Sukses

Rendahnya Literasi Jadi Penyebab Hoaks Beredar Luas di India

Selama pandemi virus corona Covid-19, berita yang kredibel sering kali tenggelam oleh informasi yang tidak terverifikasi dan hoaks.

Liputan6.com, Jakarta - Pemeriksa fakta di India mengalami kesulitan menghentikan penyebaran informasi yang salah atau hoaks di media sosial. Rendahnya literasi media dan bias budaya jadi penyebab maraknya hoaks di negara tersebut.

Pada musim panas 2018, rumor mulai beredar di grup WhatsApp tentang geng penculik yang beroperasi di negara bagian Maharashtra, India barat.

Desas-desus itu akhirnya mengilhami massa membunuh lima pekerja migran yang dicurigai sebagai penculik setelah mereka tiba di sebuah desa, distrik Dhule.

Sejak itu, masalah penyebaran berita palsu atau hoaks di India terus berkembang. Lebih dari 400 juta orang India sekarang menggunakan internet, tetapi regulasi literasi digital dan media sosial masih jauh dari harapan.

"Orang-orang mendapatkan teknologi murah berbasis internet di ponsel cerdas mereka, tetapi mereka tidak memiliki pendidikan yang diperlukan tentang cara menilai kebenaran klaim yang dibuat dalam pesan," kata Rajneil Kamath, pengecekan fakta di NewscheckerIn, dilansir dari dw.com, (7/3/2021).

"Kadang-kadang mereka tertipu oleh skema pekerjaan palsu atau skema isi ulang ponsel palsu melalui pesan yang diteruskan yang mereka terima," sambung Kamath.

Baru-baru ini selama pandemi virus corona Covid-19, berita yang kredibel sering kali tenggelam oleh informasi yang tidak terverifikasi dan hoaks. Kesalahan informasi terkait pengobatan palsu dan teori konspirasi menyebabkan kepanikan, kecemasan, dan ketakutan.

"Gelombang pertama misinformasi Covid-19 di India berkisar pada asal, penyebab, penyebaran, dan pengobatan virus. Kemudian dengan cepat diubah menjadi propaganda dan disinformasi," kata Shalini Joshi, direktur program di Meedan, sebuah perusahaan perangkat lunak pengecekan fakta.

"Kami menganggap ini sebagai 'misinfodemik', atau penyebaran penyakit yang disebabkan oleh informasi yang salah akibat virus," kata Joshi kepada DW.

Meskipun ada beberapa organisasi pemeriksa fakta, upaya mereka sering kali terbebani oleh banyaknya jumlah berita palsu yang beredar.

"Pengecekan fakta membutuhkan waktu dan upaya jurnalistik, sedangkan pembuatan informasi yang salah membutuhkan waktu yang sangat sedikit," kata Nikhil Pahwa, seorang aktivis hak digital dan pendiri portal berita MediaNama.

"Misinformasi bergantung pada daya tarik bias yang melekat pada penerima dan emosi mereka. Pengecekan fakta sering kali menghilangkan emosi dan tidak mendapatkan visibilitas yang memadai karena kurangnya viralitas yang melekat," dia menambahkan. 

"Di WhatsApp, ada jaringan yang mapan untuk berbagi informasi yang salah, sementara tidak ada jaringan untuk berbagi fakta yang diperiksa," katanya lagi.

 

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

 

Saksikan video pilihan berikut ini: