Liputan6.com, Jakarta Tragedi Kanjuruhan Malang menambah panjang daftar insiden memilukan dalam sepak bola Indonesia. Bentrok yang berlangsung setelah laga Arema Vs Persebaya itu menelan korban yang tidak sedikit.
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam keterangan resminya, siang ini, Minggu (2/10/2022) menyebut jumlah korban mencapai 129 orang meninggal dunia. Jumlah ini lebih besar dibanding informasi sebelumnya yang mencatat korban sebanyak 127 jiwa termasuk 2 polisi.
Baca Juga
Kronologi kericuhan sejauh ini masih simpang siur. Namun sejumlah penonton yang selamat dari kejadian tersebut sempat melihat kepanikan yang menimpa penonton akibat tembakan gas air mata polisi. Penonton yang panik kemudian berusaha menyelamatkan diri hingga berdesakan di pintu ke luar.
Advertisement
Pemilik akun @RezqiWahyu dalam utasnya menjelaskan, aparat keamanan melepaskan tembakan gas air mata untuk menghalau massa yang mulai menyerang mereka. "Terhitung puluhan gas air mata sudah ditembakkan ke arah suporter, di setiap sudut lapangan telah dikelilingi gas air mata. Ada juga yang langsung ditembakkan ke arah tribun penonton, yaitu tribun 10," ujar Reski dalam keterangannya.
Reski juga menambahkan, situasi itu membuat suporter panik membuat situasi makin ricuh di atas tribun. Mereka berlarian mencari pintu keluar, tapi sayang pintu keluar sudah penuh sesak oleh penonton yang ingin melarikan diri.
Banyak ibu-ibu, wanita, orang tua dan anak-anak kecil yang terlihat sesak tak berdaya. Tidak kuat ikut berjubel untuk keluar dari stadion.
"Mereka juga terlihat sesak karena terkena gas air mata. Seluruh pintu keluar penuh dan terjadi macet," tuturnya. (baca berita selengkapnya pada tautan ini).
Dilarang FIFA
Kapolda Jatim Irjen Pol Nico Afinta, membenarkan polisi terpaksa menembakkan gas air mata dalam insiden tersebut. Menurutnya, langkah itu diambil setelah massa mulai menyerang para petugas.
“Mereka pergi ke satu titik di pintu 12 kemudian ada penumpukan dan di sana (menyebabkan) kekuarngan oksigen, sesak napas. Tim medis di dalam stadion berupaya menolong,” ujar Nico.
Ia mengatakan, tidak semua dari total 42 ribu penonton yang memenuhi Stadion Kanjuruhan berbuat anarkis. Diperkirakan ada sekitar 3 ribu penonton yang merangsek masuk lapangan.
"Jadi kalau semua patuh aturan maka kami akan kerja baik,” ucapnya.
Penggunaan gas air mata pada penanganan tragedi Kanjuruhan menjadi sorotan banyak pihak. Tidak sedikit yang menganggap insiden ini menyalahi aturan. Apalagi dalam statuta FIFA, penggunaan gas air mata telah dilarang sesuai dengan pasal 19 mengenai aturan Steward di pinggir lapangan. Dalam poin b telah disebutkan, tidak ada senjata api atau "gas pengendali massa" yang boleh dibawa atau digunakan.
(Simak penjelasannya di tautan ini)
Advertisement
Jejak Gas Air Mata di Sepak Bola Indonesia
Meski demikian, penggunaan gas air mata dalam penanganan kerusuhan pada laga sepak bola sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Dalam beberapa kejadian sebelumnya, polisi juga kerap melepaskan gas air mata untuk membubarkan massa. Salah satunya saat berupaya menghalau penonton yang turun ke lapangan pada pertandingan Liga Primer Indonesia (IPL) di Stadion Gelora Bung Tomo, 3 Juni 2012.
Saat itu, Persebaya 1927 tengah bertanding melawan Persija. Insiden bermula saat sebagian pendukung Persebaya atau akrab disapa Bonek turun ke lapangan untuk mengambil spanduk setelah pertandingan.
Namun aksi itu mendapat perlawanan dari pihak keamanan yang berusaha menghalau mereka. Keributan pun pecah. Suasana kian kacau saat para penonton lain mulai melempari polisi dengan berbagai benda.
Melihat situasi ini, pihak keamanan kemudian melepaskan tembakan gas air mata hingga membuat panik penonton. Situasi yang kacau karena ribuan penonton berebut keluar dari stadion. Satu orang dikabarkan meninggal dunia setelah kekurangan oksigen dan terinjak saat berdesakan di pintu ke luar stadion. Oleh Bonek, tragedi ini dikenal dengan sebutan Argapani atau singkatan dari, arogansi aparat tiga Juni.
Semifinal Liga Indonesia 1996/97
Yang tak kalah menyita perhatian tentu saja laga semifinal Liga Indonesia 1996/1997 yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 26 Juli 1996. Duel yang mempertemukan Mitra Surabaya melawan Bandung Raya itu tersebut harus dihentikan pada menit ke-63 akibat tembakan gas air mata.
Dalam laga tersebut, pihak keamanan juga sempat melepaskan gas air mata ke arah tribun penonton. Naas, tembakan justru jatuh di salah satu bench pemain. Asap pedas yang menyebar seketika membuat para pemain menutup mata sembari menjauh dari lapangan. Sebagian pemain bahkan tak kuasa bangkit dan terlihat mengalami sesak napas hingga harus mendapat pertolongan dari tim medis.
Pertandingan ini akhirnya dihentikan dan baru dilanjutkan keesokan harinya. Bandung Raya menang 1-0.
Advertisement
Menjalar hingga ke Laga Timnas
Jejak penggunaan gas air mata juga sempat menjalar hingga ke laga timnas Indonesia. Tepatnya saat aparat berusaha membubarkan massa usai pertandingan kualifikasi Piala Dunia tahun 2019 lalu.
Saat itu, timnas Indonesia berhadapan dengan timnas Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Kamis (5/9/2019). Dalam laga ini, kericuhan sudah pecah di tengah laga saat sejumlah penonton Indonesia menyerang kelompok suporter Malaysia. Akibat insiden ini, sejumlah penonton terluka dan suporter timnas Malaysia akhirnya mendapat pengawalan hingga meninggalkan stadion.
Timnas Indonesia akhirnya kalah dengan skor 2-3. Hasil ini membuat situasi semakin tidak terkendali.
Sejumlah penonton tampak masih menunggu usai peluit panjang dibunyikan. Dan untuk membubarkan massa, aparat keamanan sempat melepaskan gas air mata dari arah tribune VVIP ke gate 1. Namun aksi ini tidak berlangsung lama karena diminta berhenti lewat pengeras suara dari mobil penghalau massa.