambatan sosial dan menimbulkan persepsi negatif serta diskriminasi. Sebagai akibat dari stigma yang disosialisasikan dengan ketidakmampuan, penyandang disabilitas pada umumnya dikucilkan dari pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan bermasyarakat. Di beberapa negara, penyandang disabilitas dianggap tidak mampu sehingga mendorong ketidakaktifan yang seringkali menyebabkan mereka mengalami keterbatasan mobilitas di luar penyebab disabilitasnya.
Nah, olahraga ternyata dapat membantu mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Sebab olahraga dapat mengubah sikap masyarakat tentang penyandang disabilitas dengan menonjolkan keterampilan mereka dan mengurangi kecenderungan untuk melihat disabilitas pada orangnya. Melalui olahraga juga, para penyandang disabilitas berinteraksi dengan sesama penyandang disabilitas dalam konteks positif hingga mampu membangun lagi asumsi tentang apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan.
Dilansir dari laman resmi International Paralympics Committee (IPC), olahraga bagi para penyandang cacat sudah ada sejak lebih dari 100 tahun lalu dan klub olahraga para penyandang disabilitas rungu sudah berdiri di Berlin tahun 1988. Olahraga bagi penyandang disabilitas semakin dikenal luas setelah Perang Dunia II. Pada tahun seorang dokter saraf Dr Ludwig Guttmann atas permintaan pemerintahan Inggris membuka pusat cedera tulang belakang di RS Stoke Mandeville. Dia merawat korban-korban perang baik sipil maupun militer.
Guttmann percaya, olahraga mampu meningkatkan kemampuan fisik dan mental pasien-pasiennya. Dia rutin mengadakan pertandingan. Namun tujuan awalnya bukan untuk mengejar prestasi, tapi hanya untuk rehabilitasi saja.
Seiring perkembangan waktu, olahraga yang awalnya untuk rehabilitasi ini kemudian berkembang jadi olahraga rekreasi, lalu berubah jadi olahraga kompetitif. Pada 29 Juli 1948, Dr Guttmann menggagas kompetisi bagi atlet berkursi roda pada pembukaan Olimpiade 1948 di London, Inggris. Saat itu, sebanyak 16 veteran perang pria dan wanita tampil di cabang olahraga panahan. Setelah itu, olahraga bagi penyandang disabilitas semakin berkembang sampai akhirnya Paralimpiade pertama resmi digelar di Roma, Italia, pada 1960. Sebanyak 400 atlet dari 23 negara tampil pada ajang ini. Ajang ini kemudian rutin digelar sekali empat tahun, seperti halnya Olimpiade.
Berkembangnya olahraga bagi para penyandang disabilitas juga diikuti dengan berdirinya organisasi International Paralympic Committee (IPC) pada tahun 1989. Organisasi ini mendorong para atlet Paralimpiade mencapai keunggulan di bidang olahraga dan mampu menginspirasi serta menggairahkan dunia.
Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia, Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) digelar pertama kali tahun 1957. Kegiatan ini berlangsung di Stadion Mahanan, Solo di mana kontingen Jawa Tengah keluar sebagai juara umum. Sedangkan pada tahun 1962, untuk pertama kali berdiri Yayasan Pembina Olahraga Cacat (YPOC).
Organisasi ini awalnya dipimpin oleh Pairan Manurung. Sejak saat itu, pembinaan terhadap atlet-atlet disabilitas terus berkembang. Tidak hanya di kalangan sipil, militer juga rutin melakukan pembinaan.
Seperti dilansir dari situs resmi Kemenhan, program ini sudah berjalan sejak 1972 bekerjasama dengan RS Fatmawati dan KONI Pusat. Beberapa jenis olahraga yang diprioritaskan adalah panahan, tolak peluru, lempar lembing renang, lempar cakram, lari kursi roda, angkat besi, dan menembak. Tidak hanya di kejuaraan nasional, sebagian atlet binaan TNI bahkan sukses mengukir prestasi di kancah internasional. Salah satunya dengan merebut emas jalan cepat di Multi Disabled Games, Inggris, 1974.
Dalam perjalanannya, YPOC mengalami perubahan nama menjadi Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC) pada 1993. Meski demikian, misinya tetap sama, yakni mendorong penyetaraan penyandang disabilitas dengan orang-orang pada umumnya yang juga dapat berprestasi di bidang olahraga.
Tidak hanya itu, BPOC juga bertanggung jawab menghimpun, membina, dan melatih mereka menjadi atlet-atlet yang berkualitas dan berprestasi baik di tingkat nasional maupun internasional. BPOC kemudian berhasil mendorong Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) menyelenggarakan Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) sebagai bagian dari pekan olahraga nasional (PON).
