Liputan6.com, Jakarta - Tersiar kabar yang mengklaim terkuaknya serangkaian misteri virus corona baru (COVID-19).
Kabar tersebut diunggah akun Facebook Hardi Mulyadi, pada 23 Maret 2020, yang dibagikan setidaknya sebanyak 1.300 kali.
Baca Juga
Berikut klaim tersebut:
Advertisement
"Baca deh, ulasan menarik 👍🏻
Wow akhir nya terkuak misteri Covid 19 nih simak tuntas yah !
Another conspiration theory..
Bagian 1:
Oleh: Ndaru Anugerah
Apakah kita perlu panik tingkat dewa dalam menyikapi COVID-19?
Mungkin pernyataan Menkes Terawan yang menyatakan bahwa COVID-19 akan sembuh dengan sendirinya, patut dijadikan rujukan, walaupun terkesan sepele.
Kenapa?
Pertama, Terawan adalah sosok dokter, dan kedua beliau sekaligus sosok militer yang tahu pasti skenario apa yang sesungguhnya sedang dijalankan lewat panic global yang dipicu oleh munculnya COVID-19 tersebut.
Lewat tulisan ini, sebagai rasa peduli saya kepada bangsa ini, saya akan coba mengulas secara lengkap tentang COVID-19 ini dari awal hingga bagaimana kemungkinan skenario akan dikembangkan ke depannya.
Karena panjangnya informasi yang akan saya sajikan, terpaksa tulisan ini akan saya potong menjadi 2 bagian.
Pada bagian pertama saya akan mengulas tentang skenario awal dan asal muasal COVID-19. Pada tulisan kedua nanti, saya akan analisa bagaimana kemungkinan skenario akan berlanjut.
AS, Juli 2019. Seorang anak muda di Baltimore sana, tengah mengisap rokok elektrik disaat santai. Tanpa disadari, setelah menghisap beberapa kali, sang pemuda lantas tersungkur dan sesak nafas.
Begitu dilarikan ke rumah sakit, ternyata sang pemuda naas tersebut divonis telah mengalami pneumonia akut akibat mengkonsumsi rokok elektrik.
Kejadian ini cepat menyebar ke 22 negara bagian di AS dengan total kematian 193 orang. Dan penyebab kematian menurut AMA (American Medical Association) adalah aktivitas vaping dari rokok elektrik.
Namun para ilmuwan AS mengatakan bahwa kalo rokok elektrik nggak akan mengakibatkan pneumonia yang berujung kematian demikian cepat. Kemungkinan yang paling masuk akal adalah kematian itu dipicu oleh sejenis virus yang mampu menginfeksi sistem paru-paru manusia.
Dengan kata lain, virus corona-lah yang paling mungkin dituding sebagai penyebabnya.
Sebelum timbulnya pandemi tersebut di seantero Amrik, fasilitas utama bio-lab militer AS di , ditutup dengan tiba-tiba oleh CDC dengan alasan yang tidak dijelaskan.
Selidik punya selidik, salah satu karyawan CDC telah tewas akibat terserang virus Corona. Padahal Directur CDC, Robert Redfield sebelumnya mati-matian lewat keterangan pers-nya, bilang bahwa penyebab kematian staf-nya adalah flu Amerika.
Flu Amerika palalu peyang!
Dan berdasarkan data, yang ditenggarai sebagai Flu Amerika tersebut telah menyebabkan kematian sekitar 10 ribu orang di AS per Agustus 2019 yang lalu. Apakah flu Amerika disebabkan virus corona? Entahlah…
Satu yang pasti, penutupan pusat penelitian senjata biologis di Fort Detrick tersebut jelas menimbulkan kecurigaan internasional.
Kenapa proses penutupannya tanpa penjelasan? Kenapa juga semua laporan yang berkaitan dengan aktivitas di Fort Detrick dihancurkan oleh CDC tanpa sisa sedikitpun?
Apalagi, kasus pandemi akibat vaping rokok elektrik, muncul ke permukaan nggak lama setelah penutupan fasilitas bio-lab tersebut.
