Sukses

Pakar Sebut Beras Plastik Hoaks, Simak Penjelasannya

Untuk membuat biji plastik membutuhkan biaya produksi yang jauh lebih mahal dari harga jual beras saat ini.

Liputan6.com, Jakarta - Kabar beras plastik dipasarkan pada sejumlah wilayah di Indonesia beredar belakangan ini, informasi ini pun telah ditepis oleh pakar.

Pakar Teknologi Pangan IPB University, Profesor Slamet Budijanto menyatakan, infromasi yang bergulir di masyarakat soal beras plastik adalah bukan beras yang dibuat dari plastik, tetapi biji plastik yang dianggap mirip beras dia pun menyebut kabar tersebut hoaks.

"Itu biji plastik, bukan beras. Saya peneliti dapat memastikan beras plastik, bukan beras, itu hoaks selama ini," kata Slamet, dikutip dari Antara, Minggu (15/10/2023).

Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB University tersebut menegaskan, semestinya istilah beras plastik itu tidak ada. Yang selama ini ada adalah biji plastik, bentuknya bisa bermacam-macam, termasuk bisa menyerupai beras.

“Yang viral itu sebenarnya biji plastik, tapi dikasih nama beras plastik. Jadi itu bukan beras,” jelasnya.

Menurut dia, kalaupun ada yang membuat produk beras dari plastik, hal itu tidak masuk akal. Sebab, untuk membuat biji plastik membutuhkan biaya produksi yang jauh lebih mahal dari harga jual beras saat ini.

Ia menyebut harga satu kilogram biji plastik dari hasil daur ulang (recycle) saja sudah mencapai Rp20 ribu, lebih mahal dibanding beras premium sekalipun yang saat ini kisaran harganya Rp 15 ribu per kilogram.

“Anda bayangkan, beras premium saja paling Rp 12 ribu sampai Rp 15 ribu. Kalau hasil plastik recycle itu kemudian dibentuk seperti beras, kalau mau untung, mau dijual berapa? Ini jelas tidak masuk akal,” ujarnya.

 

2 dari 3 halaman

Beras Analog

Pada beberapa kasus, dia menerangkan dalam pembuatan beras analog menggunakan gliceryn monostearat (GMS) yang merupakan produk turunan sawit. Beberapa peneliti menyebutnya sebagai ‘plasticizer’ yang berfungsi supaya tidak lengket dan lebih kompak produk beras analognya.

Prof Slamet yang merupakan sosok di balik inovasi beras analog. Beras buatannya itu berbahan baku bukan padi, melainkan dari beragam sumber pangan lain seperti jagung, ubi jalar, talas, sorgum dan lainnya. Meskipun bukan dari padi, beras analog justru bisa menjadi alternatif pangan selain beras dan memiliki segudang manfaat bagi kesehatan.

“Bisa jadi istilah ini yang disalahartikan sebagai plastik. Jika iya, persepsi yang salah ini harus diluruskan,” ujarnya.

Slamet pun berpesan agar kejadian seperti ini bisa menjadi pelajaran supaya masyarakat lebih teliti dan kritis menanggapi suatu isu. Terlebih di era banjir informasi seperti sekarang, berpikir kritis merupakan modal penting dalam memilah benar tidaknya sebuah berita.

“Jadi, di era keterbukaan informasi ini, knowledge kita harus dikuatkan, sehingga kalau ada isu semacam ini, kita tidak termakan berita hoaks. Tanpa pengetahuan yang cukup, kita tidak akan bisa memfilter mana informasi yang benar dan mana yang salah, masuk akal atau tidak. Karena itu berpikir kritis menjadi penting,” ucap Dekan Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB University ini.

3 dari 3 halaman

Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.

Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.