Pemerintah juga mulai mengatur regulasi mengenai para atlet penyandang disabilitas di Tanah Air melalui UU No 3 Tahun 2005. Pada pasal 30, salah satu ayatnya mewajibkan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau organisasi olahraga penyandang cacat untuk membentuk sentra pembinaan dan pengembangan olahraga khusus bagi penyandang disabilitas. Sedangkan pada pasal 56 diatur tentang bagaimana olahragawan atau atlet penyandang cacat melaksanakan kegiatan olahraga.
Nama Porcanas kemudian mengalami perubahan pada gelaran ke-13. Seperti dilansir dari Antaranews.com, sejak 2008 kegiatan ini mulai dikenal sebagai Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas). Perubahan mengacu pada keputusan sidang umum ICP di Bonn, Jerman tahun 2005 yang melarang penggunaan kata cacat di semua acara yang diikuti para penyandang disabilitas.
Sepuluh tahun berselang, BPOC resmi memisahkan diri dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan kembali mengubah namanya menjadi Komite Paralimpiade Nasional Indonesia (NPC). Langkah ini diambil untuk menyesuaikan dengan regulasi yang diterapkan induk organisasi, IPC. Dan hingga saat ini NPC telah memiliki 33 anggota yang tersebar di seluruh provinsi yang ada di Tanah Air.
Wakil Sekjen NPC, Rima Ferdianto dalam wawancaranya dengan Liputan6.com mengatakan, banyak tantangan yang dihadapi dalam membina atlet disabilitas di Indonesia. Mulai dari membangun kepercayaan diri hingga dukungan maupun sarana pendukung yang dibutuhkan para atlet disabilitas.
“Disabilitas dari lahir lebih mudah beradaptasi. Berbeda dengan mereka yang disabilitas seperti kecelakaan dan menyebabkan trauma. Itu akan menghadapi banyak fase,” katanya saat dihubungi.
Rima juga mengatakan bahwa Indonesia negara yang tertinggal dalam penanganan penyandang disabilitas. Masyarakat Indonesia yang memiliki keterbatasan dipaksa untuk tumbuh dan berasimilasi dengan kondisi yang mereka alami. Hal ini berbeda dengan di luar negeri yang sejak kecil sudah punya pathway jelas.
”Di Indonesia, kita tidak punya database penyandang disabilitas adanya data kematian ibu dan anak. Jadi anak yang terlahir cacat tidak dicatat. Di Indonesia kelemahannya itu, jadi mereka tumbuh dipaksa harus berasimilasi dengan kondisi,” ujar Rima menjelaskan.
Menurutnya, negara-negara di Eropa sudah memiliki database penyandang disabilitas sejak mereka lahir sehingga kekurangan mereka sudah dapat masuk ke dalam database dan memiliki banyak pilihan hidup di usia awal.
”Kalau di luar negeri mereka udah punya pathway sendiri nantinya pendidikan seperti apa pendidikan olahraga dan minat mereka seperti apa. Mereka tidak ada mindernya karena sudah diberlakukan sejak awal usia sebelum balita,” kata Rima.
“Kalau kita kan banyak penyandang disabilitas intelektual dikatai-in, ‘wah ini gila’. Malah disembunyikan dan dipasung padahal itu anak penyandang disabilitas intelektual yang seharusnya ada treatment dan psikolog tersendiri,” beber Rima menambahkan.
Dukungan dan perhatian pemerintah terhadap atlet disabilitas awalnya juga sangat minim. Akibatnya, prestasi yang diraih juga seret. Di ajang Asia Tenggara saja, Indonesia kerap terkunci di posisi bawah.
Advertisement
Titik Balik Perbaikan
Rima menjelaskan, perubahan mulai terlihat sejak tahun 2011 saat Indonesia menjadi tuan rumah ASEAN Para Games yang berlangsung di Solo. “Saat itulah pemerintah mulai terbuka matanya,” kata Rima.
NPC kemudian memisahkan diri dari KONI. Lambat laun perhatian pemerintah juga meningkat. “Apalagi pada tahun 2014, kita juara umum di Myanmar. Pak Jokowi (Presiden RI) langsung meminta Menpora untuk menyamaratakan status disabilitas dan non disabilitas. Mulai honor hingga bonus peraih medali,” kata Rima.
