Sukses

Apa itu Gratifikasi? Pengertian, Aturan Hukum, dan Sanksinya

Tindak pidana korupsi masih menjadi permasalahan di Indonesia. Salah satu modus korupsi adalah gratifikasi. Berikut penjelasannya.

Liputan6.com, Jakarta - Tindak pidana korupsi masih menjadi permasalahan di Indonesia. Salah satu modus korupsi adalah gratifikasi. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), gratifikasi merupakan tindak pidana korupsi yang paling banyak ditangani.

Dari 2004 hingga 2023, KPK sudah menangani 989 perkara gratifikasi. Jumlah ini terbanyak dibanding jenis perkara lainnya yang ditangani oleh KPK.

Dikutip dari website aclc.kpk.go.id, menurut penjelasan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa saranan elektronik.

Pengecualian:

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Peraturan yang mengatur gratifikasi adalah Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001 yang berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,

Kemudian pada Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK

Sedangkan untuk aturan hukum terkait gratifikasi, diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berikut penjelasannya.

  • Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
  • Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
  • Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Sanksi

Sanksi terhadap orang yang terbukti melakukan gratifikasi terancam pidana dan juga denda. Hal ini tertuang dalam Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001. Berikut penjelasannya.

"Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar"

Wajib Lapor ke KPK

Setiap penyelenggara wajib melaporkan gratifikasinya ke KPK. Hal ini berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, Bab II pasal 2. Pejabat negara yang dimaksud meliputi :

  • Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara.
  • Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
  • Menteri
  • Gubernur
  • Hakim

Pejabat Negara Lainnya :

  • Duta Besar
  • Wakil Gubernur
  • Bupati / Walikota dan Wakilnya
  • Pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis 
  • Komisaris, Direksi, dan Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
  • Pimpinan Bank Indonesia
  • Pimpinan Perguruan Tinggi
  • Pimpinan Eselon Satu dan Pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan Sipil dan Militer
  • Jaksa
  • Penyidik
  • Panitera Pengadilan
  • Pimpinan Proyek atau Bendaharawan Proyek
  • Pegawai Negeri

Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan No. 20 tahun 2001 meliputi :

  • Pegawai pada MA, MK
  • Pegawai pada L Kementrian/Departemen &LPND
  • Pegawai pada Kejagung
  • Pegawai pada Bank Indonesia
  • Pimpinan dan Pegawai pada Sekretariat MPR/DPR/DPD/DPRD Propinsi/Dati II
  • Pegawai pada Perguruan Tinggi
  • Pegawai pada Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan UU, Keppres maupun PP
  • Pimpinan dan pegawai pada Sekretariat Presiden, Sekretaria Wakil Presiden, Sekkab dan Sekmil
  • Pegawai pada BUMN dan BUMD
  • Pegawai pada Badan Peradilan
  • Anggota TNI dan Polri serta Pegawai Sipil dilingkungan TNI dan Polri 
  • Pimpinan dan Pegawai dilingkungan Pemda Dati I dan Dati II

 

2 dari 2 halaman

Perbedaan Pemerasan, Suap, dan Gratifikasi

Dikutip dari djpb.kemenkeu.go.id, ada sejumlah perbedaan antara pemerasan atau pungli, suap, dan gratifikasi. Berikut penjelasannya.

  • Pemerasan (Pungli) terjadi apabila petugas layanan secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbala kepada pengguna layanan dengan maksud agar dapat membantu mempercepat tercapainya tujuan si pengguna jasa, walau melanggar prosedur.
  • Suap terjadi apabila pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas dengan maksud agar tujuannya lebih cepat tercapai, walau melanggar prosedur.
  • Gratifikasi terjadi apabila pihak pengguna layanan memberikan sesuatu kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran, transaksi, atau deal untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan. Biasanya hanya memberikan tanpa ada maksud apapun.

Masih dikutip djpb.kemenkeu.go.id, dalam kasus suap dan pemerasan, terdapat kata kunci yaitu adanya transaksi atau deal di antara kedua belah pihak sebelum kasus terjadi, sedangkan dalam kasus gratifikasi tidak ada. Gratifikasi lebih sering dimaksudkan agar pihak petugas layanan dapat terpengaruh, agar di kemudian hari dapat mempermudah tujuan pihak pengguna jasa, namun hal tersebut tidak diungkapkan saat pemberian terjadi.