Liputan6.com, Jakarta - Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Slamet Uliandi menjelaskan bahwa pihaknya sudah memberikan 12 kali peringatan melalui direct message (pesan langsung) ke akun-akun media sosial yang diduga menyebarkan informasi palsu atau hoaks.
Upaya peringatan virtual itu merupakan bagian dari sistem kerja Virtual Police dalam menangani kasus pelanggaran UU ITE.
"24 Februari 2021, dikirimkan melalui DM (direct message) sebanyak 12 peringatan virtual police kepada akun medsos. Kami sudah mulai jalan," kata Slamet seperti dilansir dari Antara, Rabu (25/2/2021).
Advertisement
Dia menuturkan, hal ini dalam rangka menindaklanjuti Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo bernomor: SE/2/11/2021 Tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif.
Dalam SE itu, Kapolri meminta agar penanganan kasus pelanggaran UU ITE lebih mengedepankan upaya restorative justice.
Slamet menambahkan bahwa setiap hari pihaknya melakukan patroli siber untuk mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan.
Sebelum memberikan peringatan secara virtual, Polri akan meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE. Dengan demikian, peringatan virtual dilakukan atas pendapat ahli, bukan pendapat subjektif penyidik Polri.
Pesan peringatan itu dikirimkan dua kali ke warganet yang diduga mengunggah konten hoaks maupun ujaran kebencian. Tujuannya, dalam waktu 1x24 jam, konten tersebut dihapus oleh si pengunggah.
Jika unggahan di medsos tersebut tidak juga dihapus oleh pengunggah/ pemilik akun, penyidik akan kembali memberikan peringatan virtual. Jika peringatan kedua tetap tidak dipatuhi, maka pengunggah/ pemilik akun akan dipanggil untuk dimintai klarifikasi.
Menurut Slamet, penindakan adalah langkah terakhir penanganan kasus pelanggaran UU ITE.
"Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses. Pertama, edukasi, kemudian peringatan virtual, setelah dilakukan peringatan virtual, kami lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice, baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum, melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice sehingga tercipta ruang siber yang bersih, sehat, beretika dan produktif," kata Slamet.
Tindak pidana yang bisa diselesaikan dengan restoratif justice meliputi kasus pencemaran nama baik, fitnah, dan penghinaan. Selain itu pelaku juga tidak ditahan karena restoratif justice mengedepankan keadilan dan keseimbangan antara pelaku dan korbannya.
Slamet menambahkan bahwa Polri tidak akan menindak seseorang yang mengkritik pemerintah yang menyampaikan kritik secara santun dan beradab. Namun bila kritik disampaikan dengan menambahkan ujaran kebencian dan hoaks, maka akan ditindak hukum.
"Kritik itu sah-sah saja, namun ujaran kebencian, fitnah dan kebohongan itu yang tidak baik," imbuh Slamet.