Liputan6.com, Jakarta - Sunat perempuan merupakan sebuah praktik kuno yang tak memiliki manfaat medis sama sekali. Sayangnya, hal ini masih dilakukan oleh banyak masyarakat di 30 negara di dunia. Teriakan pedih bayi dan anak perempuan bagai tak diindahkan, isak tangis mereka dinilai sebagai jalan menuju kesucian.
Hanya karena alasan tradisi, anak perempuan harus menderita dari generasi ke generasi. Padahal, alih-alih terhindar dari penyakit maupun najis, praktik ini justru memberikan banyak komplikasi bagi perempuan di kemudian hari. Tanggal 6 Februari pun akhirnya ditetapkan oleh PBB sebagai hari antisunat perempuan sedunia.
Baca Juga
Satgas Perlindungan Anak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), Eva Devita Harmoniati menjelaskan, efek samping dari sunat perempuan dimulai dari pendarahan, infeksi berulang, hingga syok berat yang bisa berujung pada kematian di beberapa kasus.
Advertisement
"Kemudian kalau misalnya pemotongan itu cukup lebar, terjadi jaringan sikatrik atau keloid. Itu bisa mengakibatkan penyempitan dari lubang vagina, dan nanti akan mengganggu ketika hubungan seksual, kemudian ketika melahirkan," tuturnya kepada Liputan6.com di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Ada 4 jenis sunat yang bisa dilakukan pada perempuan atau biasa disebut Female Genitalia Mutilation (FGM). Namun, hanya 2 jenis yang paling umum dilakukan di Indonesia, yakni tipe 1 yang memotong bagian atas klitoris, dan tipe 4 yang menggores ujung vagina.
"Tipe 1 hanya pemotongan klitoris dan sebagian labia, tipe 2 pemotongan klitoris dan labia minor, ada yang labia mayoranya juga ikut. Tipe 3 yang paling berbahaya, yang sampai hampir seluruh labia mayornya juga terpotong. Tipe 4 yang hanya perlukaan," kata Eva.
"Semua tipe ini berbahaya, tapi dampaknya tentu yang paling besar terhadap organ kewanitaan perempuan tipe 3 tadi yang pemotongan sampai habis seluruh labia minoranya," lanjutnya.
Data UNICEF 2016 mencatat, setidaknya ada 200 juta anak perempuan di dunia yang mengalami sunat perempuan. Indonesia sendiri adalah salah satu negara yang termasuk masih sering melakukan praktik ini setelah Mesir dan Ethiopia.
Aktivis Perempuan, Tunggal Pawestri menceritakan, sunat perempuan juga memberi trauma pada mereka yang menjalaninya. Ditambah dengan jarangnya bius digunakan, rasa sakit luar biasa banyak dialami para anak-anak perempuan yang disunat.
"Salah satunya di NTB, kasus yang kami temukan adalah dia umurnya udah remaja, dia masih mengingat sekali apa yang dia pernah alami. Waktu itu dia mendapatkan sunat perempuan pada saat dia berumur 6 tahun. Jadi ingatan itu masih ada di kepala," ungkap Tunggal.
"Nah yang lebih ngeri lagi, besoknya dia disuruh ke laut untuk segera membersihkan tubuhnya. Jadi dia dilukai vaginanya, lalu dia disuruh mengobati dengan cara mandi air garam. Pada saat itu dia kesakitan sangat ya, dan trauma itu masih membekas di remaja ini yang kita temui," sambung dia.
Saksikan video berikut ini:
Karena Tradisi dan Kepercayaan
Sunat perempuan kerap dipertahankan karena alasan tradisi dan agama. Banyak masyarakat percaya bahwa sunat perempuan dapat mensucikan wanita karena mengurangi hasrat seksual. Padahal, hal itu sama sekali tak benar dan tak terbukti secara medis.
Karena dilakukan dari ibu ke anak secara turun-temurun, sunat perempuan juga kerap dianggap lazim. Terkadang, orang tua bahkan meminta anaknya untuk tak lupa menyunat si cucu. Salah satunya adalah Marini, seorang warga asal Kwitang, Jakarta yang menyunat anak perempuan keduanya saat masih berumur 6 bulan.
"Dari orang tua saya juga disuruh begitu, musti wajib buat disunat. Salah satunya karena untuk biar dia lebih sehat, biar bersih, sama karena dari agama Islam juga diwajibkan untuk sunat gitu, laki-laki sama perempuan," ucapnya yakin.
"Biar dia juga nanti tahu gitu, kalau dia punya anak perempuan bisa diikutin anjuran dari orang tuanya dulu gitu," lanjut Marini.
Dia pun mengaku tak merasa atau mengalami efek samping buruk dari melakukan sunat perempuan. Sebab, dirinya juga disunat ketika masih bayi dulu oleh orang tuanya. Meski begitu, Marini mengaku hingga kini tak tahu persis surah atau hadis apa yang dimaksud dalam menganjurkan sunat perempuan.
"Waduh enggak tahu deh, enggak tahu saya surah apa-apa tidak tahu. Tapi katanya sih memang wajib sunah rasul, wajib bahwa rasul kita nyuruh begitu. Kalau hadisnya saya enggak tahu," ujar dia.
