Liputan6.com, Jakarta - Semua bermula pada 22 Oktober 2003 di sebuah bar di kota Milan. Klub Brugge bertandang ke markas AC Milan di ajang fase Grup H Liga Champions.
Sekelompok penggemar klub Brugge, yang biasa disebut Blue Army, sedang berada di sebuah bar menanti dimulainya pertandingan.
Saat menikmati bir, lagu Seven Nation Army diputar di bar itu. Meski sudah lama turun dari posisi puncak Billboard untuk alternative rock, tapi lagu dari grup rock alternatif asal Amerika Serikat, The White Stripes itu masih sering diputar di radio.
Advertisement
Blue Army langsung langsung jatuh cinta saat mendengar lagu itu. Mereka mulai menyanyikan nada Seven Nation Army bersama-sama, membawa chant tersebut ke jalanan, dan pada akhirnya ke stadion.
Di tribune San Siro, nyanyian ini memuncak ketika penyerang Brugge asal Peru, Andres Mendoza, membobol gawang AC Milan di menit ke-33. “Oh...oh-OH-oh oh OHH OHH.” Para pendukung tim tuan rumah menyanyikan ritme Seven Nation Army meski tidak mengetahui liriknya. Brugge akhirnya menang mengejutkan 1-0.
Merasa lagu itu begitu menarik, Blue Army membawa tradisi menyanyikan Seven Nation Army saat menyaksikan pertandingan Liga Belgia. Bahkan petugas stadion kemudian sampai menyetel lagu itu di speaker stadion setiap terjadi gol.
Bukan liriknya yang begitu mudah dipahami dan diikuti, tapi suara riff gitar yang berulang dan menghipnotis. Melodi tersebut diciptakan dari gitar vintage semi-akustik 1950-an milik Jack White, yang juga sebagai vokalis dan pencipta lagu. Melalui pedal DigiTech Whammy dengan turun satu oftaf, suara ini terdengar seperti bas.
Simple
“Simpel, menarik, dan agresif, sehingga [lagu] itu sempurna untuk menjadi sport anthem,” kata Alan Siegel di Deadspin, menjelaskan bagaimana Seven Nation Army bisa menjadi “chant sejuta umat”.
Ketika Brugge menjamu AS Roma di pertandingan Piala UEFA, 15 Februari 2006, tim tamu tak hanya mengantongi kemenangan 2-1 tapi juga membawa virus Seven Nation Army ke Italia.
“Aku belum pernah mendengar lagu itu sebelum menginjakkan kaki di lapangan Bruges,” kata kapten Roma saat itu, Francesco Totti, dikutip dari Nieuwsblad.
“Sejak itu, aku tak bisa mengeluarkan nada ‘Po...po-PO-po po POO POO’ dari kepalaku. Itu terdengar fantastis dan para penonton juga langsung jatuh cinta. Aku langsung keluar dan membeli salah satu album terbaik dari band [The White Stripes],” tambah Totti.
Seven Nation Army merupakan lagu dari album keempat mereka, Elephant yang dirilis pada 2003. Meski meraih penghargaan sebagai Lagu Rock Terbaik pada Grammy 2004, lagu itu belum dilirik oleh para supporter sebelum Blue Army menyebarkannya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Mengadaptasi
Orang-orang Italia menyebut chant tersebut dengan lagu “po po po po” dan menjadikannya unofficial theme untuk Tim Nasional Italia pada Piala Dunia 2006.
Mungkin tidak banyak yang bersikap seperti Totti, membeli album The White Stripes karena penasaran. Mungkin juga tidak mengingat dan mengetahui soal The White Stripes atau Jack White. Juga tak tahu grup rock alternatif itu hanya diisi dua personi, Jack White dan Meg White saja. Meg memainkan drum.
Fans Gli Azzurri mengadaptasi Seven Nation Army dan menyanyikannya di stadion setiap negaranya bertanding.
Terkesima dengan efek yang ditimbulkan kepada para penonton, pihak UEFA (induk organisasi sepak bola Eropa) kemudian menggunakannya sebagai penanda bahwa gol telah tercipta. Dilansir oleh The Guardian, hal tersebut sudah berlangsung dalam tiga edisi terakhir Piala Eropa yakni pada 2008, 2012 dan 2016.
Perlahan-lahan para pendukung klub-klub Serie A lain juga mulai mengadaptasi Seven Nation Army sebagai chant. Puncaknya adalah ketika timnas Italia lolos ke final Piala Dunia 2006 di Jerman.
Po
Dalam laga final yang berlangsung di Stadion Olimpiade, Berlin 9 Juli 2006 Italia mengalahkan Prancis lewat adu penalti dengan skor 5-3. Sebelumnya kedudukan imbang 1-1 setelah bermain selama 120 menit.
Zinedine Zidane menjadi pemain terbaik, sedangkan Miroslav Klose sebagai pencetak gol terbanyak dengan 5 gol. Tuan rumah Jerman meraih juara ketiga setelah menang dengan skor 3-1 atas Portugal di Stadion Gottlieb-Daimler, Stuttgart.
Tebak apa yang dinyanyikan fans mereka setelah laga usai? Ya, ritme Seven Nation Army, bukannya The Time of Our Lives yang menjadi lagu resmi Piala Dunia 2004, dan dinyanyikan oleh Il Divo feat Toni Braxton.
Irama musik lagu ini dinyanyikan oleh fans timnas Italia tanpa lirik. Banyak orang menyebutnya sebagai "Po Po Po Song", merujuk pada silabel "po" sebagai pembentuk irama sorakan.
Kini diketahui bahwa puluhan tim sepak bola di seluruh dunia kerap memutar salah satu lagu terbaik sepanjang masa pilihan majalah musik Rolling Stone itu di kandang-kandang mereka. Mulai dari Atletico Madrid di La Liga Spanyol hingga Melbourne Victory yang berlaga dalam A-League Australia.
Advertisement
Bakal Abadi
Selain dalam sepak bola, Seven Nation Army juga merambah cabang lain. Mulai dari American football, basket tingkat kampus hingga NBA, hoki es, tinju, balapan Formula 1, baseball hingga kontes gulat-hiburan WWE.
Lagu itu mencapai puncaknya pada Piala Dunia 2018, dimana semua pertandingan dimulai dengan Seven Nation Army sebagai lagu pembuka, dan suporter pun turut larut dalam alunan folk dari intro lagu tersebut.
Saat lagu itu makin kuat sebagai bagian tak terpisahkan dari berbagai ajang olahraga, nasib sebaliknya dialami oleh The White Stripes. Grup yang dibentuk pada tahun 1997 ini bubar pada 2011, berbarengan dengan perceraian Jack White dengan sang isteri, Meg White.
“Saat menciptakan lagu itu, saya merasa akan cocok menjadi soundtrack James Bond. Saya menyimpannya, siapa tahu mendapatkan tawaran,” tutur Jack White tentang keinginannya sebelum lagu itu diluncurkan.
Pada akhirnya lagu itu dirilis pada 2003. Meski tak pernah mendapatkan tawaran menjadi soundtrack James Bond, satu hal yang pasti, Seven Nation Army bakal abadi. Setidaknya selama laga sepak bola masih ada di stadion-stadion.