Liputan6.com, Jakarta - Tuan rumah Piala Dunia 2022,Qatar memberikan aturan ketat kepada suporter. Qatar memberlakukan beberapa aturan dan larangan yakni soal alkohol dan seks bebas.
Piala Dunia 2022 akan terasa berbeda bagi suporter asal negara barat (Eropa dan Amerika Serikat). Fans sepak bola dari kawasan tersebut terbiasa berjalan ke stadion sambil membawa minuman beralkohol.
Baca Juga
Namun di Qatar, hal itu tak akan bisa lagi mereka lakukan. Qatar dengan tegas melarang alkohol di tempat umum.
Advertisement
Bukan cuma itu, Qatar juga melarang fans-fans dari luar untuk melakukan tindakan kumpul kebo. Suporter laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri, tidak akan bisa memesan satu kamar hotel yang sama.
Laporan Daily Star, aturan ini bahkan sudah mulai diterapkan. Qatar, sebagai negara yang menganut norma ketimuran dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam melarang keras seks bebas.
Tak tanggung-tanggung, apabila ada yang melanggaranya akan mendapatkan sanksi paling berat yakni penjara selama tujuh tahun.
"Kecuali Anda datang ke sini sebagai suami-istri, itu tidak masalah. Tapi kalau mau seks bebas, jangan di sini karena Anda bisa mendekam di penjara," kata salah seorang polisi di Qatar.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Piala Dunia 2022, Nasser al-Khater menegaskan, Qatar terbuka kepada semua fans dari berbagai belahan dunia. Namun, Qatar juga memina para tamu harus menghormati norma-norma yang sudah berlaku di negara mereka.
"Semua orang diterima di Qatar dan mereka akan merasa aman. Qatar adalah negara yang toleran dan ramah. Mungkin Qatar ada sedikit berbeda dari negara lain, maka kami berharap para fans untuk menghormati aturan yang ada," kata Nasser.
“Keselamatan dan kenyamanan setiap penggemar adalah yang paling penting bagi kami. Tapi, bermesraan di depan umum dilarang, itu bukan bagian dari budaya kami, dan itu berlaku untuk semua orang," jelasnya.
Larang Kampanye LGBT
Sebelumnya, Qatar dengan tegas menyatakan sikap mereka kepada kaum LGBT. Kepala Keamanan Piala Dunia 2022, Abdullah Al Nasari mengharamkan simbol maupun bentuk kampanye lain dari kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Qatar.
Al Nasari menyatakan tidak akan bertoleransi mengenai apapun yang berkaitan dengan LGBT selama Piala Dunia 2022 berlangsung.
"Jika Anda ingin mengungkapkan pandangan Anda mengenai LGBT, lakukanlah dalam masyarakat yang bisa menerima hal itu. Jangan datang dan menghina seluruh masyarakat [kami]. Kami tidak akan pindah agama [hanya karena Piala Dunia] selama 28 hari," ucapnya seperti dikutip dari Sportsration.
Al Nasari juga mengatakan akan melakukan tindakan tegas andai simbol terkait kelompok LGBT muncul di stadion yang menghelat Piala Dunia 2022. Ia memastikan tindakan harus dilakukan sebagai pencegahan akan dampak buruk yang berpotensi terjadi.
"Jika seorang penggemar mengibarkan bendera pelangi di stadion dan bendera itu diambil, itu bukan karena kami ingin menyinggungnya tetapi untuk melindunginya," kata Al Nasari.
"Jika tidak [diambil], penonton lain bisa menyerangnya. Jika Anda membeli tiket, itu untuk menyaksikan pertandingan sepak bola dan bukan untuk berdemonstrasi," ia melanjutkan.
Advertisement
Tuai Kritik
Larangan terhadap kampanye LGBT oleh pemerintah Qatar di Piala Dunia telah menimbulkan gelombang kritik dari berbagai pihak.
Direktur Teknik Timnas Jerman, Oliver Bierhoff menyebut tindakan Qatar tidak dapat diterima. Bierhoff mengatakan kepada surat kabar Jerman, dia tidak senang bahwa homoseksual masih ilegal di negara Teluk tersebut.
"Perlakuan seperti itu terhadap kaum homoseksual sama sekali tidak dapat diterima. Ini sama sekali tidak sesuai dengan pandangan saya," kata Bierhoff, dilansir BBC Sport.
Pria yang kini beruia 54 tahun itu juga mempertanyakan kriteria yang digunakan dalam pemilihan Qatar untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Dia menduga bahwa pejabat FIFA telah disuap untuk memberikan Piala Dunia kepada Qatar, meskipun penyelidikan independen yang dilakukan oleh FIFA kemudian tidak menemukan bukti kuat tentang hal ini.
