Liputan6.com, Jakarta - Bicara mengenai kontrol penyebaran misinformasi di platform media sosial, topik penting mengenai sensor dan kebebasan berbicara menjadi tema yang dikaitkan. Sebab, keduanya tak luput dari bebasnya akses terhadap konten di internet.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, David McAdams, Ekonom Duke University; Matthew Jackson, Ekonom Stanford University; dan Suraj Malladi, Ekonom Cornell University, menjelajahi cara-cara untuk meningkatkan kualitas informasi yang dibagikan di jaringan.
Baca Juga
Model yang disarankan adalah dengan mengurangi penyebaran informasi palsu, menetapkan batasan seberapa luas pesan dapat dibagikan di suatu jaringan, dan melakukan cara yang tidak terlalu membatasi pengguna.
Advertisement
“Kami menunjukkan batasan suatu konten dapat diteruskan atau jumlah orang lain yang dapat menerima pesan dapat meningkatkan angka informasi yang benar dibandingkan yang salah, terlepas dari apakah pesan dikirim secara sengaja atau tidak sengaja,” jelas McAdams, dilansir dari today.duke.edu
“Sebagai contoh, Twitter dapat membatasi luasnya fitur berbagi dengan pembatasan orang yang melihat retweet di timeline seseorang,” tambahnya.
Baik Facebook maupun Whatsapp, keduanya sama-sama dibawah naungan Meta yang mengizinkan pengguna untuk saling membalas pesan, telah menggunakan metode serupa dengan model peneliti dalam membatasi penyebaran misinformasi.
Di tahun 2020, Facebook telah mengumumkan pembatasan seberapa banyak orang atau grup dapat mem-forward pesan untuk memerangi informasi yang salah mengenai Covid-19 dan pemilu. Pada awal tahun WhatsApp juga menggunakan metode yang serupa, melarang lebih dari dua miliar penggunanya untuk mengirimkan pesan kepada lebih dari 5 orang sekaligus.
Menurut McAdams, pendekatan ini tidak dapat menghapus misinformasi, tapi setidaknya metode ini dapat mengurangi tingkat keparahan isu sampai solusi lain dapat dikembangkan untuk mengatasi inti masalah.
“Ketika misinformasi menyebar melalui situs jejaring sosial, hal tersebut dapat menyebabkan masalah. Hal tersebut dikarenakan beberapa orang dapat mempercayai hal yang salah dan menyebarkannya ke pihak lain,” ucap McAdams.
Hani Safanja/UPN Veteran Jakarta
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi patner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.
Advertisement