Liputan6.com, Jakarta Tahun ini, Piala Dunia akan digelar di Jazirah Arab untuk pertama kali. Tuan rumah Qatar terus memantapkan persiapan akhir jelang kick-off pertama pada tanggal 21 November 2022.
Seperti pada edisi Piala Dunia sebelumnya, Piala Dunia Qatar juga masih akan diikuti oleh 32 negara peserta dari lima konfederasi sepak bola dunia: AFC (Asia), OFC (Oseania), CAF (Afrika), CONCACAF (Amerika Tengah, Amerika Utara, & Karibia), CONMEBOL (Amerika Selatan), dan UEFA (Eropa). Pada putaran final Piala Dunia Qatar, CAF (Konfederasi Sepak Bola Afrika) akan diwakili oleh Ghana, Maroko, Kamerun, Senegal, dan Tunisia.
Bicara mengenai kiprah negara-negara zona CAF baik di putaran final maupun putaran final Piala Dunia, rasanya kita tak bisa melewatkan Timnas Zambia begitu saja. Zambia, tiga kali finalis dan satu kali juara Piala Afrika tahun 2012 itu memang belum pernah lolos ke putaran final Piala Dunia sekali pun.
Advertisement
Di Piala Dunia 2018 mereka gagal melaju ke putaran final di Rusia setelah finis di urutan kedua di belakang juara grup Nigeria pada putaran kualifikasi.
Satu-satunya peluang paling realistis yang dimiliki Zambia untuk bisa tampil pada putaran final Piala Dunia adalah pada tahun 1993. Kala itu, Timnas Zambia yang disebut-sebut bermain dengan generasi emas sepak bolanya melewati beberapa laga kualifikasi Piala Dunia 1994 dengan mudah.
Namun di sisi lain, tahun 1993 juga akan selamanya dikenang sebagai tahun duka yang kelam bagi seluruh bangsa Zambia atas tragedi nahas merenggut nyawa yang menimpa Timnas kebanggaan mereka.
Kecelakaan Maut Merampas Generasi Emas Sepak Bola Zambia
Pasukan Chipolopolo atau Peluru Tembaga (julukan Timnas Zambia) dijadwalkan terbang ke Dakar untuk berlaga melawan Senegal dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia USA 1994 yang akan digelar pada tanggal 27 April 1993. Pesawat militer DHC-5 Buffalo milik Angkatan Udara Zambia yang digunakan untuk mengangkut para pemain dan ofisial tim terbang dengan rute Lusaka (Zambia) - Brazzaville (Kongo) - Libreville (Gabon) - Abidjan (Pantai Gading) - Dakar (Senegal).
Namun tragis, pertandingan generasi emas Timnas Zambia melawan Timnas Senegal itu tak pernah terjadi. Pasukan Chipolopolo tidak pernah mendarat di Dakar setelah pesawat militer yang ditumpanginya jatuh dan menewaskan ketiga puluh orang di dalamnya.
Advertisement
Perjalanan Chipolopolo di Panggung Sepak Bola Dunia
Chipolopolo mengenalkan diri mereka di panggung sepak bola dunia ketika mereka menghancurkan Italia dengan kemenangan 4-0 di Olimpiade Seoul 1988. Sejak itu, sepertinya impian Timnas Zambia untuk berlaga di putaran final Piala Dunia dan untuk mengangkat trofi Piala Afrika pertama kalinya kian dekat.
Banyak pihak menyebut kala itu adalah puncak kejayaan sepak bola Zambia dengan generasi emas pemain-pemainnya yang bahkan digadang-gadang bisa menjadi salah satu tim terbaik dalam sejarah sepak bola Afrika.
Tragisnya, mimpi besar itu hancur dan tenggelam di Samudra Atlantik tepatnya di lepas pantai Libreville, ibu kota Gabon, pada hari nahas di bulan April tahun 1993.
Terbang dengan Pesawat Angkatan Udara Zambia
Perjalanan tim asuhan Godfrey Chitalu ke Dakar telah diatur sedemikian rupa oleh Angkatan Udara Zambia dan dipiloti oleh kapten penerbang yang sama yang mengangkut tim dari Mauritius ke Zambia sehari sebelumnya. Ketika itu, pesawat yang sebelumnya dilaporkan mengalami beberapa kerusakan kecil itu tetap lepas landas dari Lusaka dengan rencana tiga kali pemberhentian untuk pengisian bahan bakar di Brazzaville, Libreville, dan Abidjan.
Lima jam setelah lepas landas dari Lusaka, pesawat berhasil mendarat di Brazzaville guna mengisi bahan bakar dan melanjutkan penerbangan setelah beberapa pengecekan kondisi dan kelayakan pesawat dilakukan saat transit.
Namun, sesaat selepas take-off setelah pengisian bahan bakar ke-2 di Libreville, pilot melaporkan ada kebakaran pada mesin kiri pesawat. Didera kelelahan dari penerbangan sebelumnya dan ditambah dengan adanya kerusakan pada lampu panel, pilot secara tidak sengaja mematikan mesin kanan yang menyebabkan pesawat kehilangan tenaga.
Pesawat milik Angkatan Udara Zambia itu pun jatuh ke laut hanya 500 meter dari lepas pantai ibu kota Gabon.Tragedi mengenaskan itu menewaskan 18 pemain, 4 anggota tim pelatih, dan tim medis, petinggi Federasi Sepak Bola Zambia, wartawan yang ditugaskan untuk meliput pertandingan, dan seluruh kru pesawat.
Advertisement
Mantan Bomber Godfrey Chitalu Menjadi Korban
Kabar duka kecelakaan pesawat itu sontak mengguncang negara berpenduduk 16 juta jiwa yang terletak di bagian tengah Afrika bagian selatan itu. Zambia berkabung atas gugurnya pahlawan lapangan hijau mereka. Jasad para pemain dan ofisial yang berhasil dievakuasi kemudian dimakamkan di Heroes Acre, sebuah monumen khusus yang didedikasikan untuk mengenang Timnas Zambia itu yang didirikan di area luar Independence Stadium Lusaka.
Di antara yang gugur dalam kecelakaan itu adalah beberapa insan sepak bola terbaik yang ditawarkan oleh sepak bola Zambia, dan Godfrey Chitalu adalah salah satunya. Chitalu yang kala itu menukangi pasukan Chipolopolo sebagai pelatih kepala tercatat sebagai pemain terhebat dalam sejarah sepak bola Zambia.
Chitalu memiliki karier cemerlang di Liga Domestik Zambia baik sebagai pemain maupun pelatih. Ia tercatat berhasil mempersembahkan 79 gol dalam 108 kali penampilannya untuk Timnas Zambia.
Sementara itu, beberapa pemain inti Timnas Zambia lainnya yang bermain di liga-liga Eropa lolos dari kecelakaan maut itu karena mereka terbang langsung dari Eropa ke Dakar. Salah satu dari mereka yang lolos adalah kapten tim, Kalusha Bwalya, yang harus menunaikan komitmennya bermain untuk PSV Eindhoven di Liga Belanda sebelum terbang ke Dakar untuk membela negaranya di laga kualifikasi Piala Dunia 1994 melawan Senegal.
Zambia tidak akan pernah melupakan hari itu, hari ketika mereka kehilangan sebagian besar anggota tim terhebat dalam sejarah sepak bola mereka.
Timnas Zambia Bangkit dan Bersinar
Sekalipun dalam suasana berkabung atas tragedi maut yang menimpa tim nasionalnya, Federasi Sepak Bola Zambia segera membentuk tim baru untuk menyelesaikan sisa pertandingan kualifikasi Piala Dunia 1994 dan juga untuk bersaing di Piala Afrika 1994. Meski gagal masuk ke putaran final Piala Dunia 1994, Timnas Zambia berhasil menorehkan cerita lain di Piala Afrika 1994.
Dibawah asuhan pelatih Ian Porterfield dan komando kapten tim Bwalya, pasukan Chipolopolo yang baru dibentuk itu berhasil mencapai laga final Piala Afrika 1994 yang digelar di Tunisia di mana mereka dikalahkan Nigeria. Seusai kompetisi, Timnas Zambia pulang sebagai pahlawan nasional.
Sembilan belas tahun setelah tragedi kelam yang menimpa sepak bola Zambia, mimpi untuk mengangkat trofi Piala Afrika itu pun menjadi nyata. Pasukan Chipolopolo berhasil memenangkan titel juara Piala Afrika 2012 setelah mengalahkan Pantai Gading 8-7 lewat adu penalti dalam laga final yang sengit pada tanggal 12 Februari 2012.
Kemenangan besar itu kian terasa istimewa dan mengharukan bagi pasukan Chipolopolo dan seluruh rakyat Zambia karena turnamen Piala Afrika kala itu berlangsung di Gabon. Mereka mengangkat trofi Piala Afrika di Stadion Angondje di ibu kota Libreville yang hanya berjarak beberapa meter dari lokasi jatuhnya pesawat Buffalo tahun 1993.
Generasi muda Chipolopolo itu seakan memberikan penghormatan dan penghargaan terbesarnya kepada pahlawan mereka yang gugur dengan mengangkat piala yang mereka impikan. Kisah nyata perjalanan tim nasional sepak bola Zambia yang berawal dari sebuah tragedi dan dengan kemenangan itu diabadikan dalam sebuah film dokumenter yang ceritanya ditulis dan disutradarai oleh sutradara berkebangsaan Spanyol, Juan Rodriguez-Briso. Film yang dibintangi sendiri oleh legenda Chipolopolo, Kalusha Bwalya, itu dirilis pada tahun 2014 dengan judul “e18hteam” (Eighteam).
Advertisement