"Sepanjang karier saya, lebih dari 9.000 tembakan saya meleset. Saya juga pernah kalah dalam 300 pertandingan. Paling tidak, 26 kali saya dipercaya untuk melakukan syuting penentu kemenangan namun gagal. Saya telah berkali-kali mengalami kegagalan dalam hidup. Dan itulah sebabnya, saya bisa berhasil...," ungkap Michael Jordan suatu ketika merefleksi masa lalunya.
----------
Michael Jordan sejak kecil memang dikenal aktif dan menyukai beraneka ragam olahraga. Seiring dengan fisiknya yang terus bertumbuh, Mike terlihat amat suka bermain bola basket one on one di lapangan belakang rumah.
Mike tinggal bersama orangtuanya di kawasan Wilmington, North Carolina. Partner tetapnya main basket, tak lain kakaknya sendiri, Larry Jordan. Selama ini, Mike selalu kalah. Maklum saja, Larry memang lebih jago dan bertubuh lebih tinggi besar. Sementara, dirinya berbadan kecil dan ceking. Â
Pagi itu ada yang berbeda. Wajah Mike terlihat berseri-seri. Ternyata, si kerempeng Mike berhasil mengalahkan Larry dalam duel one on one. Ini sebuah pengalaman yang sangat langka. Karena baru kali inilah, dirinya bisa menaklukkan sang kakak. Kemenangan ini kian membuat Mike bangga dan bersemangat. Tiap hari Mike makin giat berlatih bola basket.
Pahitnya Ditolak
Kecintaan Mike pada bola basket makin menjadi-jadi saat usianya beranjak remaja. Ketika melanjutkan pendidikan di SMA, Mike tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan langsung bergabung dengan tim basket SMA Laney di Wilmington, North Carolina.
Kenyataan berkata lain. Mike tidak termasuk dalam daftar pemain utama tim basket sekolah. Mungkin salah satu penyebabnya adalah masalah tinggi badan. Mike hanya memiliki tinggi badan sekitar 175-180 cm.
Remaja kelahiran Brooklyn, New York 17 Februari 1963 itu sangat kecewa. Saat pulang dan sampai di rumah, Mike menangis di dalam kamar. Sang ibu tahu, keadaan putranya yang sedang galau waktu itu. Tak banyak bicara, ibundanya hanya mengelus kepala dan punggung Mike dengan penuh kasih sayang.
"Saya lalu meminta Jordan untuk berlatih lebih keras lagi. Tapi jika sudah berlatih keras masih belum berhasil, itu berarti memang belum nasibnya," ungkap sang ibu Deloris Jordan.
Kerja Keras itu Berbuah Manis
Sebelum mencintai basket, Mike sempat bermain macam-macam jenis olahraga terutama yang memang populer di Amerika Serikat termasuk American football dan baseball. Barangkali, jiwa sportivitas serta kompetitifnya muncul dan terbangun dari kecintaannya pada olahraga.
"Saya melatih Michael sejak dia berusia 13, 14, dan 15 tahun. Semasa remaja, Michael bukanlah seorang juara. Dia hanya remaja biasa yang bermain di liga junior. Tapi dia sangat bebas dan kompetitif," ungkap pelatih baseball Mike, Richard Neher di Liga Babe Ruth.
Jika dirunut-runut, tidak ada darah atlet dalam tubuh dan jiwa Michael Jordan. Sang ibu Deloris bekerja di sektor perbankan. Sementara, ayahnya James R. Jordan Sr bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan.
"Berlatih dan terus berlatih dengan keras," itulah nasihat yang selalu terngiang di telinga acapkali semangat berlatih Mike mulai mengendur.
Hasil kerja keras Mike mulai tampak. Michael Jordan mulai cemerlang di tim basket SMA Laney. Berkali-kali Mike mencetak 20-40 poin tiap laga. Melihat prestasi Mike, sejumlah perguruan tinggi mulai melirik. Sebut saja Duke, North Carolina, South Carolina, Syracuse, dan Virginia yang menawarkan beasiswa bagi Jordan. Akhirnya, pilihan jatuh ke Universitas North Carolina. Mike masuk ke fakultas geografi.
Sejak masuk perguruan tinggi inilah kesempatan Michael Jordan mengembangkan kecintaannya pada bola basket terbentang luas. Bagaimana kelanjutan cerita Michael Jordan si Raja Slam Dunk? Ikuti terus Kisah Michael Jordan selanjutnya. (Vin)
Baca juga:
* <a href="http://bit.ly/1g96yo5">Mimpi Evan Dimas Jadi Kenyataan</a>
* <a href="http://bit.ly/16mhvz3">Bocah 14 Tahun Incaran MU, Milan dan Barcelona</a>
* <a href="http://bit.ly/1g96Mf1">Kiper Timnas U-19 Merasa Harus Biasakan Diri Terhadap Dua Hal</a>
* <a href="http://bit.ly/18zTcNv">Ini Skuat Indonesia Lawan China</a>
* <a href="http://bit.ly/18WcfR4">Hasil Pertandingan Grup F Liga Europa</a>
----------
Michael Jordan sejak kecil memang dikenal aktif dan menyukai beraneka ragam olahraga. Seiring dengan fisiknya yang terus bertumbuh, Mike terlihat amat suka bermain bola basket one on one di lapangan belakang rumah.