Tanggal 18 – 27 Oktober 2019, bertempat di Wuhan, berlangsung event internasional berjudul Conseil Intenational du Sport Militaire (CISM) alias Military Word Games. Dalam ajang olimpiade militer dunia tersebut, AS mengirimkan 200 personel militernya untuk berlomba.
Event ini berakhir, tepat 2 minggu sebelum kasus Wuhan merebak. Dan 2 minggu adalah masa inkubasi virus Corona.
Mungkinkah, US Army menyeludupkan virus tersebut ke Wuhan?
Pada saat yang bersamaan dengan ajang CISM, berlangsung event 201 yang digelar di John Hopkins Center for Health Security di kampus Institut John Hopkins yang terletak di Baltimore, Maryland AS.
Ajang 201 tersebut disokong penuh oleh Bill and Melinda Gates Foundation, Big Pharma (GAVI) dan nggak ketinggalan World Economic Forum (WEF).
Apa isi ajang tersebut?
Simulasi latihan pandemi tingkat tinggi yang diberi kode nCov-2019. Simulasi tersebut menghasilkan 65 juta total kematian di seluruh dunia dan membuat pasar keuangan internasional ambles sekitar 15%.
Anehnya, simulasinya kok pakai nama yang sama dengan nCov-2019 sebelum berganti nama menjadi COVID-19 saat ini? Apakah hanya kebetulan belaka?
Tidak lama berselang, tibalah saat yang ditunggu-tunggu.
China bersiap merayakan hari raya Imlek. Hari yang sangat penting bagi orang China, karena saat tersebut orang biasanya berbondong-bondong pulkam untuk merayakan hari raya bersama keluarga tercinta.
Sialnya, wabah Wuhan melanda dan cepat tersebar justru ditengah keramaian hiruk pikuk orang. Imlek yang seharusnya dirayakan penuh kegembiraan, menjadi gagal total. Dan China nggak lama kemudian menerapkan status lockdown sebagai langkah antisipasi.
Dan China yang tengah leading saat trade-war digelar dengan Amerika, dipaksa mundur sejenak. Menurut kaca mata intelijen, siapa yang diuntungkan dari suatu peristiwa, dialah sosok dibalik peristiwa tersebut.
Sebenarnya, darimana asal muasal COVID-19?
Kristian Andersen seorang ahli biologi evolusi dari Scripps Research Institute, telah menganalisa urutan COVID-19 untuk merunut dari mana asal virus tersebut. Berdasarkan temuannya, dari 27 turunan virus Corona, ternyata berasal dari 1 leluhur yang sama. (25/1)
Dan menurut para peneliti Jepang yang dipublikasi oleh televisi Asahi pada Februari lalu, mereka mengklaim bahwa virus Corona awalnya berasal dari AS dan bukan dari China.
“Sebanyak 14.000 kematian di AS yang katanya disebabkan oleh influenza, kemungkinan besar justru disebabkan oleh virus Corona,” begitu bunyi siaran pers-nya.
Ini jadi masuk akal, karena hanya AS lah yang memiliki induk alias ‘batang pohon’ dari semua 27 turunan virus Corona di seluruh belahan dunia. Tak terkecuali virus Corona di Wuhan, China.
Dan semua turunan itu dikembangkan di bio-lab militer AS Fort Detrick yang telah ditutup oleh CDC pada Juli 2019 lalu.
Bagaimana skenario akan dijalankan ke depannya?Saya akan ulas pada bagian kedua nanti.
Bagian 2
COVID-19: Vaksinasi dan Uang Digital
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan, saya sudah ungkapkan tentang asal muasal dan skenario panic global yang dimainkan lewat COVID-19 ini.
Skenario panic global akan memunculkan kekacauan dan juga keputusasaan. Dan menurut rumusannya, orang yang panik akan lebih mudah dimanipulasi oleh pihak yang dari awal merencanakan agendanya.
Siapa whistle blower dari panic global ini?
Tak lain adalah badan kesehatan dunia, tepatnya Tedros Adhanom Ghebreyeus sebagai Sekjen WHO saat ini. Tanpa pikir panjang, setiap negara ditekan habis-habisan dengan harapan segera menetapkan status tanggap darurat atas pandemi global COVID-19.
Siapa Tedros? Pada lain tulisan saya akan mengulasnya.
Padahal status tanggap darurat atas pandemi global COVID-19 jelas mengada-ada.
Kenapa?
Pertama, status tersebut hanya mungkin diterapkan jika dan hanya jika, tingkat kematian akibat infeksi telah mencapai angka lebih dari 12%.
Mari kita lihat datanya.
Berdasarkan data yang dirilis oleh John Hopkins University, kasus COVID-19 telah mencapai 156.112 kasus di seluruh dunia (total 141 negara), dengan 73.955 orang berhasil recover dan 5.829 orang mati (15/3). Artinya, tingkat kematiannya hanya 3,7%.
Di benua Eropa, bahkan tingkat kematiannya hanya 0,4%, dengan tingkat kematian terbesar ada di Italia yang mencapai sekitar 6,3%. Kenapa demikian banyak angka kematian di Italia? Karena Italia adalah negara kedua di Eropa yang menandatangani agreement dengan China lewat proyek BRI-nya.
Bahkan China, tempat dimana COVID-19 muncul ke permukaan, disaat peak season-nya, tingkat kematian hanya menyentuh angka 3%. Masih jauh dari angka 12%.
Dan yang kedua, para ahli biotek China dan Jepang berkali-kali mengatakan bahwa COVID-19 generasi pertama yang menghantam China dan negara-negara sekitarnya (Korea Selatan, Jepang, Hong Kong) serta korban yang terinfeksi dibelahan dunia lainnya, 99,9% merupakan genom Mongoloid.
Nah kalo China yang bergenom Mongoloid, yang awalnya disasar COVID-19 kini telah pulih, (karena mereka mengkonsumsi obat yang disebut Interferon Alpha 2B (IFNrec) yang didatangkan khusus dari Kuba), ngapain juga dunia harus panik plus pakai acara lockdown segala?
Ini artinya, status yang disematkan Tedros atas COVID-19 jelas mengada-ada alias lebay.
Apakah Tedros sebagai peniup pluit nggak punya agenda terselubung dibalik upayanya membuat situasi dunia panik? Tentu sebaliknya, Rudolfo.
Inilah yang akan saya ulas pada tulisan kedua ini.
19-25 September 2019. Bertempat di New York sebuah aliansi yang bernama ID2020 yang disponsori oleh World Economic Forum, mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi tentang Dampak Pembanguan Berkelanjutan dengan tema: “Rising to the Good ID Challenge”.
Nah hasil pertemuan tersebut kembali dimatangkan di Davos, Swiss pada Januari 2020 yang lalu.
Apa isi kesepakatan tersebut?
Mereka akan mengeluarkan platform identitas digital di seluruh dunia. Dan Bangladesh telah ditunjuk sebagai negara perintis yang akan menerapkan program tersebut pada tahun 2020 ini.
Saat WHO mengeluarkan status darurat pandemi global, apa kira-kira yang mungkin dilakukan sebagai antisipasinya? Tak lain adalah upaya vaksinasi global.
(Makanya, dalam analisa saya terdahulu, vaksin COVID-19 memang sejatinya sudah ada, tinggal dikeluarkan saja pada waktunya nanti.)
Vaksinasi global ini akan bersifat memaksa kepada semua orang karena status gawat daruratnya tadi. Kalo perlu pakai bantuan pihak berwajib atau kalo perlu militer, sekalian. Yang nggak mau divaksinasi, maka harus siap dijebloskan ke penjara atau didenda, karena telah melanggar UU darurat.
Dan kalo sudah bicara vaksinasi global, siapa yang diuntungkan secara ekonomis dengan proyek dunia tersebut? Tak lain adalah Big Pharma dan GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunisation). Siapa mereka, saya pernah mengulasnya.
Mungkin kalo kita yakin bila yang disuntikkan nanti hanya vaksin COVID-19 doang, kita bisa mahfum. Tapi kalo ada material yang lain?
Misalnya vaksin tersebut diberikan dengan tujuan terselubung yaitu untuk kontrol populasi dunia yang mulai nggak terkendali jumlahnya.
Dimasa depan, tiba-tiba muncul penyakit misterius yang bisa mengakibatkan orang-orang mati mendadak atau kejadian dimana para wanita kemudian mendadak mandul tanpa hal yang bisa dinalar akal sehat.
