Liputan6.com, Jakarta - Kabar tentang dugaan kecurangan Pemilu Serentak 2019 beredar di media sosial. Tak jua berkurang pasca-pencoblosan 17 April 2019 lalu.
Misalnya saja seperti yang diberitakan situs suaramerdeka.id dengan judul artikel 'Kecurangan Itu Terstruktur Sistematis dan Masif, Opini Arief Budiman'.
Prof Arief Budiman merupakan Guru Besar dari Universitas Melbourne Australia. Dalam artikel yang menyandang namanya, dijelaskan tentang dugaan kecurangan yang terjadi pada Pemilu Serentak 2019.
Advertisement
Berikut isi artikel dalam situs suaramerdeka.id:
Kecurangan Itu Terstruktur Sistematis dan Masif. Oleh: Prof. Dr. Arief Budiman, Guru Besar Universitas Melbourne, Australia.
Tahukah anda bahwa kesalahan input pertama kali terdeteksi bahkan ketika inputan masih 1% dari jumlah TPS yang ada? Beruntun ditemukan dan awalnya hanya di akui 5 kemudian berubah menjadi 24 lalu melompat ke 101 dan terakhir berapa ratus yang diakui?.
Dan anehnya, hampir semuanya merugikan kubu Prabowo Sandi. Dari mulai memindah angka hasil perolehan, pengurangan suara Prabowo Sandi hingga penggelembungan 01 mencapai 1650. Wow bukan main.!
Namun, benarkah salah input hanya mencapai ratusan? Entah apa yang terjadi dengan program situng KPU?. Karena jelas sistem dibuat secara konyol dan keterlaluan konyolnya! Ya, anda bisa bayangkan situng seakan-akan tidak memiliki validasi penginputan.
Apa susahnya menciptakan validasi jika suara sah = hasil perolehan paslon 1 + paslon 2. Sehingga tidak ada kekonyolan inputan angka sah tidak sinkron dengan hasil perolehan paslon 1 dan paslon 2.
Apa akibat dari kesalahan ini?. Ada puluhan mungkin ratusan inputan dimana hasil suara sah berbeda dengan jumlah suara paslon 01 dan paslon 02.Apa susahnya membuat validasi bahwa dalam 1 TPS tidak mungkin diinput melebihi dari angka 300, mengingat rata-rata 1 TPS tidak lebih dari angka tersebut. Memang ada sih tapi paling tidak sampai 10 TPS dan ini dibuatkan pengecualian.
Apa akibat dari tidak ada validasi ini? Banyak inputan yang ngaco bin ngawur hingga sampai angka ribuan dan atau jumlahnya lebih dari 300 atau angka dari pemilih terdaftar di DPT. Padahal dengan validasi sederhana ini sudah bisa menyelamatkan puluhan bahkan ratusan kesalahan. Lalu kenapa tidak dilakukan?
Keanehan situng KPU tidak hanya masalah di validasi penginputan namun juga tidak ada validasi penguploadan scan C1. Dan apa yang terjadi? Ada ribuan TPS yang diupload tanpa scan C1. Lalu, darimana mereka menginput angka-angkanya? Dan bagaimana cara masyarakat membantu mensortir kesalahan input? Apakah ini disengaja, mengingat ada ribuan TPS yang tanpa upload scan C1 ?
Seandainya 3 validasi sederhana ini dilakukan mulai dari jumlah suara sah, batasan hasil perolehan per TPS dan kewajiban upload foto scan C1, maka ribuan kesalahan tersebut seharusnya bisa dihindari dan tidak perlu terjadi kebisingan nasional masalah keanehan situng KPU.
Namun situng KPU tidak sekedar salah input karena tidak adanya validasi, banyak hal yang terjadi disana. Momen per momen yang terasa aneh dan anda bisa mengkoreksi catatan kami berikut ini atau malah menambahkannya.
1. Sejak awal pengimputan sudah terjadi kesalahan. Awalnya ini ditolak tapi setelah meledak dan viral ketua KPU sempat mengancam akan mempolisikan namun setelah mendapatkan perlawan dari netizen akhirnya diakui ada kesalahan input yang terjadi meratas di semua daerah.
2. Setelah meledak salah input, ditemukan pola kesalahan lain dalam bentuk mengupload dan input milik TPS lain. Jumlahnya juga tidak sedikit. Dan netizen ribut lagi.
3. Tapi kemudian kesalahan lebih masif terjadi yaitu input tanpa upload C1. Kejadian bisa dalam 1 kecamatan atau 1 kelurahan.
Dan ini tentu saja lebih mengerikan karena terjadi masif, sementara angkanya masuk dalam tabulasi tanpa bisa di kontrol.Jika 1 kecamatan ada 500 TPS, berapa ribu TPS terinput tanpa upload scan C1? Berapa ribu inputan yang tidak pernah bisa dikontrol oleh masyarakat karena tidak ada C1nya?.
4. Setelah terjadi inputan tanpa C1, juga terjadi inputan angka tanpa isian didalam TPS sehingga ketika link TPS di klik maka yang muncul *data belum tersedia. Dan Jumlahnya? Banyak!
