Sukses

Kisah Robin Deakin dan 51 Kekalahan Beruntun yang Mendunia

Mike Tyson dan Floyd Mayweather Jr juga ikut membagikan kisah Robin Deakin ke publik.

Liputan6.com, Jakarta 'Rockin' Robin Deakin telah menderita 51 kekalahan beruntun dalam karier bertinjunya. Pengalaman ini sampai-sampai membuatnya mendapat gelar sebagai petinju Inggris terburuk sepanjang sejarah. 

Saking seringnya kalah, lisensi bertinjunya sempat dicopot tahun 2014. Dewan Tinju Britania Raya terpaksa melakukan hal tersebut karena khawatir akan keselamatan pria berusia 36 tahun itu.

"Ambisi besar saya adalah agar kelak dikenang orang. Dikenang sebagai petinju terus-terusan kalah? Tentu tidak. Dikenang sebagai petinju yang memukau dengan melakukan apa yang orang lain bilang tidak mungkin bisa saya kerjakan," ujar Deakin seperti dikutip dari Sportsbible belum lama ini. 

 

Kekalahan memang sudah terlanjur lekat dengan Deakin. Namun itu bukanlah bagian utuh cerita kehidupan, warga Crawley, Sussex, Inggris tersebut. Di balik kekalahan beruntun yang menderanya di arena tinju, Deakin sebenarnya sosok bermental baja dalam memenangkan pergulatan hidup.  

Jangankan bertukar pukulan di atas ring, untuk berdiri saja Deakin harus melewati perjuangan ekstra.

Maklum saja, Deakin lahir dengan kelainan di bagian kaki. Dia mengidap talipes equinovarus atau kaki pengkor hingga harus menjalani 40 operasi agar bisa berjalan tanpa alat bantu hingga usia 6 tahun. 

Perkenalannya dengan tinju awalnya hanya demi meningkatkan kemampuan mobilitasnya saja. Tapi siapa sangka, momen ini justru menjadi awal dari perjalanan panjang yang dilaluinya hingga saat ini.

 

 

 
2 dari 5 halaman

Lebih Percaya Diri

Di gym, kemampuan Deakin tidak kalah dengan anak-anak seusianya. Pelatih juga melihat potensi yang besar dalam dirinya. Mereka menganggap, Daekin bisa lebih baik bila kakinya berfungsi normal. 

"Saya sering mendengar hal seperti itu dari pelatih. Saya lalu menjalani operasi kaki, saya menjadi sedikit lebih kuat dan mulai angkat fisio," kata Deakin mengisahkan perjalanan hidupnya. 

Belajar berjalan sama sulitnya dengan bertinju. Namun pelan tapi pasti, Deakin mampu melewatinya. Olahraga tinju yang ditekuni ternyata secara tidak langsung juga membangkitkan rasa percaya dirinya. Dia kemudian tumbuh bertambah kuat. Tidak malu-malu dan bangga dengan dirinya sendiri. 

"Daripada menjadi anak pemalu yang dulu sering diganggu, senang menjadi diri sendiri dan memiliki kepercayaan diri untuk melakukan itu (olahraga tinju)," kata Daekin.

 

 

3 dari 5 halaman

Kecanduan Rasa Sakit

Seiring bertambahnya usia, kemampuan Deakin juga ikut meningkat. Dia akhirnya mengikuti kejuaraan amatir dan berhasil melangkah ke babak semifinal ABA Championships kelas welter ringan. Selain itu, Deakin juga mampu merebut medali perak dalam kejuaraan amatir Limassol Cup di Cyprus. 

 

Setelah melewati 76 pertandingan di amatir, Deakin lalu beralih ke tinju profesional tahun 2006. Di laga perdana, Deakin langsung merebut kemenangan angka atas Shaun Walton di York Hall, London. 

Namun hasil ini ternyata bukan awal cerita popularitasnya. Justru hasil pertandingan kedua melawan Eduards Krauklis di Wembley Arena yang melekat pada karier profesionalnya: runner up tinju abadi!