Kita patut curiga, mengingat Bill Gates merupakan seorang penyokong aliran kontrol over populasi.
Hal ini jadi klop saat Aliansi ID2020 merekomendasikan vaksinasi sebagai platform identitas digital.
Teknisnya?
Yang paling mungkin adalah bersamaan dengan proses vaksinasi tersebut, chip nano juga disuntikkan pada tubuh manusia. Chip nano inilah yang kelak digunakan sebagai penanda digital dengan sistem biometrik.
Tujuannya apalagi selain kontrol atas data pribadi orang diseluruh dunia. Dan yang terlebih penting adalah kontrol atas uang digital yang semuanya akan terkoneksi lewat digital ID tadi.
Jadi kalo ada orang yang berani bertindak menentang arus mainstream, maka virus dorman yang telah disuntikkan lewat vaksinasi tadi, akan diaktivasi dan orang tersebut bisa mati seketika. Atau mungkin juga rekening korannya di bank diblokir sehingga dia nggak bisa ngapa-ngapain lagi.
Jangan heran bila Dr. Tedros lewat WHO jauh-jauh hari sudah mengumandangkan seruan penggunaan uang digital sebagai pengganti uang konvensional.
“Penggunaan uang (terutama uang kertas) dapat meningkatkan penyebaran virus Corona,” begitu kurlebnya.
Sampai sini paham ya, skenario yang mungkin dijalankan ke depannya.
Makanya, saya berkepentingan untuk memberi dukungan moril buat Jokowi untuk menentang upaya WHO untuk menetapkan status gawat darurat pandemi COVID-19. Dengan menetapkan status tersebut, maka akan membuka jalan badan kesehatan dunia tersebut untuk mengobok-obok Indonesia.
Ada baiknya pakde justru menggandeng China yang sudah berhasil keluar dari jebakan batman yang dibuat oleh Amrik. Setidaknya, dengan merapat ke China, langkah antisipasinya sudah berada pada jalur yang tepat.
Hopefully, this disaster will be overcome soon.
Salam Demokrasi!!
(Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
#GenerasiMudaNU#HubbulWathonMinalIman"
Benarkah klaim terkuaknya serangkaian misteri COVID-19? Simak penelusuran Cek Fakta Liputan6.com.
Penelusuran Fakta
Cek Fakta Liputan6.com berupaya menelusuri sejumlah klaim yang disebutkan dalam unggahan tersebut.
1. Kasus Kematian Pengguna Vape di Baltimore AS
Penelusuran Liputan6.com mengarah pada artikel berjudul Five hospitalized for possible vaping-related illness in Maryland yang diunggah situs The Baltimore Sun pada 28 Agustus 2019.
Dalam artikel itu disebutkan, lima orang di Maryland dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu dua bulan karena penyakit paru-paru parah setelah menggunakan rokok elektronik, dari jumlah total hampir 200 orang di seantero Amerika Serikat.
Penyakit tersebut kali pertama dilaporkan pada akhir Juni 2019.
Apa penyebabnya?
Pada 11 Oktober 2019, situs ilmiah nature.com mengunggah artikel berjudul Scientists chase cause of mysterious vaping illness as death toll rises.
Dalam artikel disebutkan, pada saat itu, penyakit paru-paru parah menyebabkan 1.300 pengguna vape di Amerika Serikat sakit, 26 di antaranya meninggal dunia, termasuk yang masih muda.
Berdasarkan makalah yang dipublikasikan ahli patologi paru di Mayo Clinic, Brandon Larsen dan para koleganya di Journal of Medicine pada 2 Oktober 2019 menemukan, beberapa pasien mengirup kartrid berisi tetrahydrocannabinol (THC), bahan aktif dalam ganja, yang diencerkan dengan minyak kimiawi.
Namun, Larsen dan koleganya tidak menemukan tetesan lipid yang substansial dalam sampel yang mereka ambil dari 17 pasien.
Apakah ada kaitan antara kasus kematian para pengguna vape dengan COVID-19?
Sejauh ini belum ada bukti kaitan antara penyakit berkaitan dengan vape tersebut dengan COVID-19 yang kini sedang mewabah.