Belakangan, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) memastikan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang dilandasi oleh Perpres 86 tahun 2021. Lewat aturan ini, pemerintah bakal memfasilitasi atlet-atlet disabilitas yang memiliki potensi tampil di Paralimpiade. Seperti halnya atlet-atlet normal, para penyandang disabilitas juga akan dibagi ke dalam tiga klaster. ”Klaster 1, klaster 2 adalah atlet-atlet yang bisa meraih medali di level Asia dalam hal ini Asian Para Games, dan klaster 3 adalah atlet-atlet calon peraih emas di Asia Tenggara,” Rima menjelaskan.
Meski demikian, pengamat olahraga Anton Sanjoyo melihat masih banyak kekurangan pada program DBON yang digagas Kemenpora. Anton bahkan menilai, secara garis besar isi draft DBON hanyalah berbicara mengenai hasil atau target yang akan dicapai oleh pemerintah seperti emas Olimpiade, sementara pemerintah tidak secara khusus menjelaskan bagaimana untuk menuju titik tersebut.
“Ini kita baru bicara pada level olahraga umum belum bicara mengenai disabilitas. Karena juga tinggal di-ubah. Bagaimana olahraga disabilitas dibangun secara umum dulu dibikin gambaran besarnya itu Bagaimana dan secara umum itu tidak ada,” jelas Anton ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (20/5/2022).
Paralimpiade Tokyo 2020
Puncak dari prestasi olahraga disabilitas Indonesia diraih pada Paralimpiade Tokyo 2020. Indonesia merebut 9 medali dari cabang olahraga bulu tangkis, angkat besi, atletik, dan tenis meja.
Dari cabang olahraga bulu tangkis, Leani Ratri Oktila berhasil mencetak sejarah dan lolos di tiga nomor, yaitu tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran. Hasilnya, Leani dan Khalimatus Sadiyah berhasil meraih medali emas ganda putri.
Medali emas kedua juga berhasil diraih oleh Leani di nomor ganda campuran bersama Hary Susanto. Sementara itu, di nomor tunggal putri, Leani Ratri Oktila mempersembahkan perak bagi Indonesia.
Selain tiga nama tersebut, di cabang yang sama, Dheva Anrimusthi pemain tunggal putra berhasil meraih medali perak, sementara Suryo Nugroho mendapatkan medali perunggu. Tak hanya itu, ada juga Fredy Setiawan yang berhasil meraih medali perunggu.
Bukan hanya di cabang olahraga bulu tangkis, kontingen Indonesia juga menorehkan prestasi di cabang olahraga angkat besi melalui Ni Nengah Widiasih yang berhasil mempersembahkan medali perak.
Pada cabor atletik, Sapto Yogo Purnomo juga berhasil mendapatkan medali perunggu. Sementara itu, di cabang olahraga tenis meja, David Jacobs juga menorehkan medali perunggu di nomor tunggal putra.
Seluruh peraih medali di ajang ini mendapatkan bonus dari pemerintah. Atlet yang meraih emas mendapat Rp5,5 Miliar, perak dihargai Rp2,5 Miliar, sementara perunggu mendapat Rp1,5 Miliar.
”Pasti senang, bangga, dan bersyukur ke Tuhan. Bisa dapat medali. Apalagi usia yang tidak muda lagi. Masih bisa mengibarkan bendera Merah Putih di Tokyo. Dan prestasi ini juga bisa memicu generasi muda disabilitas untuk bisa berprestasi dunia,” kata David Jacobs.
Advertisement
Mimpi yang Tertunda
Bagi David, meraih medali di Paralimpiade Tokyo 2020 sekaligus mewujudkan mimpi yang sempat tertunda. Sebelumnya, langkah David untuk tampil di puncak pembinaan olahraga prestasi dunia sekelas Olimpiade sempat terhenti akibat kondisi fisiknya yang tidak normal. Sejak lahir David memiliki disabilitas di bagian tangan kanannya. Padahal, kemampuannya tidak kalah dengan atlet-atlet normal.
”Jadi pada saat saya mau masuk timnas waktu itu pengurus tidak mau memasukkan saya melihat kondisi fisik saya. Walaupun pada saat itu dengan teman-teman seusia saya kita paling mempunyai prestasi yang kurang lebih sama,” kata David mengenang momen tersebut.
”Kalau masih di timnas umum saya bisa juara satu waktu itu. Bisa kalahkan pemain-pemain nasional yang normal secara fisik. Itu yang membuktikan kalau kita punya keterbatasan secara fisik kalau kita mau usaha dan kerja keras secara konsisten dan terus mengandalkan Tuhan kita mampu,” tutur pria kelahiran 21 Juni 1977 tersebut.
Meski menyandang disabilitas tangan kanan, David sejak kecil memang selalu bermain di kelas normal. Awalnya, dia tidak berpikiran menjadi atlet. Namun dia mulai menunjukkan kemampuannya. Diawali dari tingkat kejuaraan 17 Agustus-an, David lambat laun mulai serius menekuni profesi sebagai atlet tenis meja.
Setelah pindah ke Semarang, David mulai masuk klub semakin menekuni tenis meja. Dia juga mulai tampil di kejuaraan-kejuaraan resmi meski baru setingkat kejuaraan antar SD se-Jawa Tengah. David kemudian pindah ke kota yang lebih besar DKI Jakarta. Di ibu kota, David masuk ke klub yang lebih besar dan mulai mendapat bayaran.
Nama David semakin melambung saat memenangkan medali pertamanya di kelas normal pada Kejuaraan Tenis Meja Asia Tenggara (SEATTA) tahun 2001 di Singapura. Saat itu, David Jacobs bersama Yon Mardiono berhasil merebut medali emas setelah mengalahkan wakil Thailand, Phucong Sanguansin dan Phakphoom Sanguansin.
Sejak kemenangan itu, David terus mengikuti pertandingan seperti SEA Games dan Pekan Olahraga Nasional. Namun, pada tahun 2009, David harus mundur dari tenis meja karena adanya regenerasi tanpa sempat merasakan atmosfer pertandingan setinggi Olimpiade. Padahal Indonesia pernah mengirimkan wakil-wakilnya di ajang ini.
Mulai dari Toni Meringgi (Olimpiade Seoul 1988), Anton Suseno (Olimpiade Bercelona 1992 dan Olimpiade Atlanta 1996 dan Olimpiade Sydney 2000), dan Lingling Agustin (Olimpiade Barcelona 1992), Rossy Syech (Olimpiade Barcelona 1992, Atlanta 1996 dan Sydney 2000), hingga Ismu Harinto (Olimpiade Sydney 2000).
Setelah pensiun, David mulai serius menjadi atlet disabilitas. Sejak itu pula dia bercita-cita untuk bisa tampil di Paralimpiade.
Mimpinya terwujud, David pun diikutsertakan dalam Paralimpiade 2012 di London dan berhasil mempersembahkan medali perunggu untuk Indonesia. David bertanding pada Class 10, yang merupakan level fungsional tertinggi pada sistem tersebut. ”Ini Paralimpiade yang paling berkesan untuk saya,” kata David mengenang momen indahnya.
Percaya pada Proses
Prestasi demi prestasi yang diraih telah membuat kehidupan David berubah. Dia mengaku sudah tidak dipandang sebelah mata lagi. Selain kebanggaan, kesuksesan sebagai atlet disabilitas juga telah mengantar David mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) untuk sandaran saat sudah pensiun dari dunia olahraga.
Meski demikian, David berharap perhatian pemerintah tidak hanya kepada atlet-atlet berprestasi saja. David ingin, atlet-atlet yang memiliki disabilitas lebih sulit darinya juga semakin diberi ruang.
“Kalau saya disabilitas cuma di tangan kanan tapi masih banyak hal hal normal bisa saya kerjakan sendiri. Tapi yang butuh perhatian lebih seperti teman-teman yang disabilitas di kursi roda ada temen temen atlet saya juga. Tidak mau dikasihani, cuma dari pemerintah sendiri lebih diperhatikan lagi akses mereka untuk mereka kemana-mana. Kalaupun ada, masih jarang. Berharap untuk kedepan lebih ditingkatkan khususnya seperti negara-negara di Eropa,” kata David.
David juga berpesan, agar atlet-atlet disabilitas lainnya tidak mudah menyerah. Apalagi mereka yang bercita-cita tampil di Paralimpiade. Menurut David, keterbatasan secara fisik jangan sampai menghancurkan motivasi untuk terus bekerja keras dan berlatih.
”Jangan kalah dengan keadaan. Jalani proses saja. Karena prosesnya yang harus kita jalani. Terus berjuang dan semangat. Semua yang mau kita dapatkan sesuatu yang besar itu bermula dari hal-hal kecil dan jalani proses dengan konsisten dan yang paling penting terus andalkan Tuhan dan selalu menjadi orang yang lebih baik.”
Indonesia kembali menjadi tuan rumah untuk ajang ASEAN Para Games. Pesta olahraga bagi penyandang disabilitas se Asia Tenggara ini bakal berlangsung di Solo mulai 30 Juli hingga 6 Agustus 2022. Semoga atlet-atlet disabilitas Indonesia kembali mampu menghadirkan prestasi dan jadi permata-permata baru bagi Tanah Air.
Reporter: Jesslyn / Universitas Multimedia Nusantara
Advertisement