Ya, dalam laga itu Deakin kalah yang akhirnya terus berlanjut hingga ke partai-partai berikutnya. Sepanjang tahun 2007 hingga 2014, Deakin total mengalami 51 kekalahan beruntun hingga surat-surat kabar di Inggris menobatkannya sebagai petinju profesional terburuk sepanjang sejarah.   

Dewan Tinju Britania Raya kemudian mencabut lisensi bertinjunya demi alasan keamanan. Deakin belum menyerah. Dia kemudian mendapat izin dari otoritas di Jerman. 

"Saya kecanduan terhadap rasa sakit. Ini terdengar konyol, tapi saya suka hal-hal yang dihindari orang. Saya suka rasa sakit, saya suka berada di daerah antah berantah dan terjun ke sana dan mengalami kejadian yang buruk. Menang dan kalah sejatinya bukan masalah bagi saya," katanya.

"Setiap kali saya melawan petinju hebat, saya ingin terlihat ambil bagian. Menggelapkan diri, Suzi Wong selalu membuat peralatan bertinju saya terlihat bagus. Saya selalu masuk ring dengan penampilan terbaik, tapi keluar menjadi yang kedua," beber Deakin menambahkan. 

 

4 dari 5 halaman

Akhir Penantian Panjang

 

Penantian panjang Deakin akhirnya membuahkan hasil. Pada tahun 2015 dia mampu memetik kemenangan kedua sepanjang kariernya usai mengalahkan petinju Latvia, Deniss Kornilovs. Uniknya, kemenangan diraih di lokasi yang sama saat dia merebut kemenangan perdananya 9 tahun lalu. 

Tak ada sabuk yang diperebutkan. Namun Deakin sangat emosional menyambut kemenangan itu. 

Air matanya tumpah usai pertandingan. "Saya tidak tahu apakah itu karena senang, saya pikir itu lebih kepada rasa lega. Seperti ada beban yang baru saja lepas dari pundakku," beber Deakin. 

 

Kemenangan kedua Deakin juga mendunia setelah mendapat sorotan dari dua legenda hidup tinju pro, Mike Tyson dan Floyd Mayweather Jr. Keduanya ikut berbagi cerita mengenai pengalaman Deakin sebagai penyandang disabilitas yang akhirnya bisa tampil di atas ring melawan petinju-petinju normal. 

"Itu sangat luar biasa, kemenangan saya akhirnya bisa mendunia," beber Deakin. 

Deakin akhirnya gantung sarung tangan pada tahun 2018, mengakhiri karir tinju profesionalnya dengan hanya dua kemenangan dari 55 pertarungannya. Tapi dia belum selesai bertarung.

 

5 dari 5 halaman

Naluri Bertarung

Cobaan hidup kembali menimpanya. Dia tidak punya tempat tinggal yang tetap. Dalam kondisi ini, dia mulai depresi dan mencari pelarian dengan mengikut pertarungan tinju brutal tanpa sarung tangan. 

Beruntung, dia tidak bertahan terlalu lama di dunia ini. Dia memutuskan mundur setelah meraih 1 hasil draw dan 3 kali kalah. Dia kini menjalani kehidupan yang menyenangkan bersama kekasihnya Kristy. 

Naluri bertarung Deakin belum sepenuhnya luntur. Meski tidak serutin dulu, Deakin masih menjalani satu-dua pertandingan. Bulan lalu dia secara mengejutkan kembali lagi bertarung melawan Ben Hatchett. Hasilnya seperti biasa, Deakin kalah. Meski demikian, Deakin tetap merasa bangga.

"Saya selalu diberitahu bahwa saya tidak akan menjadi petinju oleh guru di sekolah karena kecacatan saya. Saya ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa Anda bisa melakukannya jika Anda mau," kata Deakin. "Menang atau kalah aku tidak peduli, aku hanya suka bertarung." bebernya.