2. Penutupan Laboratorium Fort Detrick dan Flu Amerika
Mengapa laboratorium Fort Detrick ditutup? Dalam artikel berjudul Deadly Germ Research Is Shut Down at Army Lab Over Safety Concerns yang dimuat The New York Times pada 5 Agustus 2019 menyebut, pusat penelitian kuman terkemuka yang dikelola militer Amerika Serikat ditutup akibat masalah keamanan.
Dalam artikel disebutkan, Army Medical Research Institute of Infectious Diseases di Fort Detrick meneliti kuman mematikan, termasuk Ebola.
Pernyataan Badan Pengendali dan Pencegahan Penyakit AS atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebut bahwa alasan utama penutupan adalah pusat penelitian itu dianggap tidak memiliki sistem yang memadai untuk mendekontaminasi limbah dari laboratorium dengan keamanan tertinggi tersebut.
Namun, juru bicara fasilitas di Fort Detrick menyebut, tidak ada ancaman kesehatan bagi masyarakat, tak ada karyawan yang cedera, dan tak ada kebocoran bahan berbahaya di luar laboratorium.
Seperti dimuat dalam artikel CDC Lifts Shutdown Order on Army Biolabs at Fort Detrick yang dimuat situs www.military.com pada 1 April 2020, CDC memulihkan fasilitas laboratorium tersebut untuk melawan pandemi COVID-19.
Sementara, dalam artikel berjudul US urged to explain military lab shutdown yang dimuat www.globaltimes.cn dilaporkan warganet dan ahli meminta pemerintah AS untuk merilis informasi tentang penutupan laboratorium di Fort Detrick terkait konspirasi soal asal-usul virus pemicu COVID-19.
Apa kaitan Fort Detrick dengan COVID-19? Belum ada bukti yang mendukung klaim itu.
3. 'Flu Amerika'
Pada 13 Desember 2019, CNN memuat artikel berjudul There have been at least 1,300 flu deaths in the US so far this season, CDC estimates.
Dalam artikel tersebut diungkap, menurut estimasi awal CDC, setidaknya ada 1.300 orang meninggal saat itu. Setidaknya ada 2,6 juta kasus flu dan 23.000 pasien yang dirawat di rumah sakit terkait flu musiman.
Flu musiman dan COVID-19 sama-sama menyebabkan penyakit pernapasan, demam, dan batuk. Flu musiman, seperti dikutip dari CNN, kebanyakan disebabkan virus influenza B/Victoria.
Seperti dikutip dari situs cdc.gov, CDC mengestimasi ada 39 juta hingga 56 juta kasus flu musiman, 18 juta hingga 26 juta kunjungan ke RS, 410 ribu hingga 740 ribu kasus rawat inap akibat flu, dan 24 ribu - 62 ribu kematian.
Menurut CDC, di Amerika Serikat, musim flu terjadi pada musim gugur dan musim dingin. Sementara virus influenza beredar sepanjang tahun, sebagian besar waktu aktivitas flu memuncak antara Desember dan Februari, tetapi aktivitas dapat berlangsung hingga akhir Mei.
Kaitan flu musiman dengan COVID-19?
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pernah memicu polemik gara menyamakan flu dengan COVID-19.
Dalam artikel berjudul Here’s Why Trump Is Wrong To Compare The Coronavirus To The Flu And Auto Accidents yang diunggah huffpost.com disebutkan menurut ahli, COVID-19 bukan flu biasa.
Beda kelas. Tingkat kematian yang disebabkannya lebih tinggi dari flu. Dan lebih menular. Apalagi, hingga saat ini tidak ada obat atau vaksin untuk COVID-19.
Tingkat kematian akibat flu di AS sekitar 0,1 persen.
Advertisement
Patient Zero hingga Bill Gates
4. Patient Zero Covid 19 dari AS?
Situs berita China Global Times mempublikasikan klaim yang menyebut anggota militer AS sekaligus pebalap sepeda adalah 'patient zero' COVID-19.
Pesepeda itu bernama Maatje Benassi, yang berpartisipasi dalam World Military Games di Wuhan pada Oktober 2019.