Mike tinggal bersama orangtuanya di kawasan Wilmington, North Carolina. Partner tetapnya main basket, tak lain kakaknya sendiri, Larry Jordan. Selama ini, Mike selalu kalah. Maklum saja, Larry memang lebih jago dan bertubuh lebih tinggi besar. Sementara, dirinya berbadan kecil dan ceking. Â
Pagi itu ada yang berbeda. Wajah Mike terlihat berseri-seri. Ternyata, si kerempeng Mike berhasil mengalahkan Larry dalam duel one on one. Ini sebuah pengalaman yang sangat langka. Karena baru kali inilah, dirinya bisa menaklukkan sang kakak. Kemenangan ini kian membuat Mike bangga dan bersemangat. Tiap hari Mike makin giat berlatih bola basket.
Pahitnya Ditolak
Kecintaan Mike pada bola basket makin menjadi-jadi saat usianya beranjak remaja. Ketika melanjutkan pendidikan di SMA, Mike tak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan langsung bergabung dengan tim basket SMA Laney di Wilmington, North Carolina.
Kenyataan berkata lain. Mike tidak termasuk dalam daftar pemain utama tim basket sekolah. Mungkin salah satu penyebabnya adalah masalah tinggi badan. Mike hanya memiliki tinggi badan sekitar 175-180 cm.
Remaja kelahiran Brooklyn, New York 17 Februari 1963 itu sangat kecewa. Saat pulang dan sampai di rumah, Mike menangis di dalam kamar. Sang ibu tahu, keadaan putranya yang sedang galau waktu itu. Tak banyak bicara, ibundanya hanya mengelus kepala dan punggung Mike dengan penuh kasih sayang.
"Saya lalu meminta Jordan untuk berlatih lebih keras lagi. Tapi jika sudah berlatih keras masih belum berhasil, itu berarti memang belum nasibnya," ungkap sang ibu Deloris Jordan.
Kerja Keras itu Berbuah Manis
Sebelum mencintai basket, Mike sempat bermain macam-macam jenis olahraga terutama yang memang populer di Amerika Serikat termasuk American football dan baseball. Barangkali, jiwa sportivitas serta kompetitifnya muncul dan terbangun dari kecintaannya pada olahraga.
"Saya melatih Michael sejak dia berusia 13, 14, dan 15 tahun. Semasa remaja, Michael bukanlah seorang juara. Dia hanya remaja biasa yang bermain di liga junior. Tapi dia sangat bebas dan kompetitif," ungkap pelatih baseball Mike, Richard Neher di Liga Babe Ruth.
Jika dirunut-runut, tidak ada darah atlet dalam tubuh dan jiwa Michael Jordan. Sang ibu Deloris bekerja di sektor perbankan. Sementara, ayahnya James R. Jordan Sr bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan.
"Berlatih dan terus berlatih dengan keras," itulah nasihat yang selalu terngiang di telinga acapkali semangat berlatih Mike mulai mengendur.
Hasil kerja keras Mike mulai tampak. Michael Jordan mulai cemerlang di tim basket SMA Laney. Berkali-kali Mike mencetak 20-40 poin tiap laga. Melihat prestasi Mike, sejumlah perguruan tinggi mulai melirik. Sebut saja Duke, North Carolina, South Carolina, Syracuse, dan Virginia yang menawarkan beasiswa bagi Jordan. Akhirnya, pilihan jatuh ke Universitas North Carolina. Mike masuk ke fakultas geografi.
Sejak masuk perguruan tinggi inilah kesempatan Michael Jordan mengembangkan kecintaannya pada bola basket terbentang luas. Bagaimana kelanjutan cerita Michael Jordan si Raja Slam Dunk? Ikuti terus Kisah Michael Jordan selanjutnya. (Vin)
Baca juga:
* <a href="http://bit.ly/1g96yo5">Mimpi Evan Dimas Jadi Kenyataan</a>
* <a href="http://bit.ly/16mhvz3">Bocah 14 Tahun Incaran MU, Milan dan Barcelona</a>
* <a href="http://bit.ly/1g96Mf1">Kiper Timnas U-19 Merasa Harus Biasakan Diri Terhadap Dua Hal</a>
* <a href="http://bit.ly/18zTcNv">Ini Skuat Indonesia Lawan China</a>
* <a href="http://bit.ly/18WcfR4">Hasil Pertandingan Grup F Liga Europa</a>