5. Banyak ditemukan C1 yang berbeda dengan yang dipegang oleh saksi, bahkan ada yang di coret-coret, di hapus dengan sengaja, berbeda tandatangannya, beda antara angka nomer dan tertulis dan masih banyak lagi C1 aneh lainnya. Bukankah, ini termasuk pemalsuan?. Belum lagi banyak ditemukannya upload C1 tanpa tanda tangan saksi.
6. Banyak ditemukan upload C1 yang tidak tertera alamatnya sehingga tidak bisa dikonfirmasi kebenarannya apakah C1 sesuai alamat yang terinput, mengingat banyak yang salah upload TPS dan banyak ditemukannya C1 berbeda dengan yang dipegang saksi.
7. Angka dari LN ada pengurangan ribuan suara. Info ini dari teman yang melakukan monitoring pemantauan di BPN dan mereka mengatakan bahwa suara LN di situng KPU berkurang dengan sendirinya ribuan suara. Aneh bukan? Semoga ada log admin sehingga ketahuan siapa yang mengubahnya. Jika LN berkurang seenaknya bukan tidak mungkin yang lainnya juga sama.
8. Kenapa di pemilu 2019 ini KPU begitu lambat input situng berbeda dengan 2014?.Banyak yang bilang karena petahana kalah dan ada juga yang curiga ini untuk penyesuaian di bawah mengingat banyak C1 yang tidak sama yang dimiliki oleh saksi.Namun apapun itu, yang jelas keterlambatan ini menimbulkan banyak spekulasi dan menunjukkan kurang profesionalnya pihak KPU.
9. Pergerakan grafik di angka 54-55% – 45-44% adalah nyata dan semua orang mencatatnya, tentu saja hal ini sangat aneh karena seperti disengaja agar sesuai QC. Kenapa wilayah 01 lebih banyak di input dibandingkan wilayah 02?. Apakah supaya terjaga range angka tersebut? Lalu kenapa input angka tanpa upload C1?. Agar lebih cepat atau agar tidak bisa dikoreksi dan kontrol oleh masyarakat?.10. Tiba-tiba KPU menciptakan disklaimer yang isinya adalah:Data yang ditampilkan di situng bukan merupakan hasil resmi penghitungan perolehan suara. Penetapan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara dilakukan secara berjenjang sesuai tingkatannya dalam rapat pleno terbuka.
Menjadi pertanyaan, jika situng banyak salahnya dan bukan sebuah acuan akhir kenapa tidak sebaiknya ditutup sementara agar tidak mempengaruhi banyak orang karena sudah banyak yang terpengaruh. Atau memang sengaja untuk mempengaruhi banyak orang?. Entahlah, KPU yang lebih paham.
Btw, masih ada artinya kah slogan Satu Suara Untuk Perubahan atau Jujur itu hebat jika angka-angka berubah sesuka hati dan kejujuran terasa mustahil.
Dan masih ada artinya kah lebih dari 255 nyawa anak bangsa terenggut di pemilu kali ini. Semoga pengorbanan mereka tidak sia-sia.
Â
Penelusuran Fakta
Dari penelusuran, kabar tentang Prof Arief Budiman yang membeberkan dugaan kecurangan Pemilu Serentak 2019 ternyata tidak benar.
Prof Arief sama sekali tidak pernah memberikan pernyataan tersebut dan tidak pernah diwawancarai oleh redaksi suaramerdeka.id. Fakta ini disampaikan oleh putri dari Prof Arief, Santi K Budiman.
"Berita yang diterbitkan suaramerdeka.id yang mendiskreditkan KPU yang ditulis oleh Prof. Dr Arief Budiman adalah PALSU. Kami belum pernah dihubungi atau menghubungi 'redaksi' situs ini," kata Santi K Budiman dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Selasa (7/5/2019).
Menurut Santi, ayahnya Arief Budiman sangat mendukung dan menghargai kinerja KPU sebagai penyelenggara Pemilu Serentak 2019.Â
"Berita palsu tentang KPU menghina kerja keras KPU, menghina pahlawan demokrasi yang meninggal dalam tugas serta keluarga mereka, dan menghina intelektualitas ayah saya. Meskipun masih mengikuti berita, beberapa tahun terakhir ayah saya tidak aktif menulis lagi," tutur dia.
Selain itu, Santi juga menyoroti nama situs berita yang mencatut nama ayahnya itu. Ia mengatakan bahwa situs tersebut bukan situs resmi dari koran Suara Merdeka.
"Suaramerdeka.id tidak ada hubungannya dengan koran Suara Merdeka. Situs koran Suara Merdeka yang benar adalah suaramerdeka.com," kata Santi.
Pernyataan serupa juga diunggah Santi K Budiman dalam akun facebook pribadinya pada Senin 6 Mei 2019 kemarin.
"Di hari pertama bulan Ramadhan, mari meluruskan hal-hal yang kusut," tulis Santi K. Budiman.
Â
Advertisement
Kesimpulan
Kabar tentang Prof Arief Budiman yang membeberkan adanya kecurangan pada Pemilu Serentak 2019 ternyata tidak benar alias hoaks.
Situs suaramerdeka.id sengaja mencatut nama Prof Arief Budiman dan narasi di dalam artikel tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan. Situs tersebut juga tak ada kaitannya dengan koran Suara Merdeka.
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama 49 media massa lainnya di seluruh dunia.
Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi hoax yang tersebar di masyarakat.
Jika anda memiliki informasi seputar hoax yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Advertisement