Artikel berjudul China claims US cyclist was COVID-19 patient zero, virus manufactured in US military lab yang dimuat www.ibtimes.sg mengungkapkan, dugaan asal virus dari AS diungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian di Twitternya.
Some #influenza deaths were actually infected with #COVID-19, Robert Redfield from US #CDC admitted at the House of Representatives. US reported 34 million cases of influenza and 20,000 deaths. Please tell us how many are related to COVID-19? @CDCDirector pic.twitter.com/vYNZRFPWo3
— Lijian Zhao 赵立坚 (@zlj517) March 12, 2020
Hingga hari ini belum ada bukti kuat yang mendukung klaim bahwa pesepeda dari AS adalah 'patient zero' COVID-19.
Mengapa mengetahui pasien pertama penyakit yang mewabah itu sangat penting? Simak selengkapnya di artikel ini: Siapa Patient Zero, Kunci Menguak Misteri Corona COVID-19?
5. Simulasi berkode nCov-2019?
Dalam klaim disebutkan simulasi itu didukung John Hopkins Center for Health Security, Bill and Melinda Gates Foundation, Big Pharma (GAVI) dan World Economic Forum (WEF).
Klaim soal simulasi tersebut pernah dibantah dalam artikel berjudul Cek Fakta: Ilmuwan Memprediksi Virus Corona 2019-nCoV Bisa Membunuh 65 Juta Manusia? yang dimuat Liputan6.com.
Dalam artikel tersebut diungkap, simulasi itu dilakukan ilmuwan dilakukan dalam ajang Event 201, yang digelar Johns Hopkins Center for Health Security bekerja sama dengan World Economic Forum dan Bill and Melinda Gates Foundation.
Ajang tersebut digelar pada 18 Oktober 2019 di New York. "Simulasi mengilustrasikan area di mana kerja sama publik dan sektor privat dibutuhkan dalam merespon pandemi yang parah untuk mengurangi dampak ekonomi dan sosial yang diakibatkannya," demikian penjelasan terkait Event 201 dalam situs resminya.
Pihak Johns Hopkins Center for Health Security mengungkapkan, skenario dalam simulasi menggunakan model fiksi pandemi virus corona. "Kami secara eksplisit menyatakan bahwa itu bukanlah prediksi," demikian kutipan pernyataan terebut.
Simulasi tersebut tantangan kesiapsiagaan dan respons yang kemungkinan akan muncul di tengah pandemi yang sangat parah.
"Kami tidak memprediksi bahwa wabah nCoV-2019 akan membunuh 65 juta orang. "Meskipun dalam simulasi kami menggunakan virus corona tiruan, input yang kami gunakan dalam permodelan dampak potensial dari virus fiksi itu tidak mirip dengan nCoV-2019."
Tidak benar simulasi itu berkode nCoV-2019.
6. Kriteria Pandemi Global: Angka Kematian di Atas 12 Persen?
Dalam artikel berjudul Coronavirus is officially a pandemic. Here's why that matters. yang dimuat situs sains LiveScience dijelaskan, pandemi, menurut definisi klasiknya, adalah epidemi yang melintasi batas internasional dan memengaruhi sejumlah besar orang di dunia.
"Ini soal geografi," kata Lauren Sauer assistant professor kedokteran darurat dan direktur operasi Johns Hopkins Office of Critical Event Preparedness and Response. "Bukan perkara tingkat keparahan, bukan tentang jumlah kasus tinggi versus rendah."
Hal itu senada dengan buletin berjudul The classical definition of a pandemic is not elusive yang dimuat situs WHO.
Tak ada kriteria 12 persen tingkat kematian yang disebut di sana.
7. COVID-19 Terkait Ras?
Klaim dalam akun Facebook Hardi Mulyadi menyebut, pasien di China dan sekitarnya, juga di belahan dunia lainnya, 99,9% merupakan genom Mongoloid.
Apakah COVID-19 terkait dengan ras? Jawabannya, tidak.
Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) dalam unggahan berjudul Stop the Spread of Rumors membantah kaitan ras dengan COVID-19.
"Penyakit bisa membuat seseorang sakit, tak peduli apa ras dan etnisitasnya."