"Kriteria apa yang sebenarnya digunakan FIFA untuk memberikan tuan rumah Piala Dunia. Pemberian turnamen adalah senjata paling ampuh untuk mendorong perubahan yang diperlukan," kata Bierhoff, dilansir BBC.
"Tetapi perubahan itu harus terjadi sebelum pemilihan negara dan bukan setelahnya," ujar Bierhoff.
Timnas Inggris Cemas
Timnas Inggris juga menjadi pihak yang paling lantang mengkritik aturan itu. Manajer Timnas Inggris, Gareth Southgate was-was takut suporter mereka yang LGBT tidak datang untuk memberikan dukungan.
"Saya menemukan masalah hak asasi manusia cukup luar biasa untuk disatukan. Tapi saya pikir saya cukup jelas tentang bidang yang menjadi perhatian turnamen ini," kata Southgate, dilansir Daily Mail.
"Pembangunan stadion adalah yang pertama, dan tidak ada yang bisa kami lakukan sekarang. Jelas ada kekhawatiran yang terus berlanjut tentang hak-hak pekerja dan kondisi tempat tinggal mereka."
Hal senada juga disampaikan oleh penyerang Timnas Inggris, Harry Kane. Dia khawatir tentang keselamatan kaum LGBT yang bepergian datang ke Qatar
Harry Kane mengatakan 'sangat penting bahwa mereka merasa aman' di turnamen Kane mengatakan bahwa Piala Dunia tidak bisa hanya menjadi 'perbaikan cepat' untuk pelanggaran hak asasi manusia.
Harry Kane telah meminta Qatar untuk memastikan penggemar homoseksual Inggris merasa aman selama Piala Dunia. “Sangat penting bagi mereka untuk merasa aman,” kata kapten Inggris itu seperti dikutip Jurnal Soreang dari Daily Mail.
“Sebagai sebuah bangsa, kami ingin para penggemar kami benar-benar menikmati turnamen ini sebanyak semoga kami menikmati turnamen ini dan kami ingin mereka merasa bebas untuk menonton pertandingan sesuka mereka,” tuturnya.
Lebih dari itu, Kane juga mendorong beberapa kapten tim nasional yang bermain satu tim di Tottenham Hotspur untuk bersuara.
"Ada beberapa kapten tim nasional lainnya di Tottenham. Mungkin berbicara dengan kapten nasional lainnya untuk melihat apakah kami dapat bersatu dengan apa yang dapat kami lakukan dan bagaimana kami mendekatinya," kata Kane seperti dikutip dari Mirror.
Advertisement
Isu HAM di Qatar
Piala Dunia 2022 dibayangi berbagai kontroversi. Mulai dari bagaimana Qatar bisa memenangkan persaingan untuk menjadi tuan rumah, hingga masalah bagaimana negara ini memperlakukan puluhan ribu pekerja yang membangun stadion.
Untuk menggelar Piala Dunia 2022, Qatar membangun tujuh stadion, satu bandar udara baru, jaringan kereta dan sejumlah ruas jalan baru.
Tak kurang dari 30.000 pekerja migran dikerahkan untuk membangun proyek ini dan Qatar dikecam pada 2016 oleh organisasi hak asasi manusia, Amnesty International karena "menerapkan kerja paksa".
Amnesty mengatakan para pekerja tinggal di akomodasi yang buruk, membayar mahal biaya perekrutan, gaji ditahan dan paspor disita.
Sejak 2017, pemerintah Qatar menerapkan sejumlah kebijakan untuk melindungi buruh migran agar tidak bekerja dalam kondisi temperatur yang sangat panas, membatasi jam kerja dan meningkatkan kualitas akomodasi.
Tetapi, organisasi HAM, Human Rights Watch (HRW) dalam laporan pada 2021 mengatakan pekerja migran "masih mengalami praktik ilegal pemangkasan gaji" dan "tidak menerima gaji selama berbulan-bulan, padahal sudah bekerja berat dengan jam kerja yang panjang".
Amnesty International juga mengatakan meski sistem "kafala" atau sponsor telah dihapus namun para buruh tetap saja menerima tekanan yang berat. Selama ini, sistem kafala melarang buruh meninggalkan pekerjaan tanpa izin majikan atau perusahaan.
Juru bicara pemerintah mengatakan kepada BBC, "Sudah ada kemajuan besar untuk memastikan reformasi benar-benar diterapkan."
Ia juga mengatakan, jumlah perusahaan yang melanggar aturan perburuhan "terus menurun".