Liputan6.com, Jakarta - Pandemi terakhir yang dirasakan sebelum covid-19 adalah pada tahun 2009. Saat itu flu babi yang berasal dari Meksiko menyebar ke seluruh dunia dan diputuskan menjadi pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Baca Juga
Advertisement
Satu hal yang menjadi pembeda antara pandemi covid-19 dengan pandemi-pandemi sebelumnya adalah munculnya hoaks atau berita palsu terkait penyakit ini. Hal ini tentu bisa dimaklumi mengingat era media sosial dan kemajuan teknologi informasi yang cukup pesat di masyarakat.
Jumlah kasus pandemi flu babi diperkirakan mencapai 60,8 juta kasus. Sementara jumlah korban meninggal dunia mencapai 151 ribu hingga 574 ribu jiwa.
Namun saat itu perkembangan dunia maya maupun media sosial tidaklah sepesat saat ini. Tidak banyak hoaks maupun berita palsu terkait pandemi flu babi yang menyebar di masyarakat.
Maklum, masyarakat saat itu hanya mengandalkan media massa tradisional seperti televisi, media massa, radio untuk mendapatkan informasi. Penanganan pandemi juga jauh lebih mudah karena setiap imbauan dan arahan dari Pemerintah maupun sumber informasi resmi nyaris tidak ada bantahan maupun sikap apatis dari masyarakat.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam Munich Security Conference di Munich pada 15 Februari 2020 sudah menyampaikan kekhawatirannya terkait banyaknya hoaks dan berita palsu yang muncul terkait covid-19 bahkan yang saat itu belum ditetapkan sebagai pandemi.
"We’re not just fighting an epidemic, we’re fighting an infodemic," ujarnya. Atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti "Kita tidak hanya berperang melawan epidemik, kita juga berperang melawan infodemik."
Di website resmi WHO, WHO.int, mereka mendeskripsikan infodemik sebagai informasi yang terlalu banyak termasuk informasi palsu atau menyesatkan di lingkungan digital dan fisik selama wabah penyakit.
Infodemik disebutkan menyebabkan kebingungan dan berisiko membahayakan kesehatan. Serta dapat menyebabkan ketidakpercayaan pada otoritas kesehatan dan merusak respons kesehatan masyarakat.
Bahkan WHO menyebut infodemik bisa memperpanjang wabah karena membuat orang tidak yakin dengan apa yang harus dilakukan untuk melindungi kesehatan mereka dan orang-orang di sekitarnya.
Â
Â
Data Cek Fakta Liputan6.com
Dua tahun sejak ditetapkan pandemi, hoaks terkait covid-19 masih saja beredar. Menurut data dari Cek Fakta Liputan6.com, jumlah konten hoaks yang dilaporkan ke Facebook dari Januari 2022 hingga September 2022 mencapai 578 konten.
Tema yang dibuat oleh para pembuat hoaks pun beragam mulai dari obat, varian, hingga vaksin covid-19. Namun data dari Cek Fakta Liputan6.com mengungkap bahwa hoaks terkait varian baru Omicron mencapai 60 kali atau yang tertinggi sepanjang tahun 2022 ini.
Selain itu konten hoaks yang terbanyak selanjutnya adalah seputar penyuntikan vaksin yakni 46 kali. Lalu diikuti terkait klaim yang menyebut vaksin covid-19 menyebabkan kematian (38 kali), klaim yang menyangkal keberadaan penyakit atau pandemi (37 kali) dan klaim kebijakan pemerintah terkait pandemi covid-19 mencapai 23 kali.
Khusus soal vaksin covid-19, hoaks didominasi oleh efek samping serius dari vaksin covid-19 seperti penyakit jantung, pembekuan darah, hingga kematian. Bahkan isu ini juga berhubungan dengan efek samping yang tidak masuk akal seperti adanya chip untuk melacak seseorang atau seseorang berubah menjadi zombie setelah divaksin.
Advertisement
Tanggapan Ahli
"Tentu banyaknya hoaks yang beredar selama pandemi covid-19 membuat saya dan juga tenaga medis lain sedih dan prihatin. Itu artinya masih banyak masyarakat kita yang belum baik literasinya, masih belum siap menerima banjirnya informasi dan belum bisa memilah dan memilih informasi yang benar," ujar dr. RA Adaninggar SpPD yang juga edukator covid-19 saat dihubungi Cek Fakta Liputan6.com.
dr. Ning, menyebut, hoaks terkait obat muncul karena mindset masyarakat kita lebih fokus mengobati daripada mencegah jadi semua hoaks terkait obat mudah menyebar tanpa disaring terlebih dulu.
