Liputan6.com, Jakarta - Kabar gempa berkekuatan 8,7 skala Richter akan guncang Jakarta menghebohkan media sosial. Hal ini tentu saja langsung membuat publik resah. Banyak mempertanyakan kabar tersebut, meskipun sebagian berharap bahwa isu potensi gempa megathrust tersebut hanyalah hoax.
Fakta:
Baca Juga
Tak ingin berita ini menjadi simpang siur, pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun lantas menanggapi kabar itu. Hary Tirto Djatmiko selaku Kabag Humas BMKG menjelaskan bahwa kabar berjudul "Gempa Bumi Megathrust Magnitudo 8.7, Siapkah Jakarta?" itu ternyata adalah bagian dari tema sarasehan Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA).
Advertisement
Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA) berinisiatif menyelenggarakan diskusi dengan Pemprov DKI untuk menyiapkan langkah-langkah mitigasi gempa bumi. Hary menambahkan bahwa waktu terjadinya gempa yang akan mengancam Jakarta tak dapat diprediksi.
Hary menegaskan, "Meski para ahli mampu menghitung perkiraan magnitudo maksimum gempa di zona megathrust, akan tetapi teknologi saat ini belum mampu memprediksi dengan tepat, apalagi memastikan kapan terjadinya gempa megathrust tersebut."
Di sisi lain, anggapan jika Ibu Kota steril dari lindu adalah salah.
"Persepsi bahwa Jakarta aman gempa adalah keliru," kata Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam diskusi bertajuk "Gempa Bumi Megathrust Magnitudo 8,7. Siapkah Jakarta?" pada Rabu 28 Februari 2018.
Pada 23 Januari 2018, misalnya, gempa 6,1, Skala Ritcher mengguncang Lebak, Banten. Getarannya terasa sangat kuat di Jakarta, menggoyang gedung-gedung tinggi, menciptakan kepanikan dalam skala massif.
Padahal, kekuatan gempa itu baru kurang dari 1:10 kali dari guncangan gempa 9,1 yang pernah mengguncang Aceh 2004 lalu.
"Karena Jakarta ini tanahnya lunak dan dikepung patahan aktif. Entah dari mana saja pusat gempanya, guncangannya pasti terasa kuat," tambah dia.
Ancaman gempa Jakarta terkait dengan zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, yang menunjam masuk ke bawah Pulau Jawa disebut sebagai zona megathrust.
Berdasarkan hasil kajian para pakar gempabumi, proses penunjaman lempeng tersebut masih terjadi dengan laju 60-70 mm per tahun.
"Menurut analisis para pakar gempa bumi, gerakan penunjaman lempeng tersebut memungkinkan dapat mengakibatkan gempa megathrust dengan kekuatan atau magnitudo maksimum yang diperkirakan dapat mencapai 8,7 skala Richter," kata Dwikorita dalam siaran persnya, Jumat 2 Maret 2018.
Dia menambahkan, meski para ahli mampu menghitung perkiraan magnitudo maksimum gempa di zona megathrust, teknologi yang ada saat ini belum mampu memprediksi dengan tepat, apalagi memastikan kapan terjadinya lindu.
"Kita pun belum mampu memastikan apakah gempa megathrust 8,7 SR akan benar-benar terjadi, kapan, di mana, dan berapa kekuatannya?," tambah dia.
Di tengah ketidakpastian itu, yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi yang tepat untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa, seandainya gempa benar-benar terjadi.
Menurut Dwikorita, tindakan pencegahan dan mitigasi bencana lebih baik daripada menebak-nebak -- apalagi paranoid -- soal kapan gempa besar akan terjadi.
"Makanya perlu dicek itu mal-mal, hotel-hotel itu apakah pembangunannya sudah sesuai dengan building code bangunan tahan gempa," kata dia kepada Liputan6.com.
"Itu sebenernya yang paling urgent, kita cek. Daripada menebak-nebak gempanya kapan, jangan terjebak ke situ."
Dihubungi terpisah, ahli gempa Danny Hilman Natawidjaja mengatakan, ada dua sumber gempa yang potensial mengguncang kuat wilayah Jakarta.
"Pertama jauh (sumbernya) di Selatan Jawa sampai Selat Sunda. Walaupun jauh, magnitudonya bisa besar sekali sampai 9 SR," kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Sementara, kemungkinan kedua adalah dari darat, yang titiknya dekat sekali dengan Jakarta. "Yaitu dari patahan atau sesar Baribis," jelas Danny.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut juga memaparkan, Jakarta diduga terhubung dengan satu jalur gempa besar yang memanjang dari mulai Kota Surabaya, Semarang, Tegal, Cirebon. Kendati, kekuatannya diperkirakan tidak terlalu besar.
"Ini diperkirakan, guncangannya tidak sampai magnitudo 8, tapi dekat sekali (dengan Jakarta), malah bisa saja gempa itu lewat persis di bawah Jakarta," dia mewanti-wanti.
Soal Jakarta bertanah lunak, hal itu juga diamini Danny. Kontur seperti itu bisa mengimplikasi kekuatan getaran gempa menjadi lebih kuat lagi.
"Jadi getaran gempa datang dari sumbernya bisa diperparah dengan tanah setempat Jakarta di tanah lunak. Ini amplifikasi, Misalnya (sumbernya) 2 magnitudo tapi berimplikasi jadi 6," tutur dia.
Danny menegaskan, gempa tidak bisa diprediksi kapan akan terjadi. Sebab, siklus patahan sudah ada sejak ratusan juta tahun lalu, sehingga gempa akan selalu berulang. Inilah yang harus diwaspadai. "Lamanya siklus tersebut kadang membuat lengah dalam hal pencegahan," kata dia.
Kesimpulan: SEBAGIAN BENAR
(Jakarta memang tak akan diguncang lindu 8,7 SR. Namun efek dari gempa di lokasi lain bisa sampai ke Ibu Kota)