Aktivis Perempuan, Tunggal Pawestri menuturkan, tradisi turun-temurun ini cenderung awet karena masyarakat Indonesia memang terbiasa mengikuti kebiasaan yang dulu dilakukan orang tuanya. Apalagi, kurangnya edukasi pada masyarakat juga membuat mereka tak kritis dalam mencari tahu dampak sunat perempuan.
"Bagi perempuan yang tidak tahu, ketika orang tuanya meminta dia untuk menyunatkan anaknya, (mereka bilang) kamu dulu juga disunat kok. Yaudah, mungkin dia pikir itu tradisi, toh dia merasa tidak apa-apa, akhirnya dilanjutkan," sebut Tunggal.
Advertisement
Sikap Pemerintah Indonesia
Dikecam secara internasional, sunat perempuan atau FGM sudah dilarang untuk dilakukan oleh beberapa negara. Di Indonesia, regulasi yang mengatur sunat perempuan sendiri pasang surut sejak tahun 2006. Saat itu, surat Edaran dari Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes sudah melarang petugas kesehatan melakukan sunat perempuan.
Namun, di tahun 2008 Fatwa Majelis Ulama Indonesis (MUI) menetapkan bahwa sunat perempuan merupakan bagian dari syiar agama Islam dan menetapkan batas-batas sunat dalam hukum Islam.
Akibatnya, pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan menerbitkan Permenkes yang mengatur batas-batas tindakan yang dimaksud sebagai sunat perempuan dan penyelenggaraan sunat perempuan oleh tenaga kesehatan.
"Lalu di tahun 2014 Kementerian Kesehatan sudah mencabut Permenkes Tahun 2010 yang mengatur batas-batas tindakan dan penyelenggaraan sunat perempuan oleh tenaga kesehatan," sebut Satgas Perlindungan Anak IDAI, Eva Devita Harmoniati.
"Sunat perempuan sudah tak dianjurkan untuk dilakukan," dia melanjutkan.
Tetapi, pemerintah masih dinilai belum tegas dalam melarang hal ini. Sebab, belum ada sanksi bagi mereka yang melakukan prosedur sunat perempuan. Aktivis perempuan, Tunggal Pawestri menyebutkan, harusnya Indonesia bisa mencontoh negara yang sudah melarang sunat perempuan untuk dilakukan.
"Mesir itu sudah melarang sejak lama, yang baru saja melarang itu Gambia ya. Jadi negara-negara Afrika sana yang praktik sunat perempuannya sebenarnya lebih parah ya karena mereka banyak memutilasi ketimbang kita yang sebenarnya (hanya) cutting," jelas dia.
Tunggal mengatakan, upaya penghentian ini akan lebih efektif dilakukan bila melibatkan pemuka agama atau para tokoh adat. Hal ini karena mereka bisa dengan mudah meyakinkan masyarakat dalam mengubah cara pandang terhadap tradisi yang sudah lama diyakini.
"Dan kita bisa belajar kok dari mereka bagaimana menghentikan ini. Dan negara-negara Afrika itu juga yang mayoritas penduduknya beragama Islam sebenarnya," Tunggal melanjutkan.
Masyarakat Mulai Disadarkan
Semenjak dilarang pada tahun 2014, sunat perempuan pun sudah tak bisa dilakukan di rumah sakit maupun sebagian besar bidan di Indonesia. Satgas Perlindungan Anak IDAI, Eva Devita Harmoniati juga mengingatkan bahwa tak ada kurikulum pendidikan tentang cara melakukan sunat perempuan untuk dokter maupun bidan.
"Sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan karena memang bukan kompetensinya," dia menuturkan.
"Dan sekarang kita sedang mensosialisasikan kepada seluruh tenaga kesehatan agar tidak melakukannya lagi," sambung Eva.
Tetapi, karena banyak masyarakat yang masih meminta agar hal ini dilakukan, terkadang bidan mau tak mau tetap melakukan prosedur ini. Namun, lebih sering secara simbolis, alias pura-pura. Salah satunya adalah Ajeng, seorang bidan di salah satu rumah bidan di daerah Kramat, Jakarta.
"Jadi kalau misalnya ada warga yang minta sunat bayi di sini, kan itu sekalian tindik, maka kami tidak melakukannya (sunat perempuan). Jadi kalau pas sekalian tindik, kami hanya pura-pura bilang ke ibunya, Bu ini sudah disunat ya, agar dia percaya," tungkap dia.
"Atau digores ujungnya aja buat ngilangin putih-putihnya aja dengan jarum (karena diminta warga)," lanjut Ajeng.
Prosedur sunat perempuan simbolis ini seringkali dilakukan dengan menempelkan kunyit atau cairan antiseptik pada alat kelamin anak perempuan. Meski tak melukai vagina, Tunggal Pawestri mengaku tetap tak setuju dengan masih adanya pola pikir harus melakukan sunat perempuan di masyarakat.
“Dari segi prinsip ini kan sama juga, tetap anak itu kan belum punya consent dia mau diapakan tubuhnya, gitu ya. Ini sudah ada banyak sekali stigma atau sudah banyak sekali pandangan-pandangan tentang vagina perempuan, nah ini yang sebenarnya harus dibongkar. Ketabuan membicarakan ini harus dibongkar,” pungkas dia.
Advertisement