"Sementara soal varian di satu sisi menarik ya karena masyarakat memperhatikan hal sains yang dulu enggak pernah diperhatikan tapi sayangnya karena mungkin enggak banyak ahli yang memberi informasi detil mengenai varian ini jadi rawan jadi salah informasinya," katanya.
Dokter yang menyampaikan edukasinya melalui Instagram ini juga kerap mendapat pertanyaan dari masyarakat terkait isu hoaks yang sering muncul, utamanya terkait covid-19.
"Tentu akan sangat mengganggu penanganan pandemi jika hoaks terkait efek vaksin dibiarkan. Apalagi efek vaksin ini kan sifatnya pengalaman individu dan bisa memicu hoaks jika dibesar- besarkan," ujarnya.
"Selain itu banyak sekali hoaks yang ditanyakan pada saya, dan yang paling tidak masuk akal salah satunya terkait vaksin yang diisi chip," katanya menegaskan.
Data dari Cek Fakta Liputan6.com dari Januari hingga September 2022 menunjukkan artikel yang membantah soal vaksin covid-19 menjadi yang terbanyak yakni 60 persen.
Itu sebabnya selain artikel, Cek Fakta Liputan6.com juga membuat sejumlah video, infografis, virtual class hingga buku komik untuk melawan hoaks seputar pandemi covid-19.
"Selama pandemi covid-19, Liputan6.com adalah salah satu media yang konsisten edukasi melawan hoaks dengan sumber informasi yang selalu disaring juga sesuai kompetensi, tidak asal. Tentu saya apresiasi karena tidak semua media berpihak pada sains malah lebih banyak media yang justru bersifat kontraproduktif demi keuntungan pribadi," ujarnya menambahkan.
Sementara Dosen Jurnalisme Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainuddin Muda Z Monggilo menilai, penyebaran hoaks saat pandemi COVID-19 salah satunya disebabkan belum meratanya pengetahuan dan keterampilan sebagian masyarakat, terutama untuk memeriksa kebenaran informasi yang diterima dari platform media sosial.
"Hoaks (termasuk hoaks covid-19) banyak berseliweran. Apalagi jika didasarkan pada status literasi digital Indonesia 2021 yang dirilis oleh Kominfo dan Katadata Insight Center, khususnya aspek informasi dan literasi data serta kemampuan berpikir kritis (digital skills) masyarakat masih di posisi yang sedang (skala 3,44/4,00)," kata Zainuddin kepada Liputan6.com, Rabu (12/10/2022).
Menurut Zainuddin, hoaks kerap kali mengikuti isu yang tengah ramai jadi sorotan masyarkat, termasuk isu covid-19. Namun, katanya, muncul kekhawatirkan jika hoaks turunan dari isu krusial ini tidak diklarifikasi. Â
Abai Protokol Kesehatan
Misalnya ketika angka positif covid-19 menurun, namun masyarakat justru mengabaikan protokol kesehatan. Padahal, pemerintah belum mencabut status pandemi covid-19.
"Bisa saja menimbulkan kesimpangsiuran dan blunder, seperti status negara yang akan bebas atau belum dari covid-19, seperti negara-negara lain, dan kasus mengendornya prokes masyarakat karena terbuai rasa dari data laju kenaikan covid-19 yang cenderung stabil dan bisa ditekan. Ditambah lagi dengan kabar-kabur terkait isu Pemilu Serentak 2024 yang sudah mulai menggeliat dan isu ancaman resesi ekonomi global yang memanas, nyatanya ikut memecah fokus terkait kewaspadaan terhadap covid-19 ini," tutur Zainuddin.
Di sisi lain, Zainuddin bersyukur upaya perlawanan terhadap hoaks covid-19 melalui berbagai program literasi yang dilakukan menunjukkan hasil positif.Â
Menurut Zainuddin, hal ini tak lepas dari peran pemerintah dan media massa yang dapat memanfaatkan momentum melakukan sanggahan dan klarifikasi atas hoaks yang sedang viral.Â
"Tetapi sisi buruknya, media bisa saja terjebak pada pusaran hoaks yang lagi viral tersebut karena tidak diikuti dengan disiplin verification and check-worthiness (salah satunya urgensi dan dampak) dari suatu isu yang semestinya segera disanggah dan atau dikesampingkan atau dicek kemudian," Zainuddin menambahkan.