Interferon Alpha 2B hingga Uang Digital
8. Pasien COVID-19 di China Pulih karena Interferon Alpha 2B?
Seperti dikutip dalam artikel berjudul CUBA USES 'WONDER DRUG' TO FIGHT CORONAVIRUS AROUND WORLD DESPITE U.S. SANCTIONS yang dimuat www.newsweek.com pada 24 Maret 2020, Interferon Alpha-2B Recombinant (IFNrec) dikembangkan bersama oleh para ilmuwan dari Kuba dan China.
Helen Yaffe, penulis We Are Cuba! menyebut, ada 15 negara yang mengontak Kuba untuk mendapatkan obat tersebut. "Interferon Alpha-2B Recombinant belum mendapat persetujuan digunakan untuk mengobati COVID-19, tetapi telah terbukti efektif terhadap virus yang serupa dengannya," kata dia.
Interferon Alpha-2B Recombinant dan 30 obat lainnya masuk daftar Komisi Kesehatan Nasional China, yang dipakai untuk mengatasi COVID-19.
Namun, tidak ada bukti kesembuhan para pasien di Tiongkok karena mengonsumsi obat itu.
9. Peneliti Jepang Sebut Virus Corona dari Amerika?
Dalam klaim disebutkan menurut para peneliti Jepang yang dipublikasi oleh televisi Asahi, virus corona awalnya berasal dari AS, bukan dari China.
Hasil penelusuran mengarah pada artikel berjudul Japanese TV report sparks speculations in China that COVID-19 may have originated in US yang dimuat situs en.people.cn.
Dalam artikel itu disebutkan, laporan dari stasiun televisi Jepang yang mencurigai 14.000 warga AS yang meninggal akibat influenza mungkin telah kontak dengan virus corona. Kabar itu viral di media sosial China dan memicu spekulasi bahwa pemicu COVID-19 itu berasal dari Amerika.
"Laporan, oleh TV Asahi Corporation of Japan, mengarahkan bahwa pemerintah AS mungkin gagal memahami betapa menyebarnya virus itu di tanah AS," demikian cuplikan artikel tersebut.
Dugaan yang kemudian memicu spekulasi di China berasal dari laporan TV Jepang, bukan kesimpulan para peneliti.
10. Asal-usul COVID-19 menurut Kristian Andersen
Nama Kristian Andersen, seorang ahli biologi evolusi dari Scripps Research Institute, disebut dalam klaim terkait asal-usul virus corona.
Hasil penelitian Kristian Andersen bisa dilihat dalam artikel berjudul, Ilmuwan: Virus Corona COVID-19 Berasal dari Alam, Bukan Buatan Manusia yang dimuat Liputan6.com.
Dalam artikel itu disebut, hasil analisis data publik terkait sekuens atau urutan genom (genome sequence) dari SARS-CoV-2 (pemicu COVID-19) dan virus terkait tidak ditemukan bukti bahwa virus tersebut diciptakan di laboratorium.
"Dengan membandingkan data sekuens genom yang tersedia untuk strain coronavirus yang telah diketahui, kami meyakini bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses yang alami," kata Kristian Andersen PhD, associate professor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research, yang menjadi salah satu penulis laporan studi tersebut.
11. ID2020 Terkait Plot Vaksinasi COVID-19?
Klaim yang diunggah mengaitkan ID2020 dengan plot vaksinasi COVID-19. Aliansi ID2020 disebut menggelar KTT bertema Rising to the Good ID Challenge yang disponsori World Economic Forum.
Apa itu ID2020?
Penelusuran dengan kata kunci ID2020 mengarah ke situs id2020.org.
Dalam keterangan di situs itu disebut, ID2020 mengkoordinasikan pendanaan untuk identitas digital dalam rangkamenyalurkan dana tersebut ke proyek-proyek berdampak luas, memungkinkan beragam pemangku kepentingan seperti badan-badan PBB, LSM, pemerintah, dan perusahaan, mencapai pendekatan yang terkoordinasi yang menciptakan jalur untuk implementasi yang efisien dan bertanggung jawab pada skala besar.
Lantas apa kaitannya dengan vaksinasi dan COVID-19?
