Sukses

Bola Ganjil: Merasa Nyawa Terancam, Wasit Cari Perlindungan di Ruang Ganti

Dengan perbekalan yang dimiliki, wasit dituntut melaksanakan tugas sebaik mungkin. Meski begitu, seperti manusia lainnya, korps baju hitam juga tidak lepas dari blunder.

Liputan6.com, Jakarta - Sorotan tertuju kepada 22 pemain saat pertandingan sepak bola dimulai. Kinerja mereka benar-benar diperhatikan untuk menganalisa apa yang bakal terjadi.

Kecemerlangan atau justru kesalahan tiap individu bakal disorot setelah 90 menit berlalu. Namun, kadang publik lupa. Ada satu sosok lain yang berlari di lapangan pada saat bersamaan.

Individu itu tidak lain sang pengadil laga. Dengan perbekalan yang dimiliki, wasit dituntut melaksanakan tugas sebaik mungkin. Meski begitu, seperti manusia lainnya, korps baju hitam juga tidak lepas dari blunder.

Ceritanya juga sudah banyak. Graham Poll pernah memberi dua kartu kuning kepada bek Kroasia Josep Simunic tapi tidak mengusirnya pada duel kontra Australia di Piala Dunia 2006. Sosok berkebangsaan Inggris itu baru mengeluarkan pemain saat mengganjarnya kartu kuning ketiga.

Poll masih layak bersyukur karena 'hanya' reputasinya yang tercoreng. Setidaknya dia tidak merasakan ketakutan besar seperti Gary Willard yang merasa nyawanya terancam.

Willard dipercaya menangani duel Barnsley vs Liverpool pada lanjutan Liga Inggris di Oakwood, Maret 1998. Tuan rumah memimpin berkat kapten Neil Redfearn, sebelum Karl-Heinz Riedle menyamakan kedudukan bagi tim tamu jelang babak pertama selesai.

Harapan tinggi pendukung tuan rumah mendadak berubah selepas jeda. Pasalnya, Willard meniup peluit setiap pemain Barnsley menekel penggawa The Reds.

Emosi semakin tinggi ketika Willard mengusir Darren Barnard yang melakukan pelanggaran sebagai orang terakhir. Riedle lalu membawa Liverpool memimpin, sebelum Willard juga mengeluarkan kartu merah untuk Chris Morgan karena dianggap menyikut lawan.

Seorang suporter Barnsley tidak terima dengan rangkaian peristiwa tersebut. Dia lari masuk lapangan untuk menyerang Willard. Namun, dia dijegal penyerang Barnsley Jan-Aage Fjortoft sebelum sampai sasaran.

Dengan situasi tidak lagi kondusif, Willard menghentikan laga dan masuk ke ruang ganti. Dia berada di dalam kurang lebih lima menit sebelum setuju untuk melanjutkan pertandingan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Penonton Kembali Menyerbu

Laga kembali berlanjut. Willard memberi penalti bagi Barnsley usai Phil Babb menjatuhkan Georgi Hristov di area terlarang. Redfearn menunaikan tugas dengan sempurna demi menyamakan kedudukan di menit ke-85.

Namun, Liverpool mulai menemukan ruang kosong karena Barnsley tinggal menyisakan sembilan pemain. Steve McManaman lalu memastikan kemenangan The Reds empat menit berselang.

Aksi Willard belum berhenti sampai di situ. Darren Sheridan terlibat cekcok dengan McManaman dan Paul Ince yang coba membuang waktu. Sang wasit lalu mengganjarnya kartu kuning kedua.

Emosi pendukung tuan rumah tidak tertahankan lagi. Sejumlah pendukung Barnsley masuk lapangan untuk melampiaskan emosi ke Willard. Ince dan Redfearn turut memberikan perlindungan kepada sang pengadil, dengan polisi ikut mengawalnya masuk ruang ganti.

Ketika kekacauan akhirnya reda, Willard kembali ke lapangan dan meniup peluit akhir.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Masih Sakit Hati

Hampir dua setengah dekade berselang, pendukung Barnsley masih sakit hati dengan ulah Willard. Mereka kesal karena kepemimpinannya merusak ambisi klub bertahan di kasta tertinggi Liga Inggris.

Barnsley menghadapi Liverpool dalam performa baik. Mereka memetik tiga kemenangan beruntun atas Wimbledon, Aston Villa, dan Southampton. Kinerja positif tersebut terlihat pada kemampuan mengimbangi Liverpool di babak pertama.

Namun setelahnya kepercayaan diri mereka hancur. Barnsley hanya meraih satu kemenangan di delapan partai akhir.

Kenyataan pahit semakin sulit diterima suporter yang merayakan keberhasilan klub tampil di level utama sistem kompetisi sepak bola Inggris untuk kali pertama dalam 110 tahun sepanjang sejarah klub.

Musim 1997/1998 pun jadi satu-satunya kampanye The Tykes di Premier League hingga sekarang.