Kebijakan Pemerintah Picu Hoaks?
Pada awal pandemi, belum banyak yang diketahui soal covid-19. Itu sebabnya sejumlah kebijakan Pemerintah kerap berubah-ubah, seperti aturan pemakaian masker, pembatasan masyarakat, hingga soal vaksin booster.
Kebijakan Pemerintah yang kerap bergonta-ganti pun dimanfaatkan sejumlah oknum untuk membuat hoaks. Tak sedikit hoaks itu yang menyerang Pemerintah dan menimbulkan kerugian dalam usaha penanganan pandemi.
Kondisi masyarakat sendiri masih sedikit terbelah imbas Pilkada 2017 dan Pemilu 2019. Banyak yang sangsi atas kebijakan Pemerintah dalam penanganan pandemi covid-19.
"Tidak dimungkiri bahwa polarisasi menyebabkan echo chamber (ruang gema) semakin menguat sehingga apa pun upaya (program dan kebijakan) baik dan positif yang dijalankan oleh pemerintah yang menjabat, akan selalu dipandang sebaliknya (buruk) oleh mereka yang sedari awal sudah kontra (tidak suka) terhadapnya. Tidak hanya itu, fenomena filter gelembung (filter bubble) yang terfasilitasi oleh algoritma mesin dalam jagat pencarian dan penggunaan informasi di ranah digital juga bisa semakin mengkotak-kotakkan penggunanya dalam preferensi dan bias informasi yang cukup sulit dilebur," kata Zainuddin.
Ia pun berharap Pemerintah punya solusi untuk menghadapi tantangan pandemi dan masalah kesehatan lain yang mungkin terjadi di masa mendatang.
"Saya merekomendasikan pendekatan yang intensif, masif dan kolaboratif dalam edukasi dan literasi digital. Ragam pemangku kepentingan dan pihak terkait (pemerintah, media, institusi pendidikan/sekolah, komunitas, media, dan platform) perlu bersinergi untuk mensukseskannya."
"Walau hoaks bukan fenomena baru karena sudah eksis jauh sebelum media digital memberikannya ruang untuk tumbuh bersemi dengan cepat, tetapi ia perlu diberi perlakuan dan perhatian yang cukup serius agar dampak merugikan yang ditimbulkannya bisa ditekan seminimal mungkin," katanya mengakhiri.
Tanggapan Dokter
Hoaks seputar vaksin covid-19 masih harus terus diberantas sebab dapat menghambat pemerataan vaksinasi untuk menghentikan sebaran penyakit yang diakibatkan virus SARS-CoV-2 tersebut.
Dokter relawan covid-19 dan edukator kesehatan dr. Muhamad Fajri mengatakan, saat ini covid-19 masih ada dan pandemi belum berakhir, sebab itu masih dibutuhkan vaksin covid-19 untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari infeksi penyakit tersebut.
"Kalau pun berubah menjadi endemi kita masih membutuhkan vaksin," kata Fajri, saat berbincang dengan Liputan6.com.
Fajri melanjutkan, peredaran hoaks seputar vaksin covid-19 dapat menghambat perluasan cakupan vaksin, sebab akan mengurangi kepercayaan masyarakat. "Artinya esensial kita untuk memerangi hoaks, ini kita harus menghindari hoaks tersebut," ujarnya
Menurut Fajri isu tentang vaksin sangat penting untuk diatasi. Pasalnya, saat ini urgensi vaksin covid-19 di tengah masyarakat sudah mulai luntur dan sejumlah orang sudah tidak peduli dengan covid-19.
"Hoaks masih ada, disinformasi masih sangat tinggi, ditambah lagi orang yang tidak peduli lagi dengan covid-19," ucapnya.
Fajri mengungkapkan, kondisi tersebut tentu mengkhawatirkan sebab dapat membuat penularan covid-19 bisa kembali meningkat dan dampak yang dirasakan oleh penderita covid-19 menjadi lebih berat.
"Tren vaksinasi berkurang, padahal kasus bisa meningkat lagi. Sebab di beberapa negara soalnya meningkat lagi, dan bisa memperberat kondisi saat seseorang terkena covid-19," ucapnya.
Advertisement
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.