Penelusuran lebih lanjut mengarah ke artikel berjudul, How a tech NGO got sucked into a COVID-19 conspiracy theory yang dimuat situs www.thenewhumanitarian.org.
Dakota Gruener, CEO ID2020 yang bermarkas di New York mengatakan, gara-gara isu yang beredar, lembaganya yang mengadvokasi ID atau identitas digital untuk miliaran orang tidak berdokumen di seluruh dunia dan kelompok yang kurang terlayani seperti pengungsi, menjadi subjek ribuan postingan bernada bermusuhan. Mereka pun sampai merasa perlu menghubungi FBI.
Bagaimana duduk perkaranya?
Pada 23 Oktober 2019, Alex Jones dari situs teori konspirasi InfoWars menyebut proyek percontohan terkait ID2020 berupaya menanam chip atau kepingan ke para tuna wisma di Texas.
Monolog Jones merujuk pada siaran pers yang dikeluarkan September, di mana ID2020 mengumumkan kerja samanya dengan aliansi vaksin Gavi terkait catatan imunisasi di Bangladesh. Proyek di Texas juga disebutkan di sana.
Di Bangladesh, pemerintah mengumumkan akan membuat database imunisasi anak-anak yang terkait dengan informasi biometrik orangtua mereka, kemungkinan besar sidik jari digital.
Menurut Gruener, rumor yang bermula dari Alex Jones sebenarnya sudah mereda pada Oktober lalu, namun belakangan kembali menyeruak, lebih kuat, di tengah banjir hoaks terkait COVID-19.
12. Kaitan COVID-19 dan Uang Digital?
Kaitan COVID dan uang digital juga disebut dalam klaim. Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom dilaporkan menyebut soal potensi uang menjadi medium penyebaran virus pemicu COVID-19 disoal. Itu dikaitkan dengan plot mengganti uang konvensional dengan uang digital.
Kabar bahwa WHO menyebut uang tunai yang kotor bisa menyebarkan virus corona pemicu COVID-19 dimuat dalam artikel berjudul Dirty banknotes may be spreading the coronavirus, WHO suggests yang dimuat The Telegraph pada 2 Maret 2020.
"Uang kertas mungkin menyebarkan virus corona baru sehingga orang disarankan mencoba menggunakan pembayaran tanpa kontak, kata WHO," demikian seperti dikutip dalam artikel itu.
Belakangan, kabar itu diluruskan WHO.
Dalam artikel berjudul World Health Organization: ‘We did NOT say that cash was transmitting coronavirus’ yang dimuat www.marketwatch.com disebutkan bahwa juru bicara WHO mengatakan, pernyataan pihaknya disalahartikan.
"Kami tidak mengatakan uang tunai mentransmisikan virus corona," kata juru bicara WHO Fadela Chaib kepada MarketWatch.
Ia menambahkan, saat ditanya apakah uang kertas dapat menularkan COVID-19, WHO tidak membenarkannya.
"Kami mengatakan, Anda harus mencuci tangan setelah memegang uang, terutama jika memegang makanan atau sebelum makan," kata dia.
Penggunaan pembayaran digital memang marak di tengah wabah COVID-19, salah satunya disarankan Monetary Authority of Singapore. Alasannya untuk mendukung penerapan jarak yang aman (safe distancing measures). Namun, mengaitkan pernyataan WHO -- yang belakangan diluruskan -- dengan plot mengganti mata uang konvensional dengan uang digital sama sekali tak berdasar.
Advertisement
Kesimpulan
Ada banyak klaim yang dilontarkan dalam unggahan akun Facebook Hardi Mulyadi, Cek Fakta Liputan6.com memverifikasi 12 di antaranya. Hasilnya, tak ada satu pun dari klaim itu yang didukung bukti kuat.
Dalam sudut pandang cek fakta pembuktian adalah yang utama. Tak ada bukti kuat berarti bukan fakta yang layak dipercaya.
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama puluhan media massa lainnya di seluruh dunia.
Cek Fakta Liputan6.com juga adalah mitra Facebook untuk memberantas hoaks, fake news, atau disinformasi yang beredar di platform media sosial itu.
Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi yang tersebar di masyarakat.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Advertisement