Liputan6.com, Jakarta - Pada Rabu (16/11/2022), Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) memberikan pelatihan pada generasi muda Papua-Maluku tentang 'Fear of Missing Out (FOMO) Kritis terhadap Berita Viral'.
Pelatihan ini dilakukan secara virtual dan diikuti para peserta dari Ternate, Sorong, Jayapura, dan Maluku dengan menghadirkan sederet narasumber yaitu CEO Satmaka Raharja Group Moch Ilham Faris Baladraf, Kaprodi STTI Chris Jatender, serta Influencer Nata Gein.
CEO Satmaka Raharja Group Moch Ilham Faris Baladraf menjelaskan, mengarah ke mental 'takut ketinggalan' atau lebih sering kita kenal dengan FOMO, di mana, di era masyarakat itu menjadi suatu tekanan secara tidak langsung yang generasi muda rasakan.
Advertisement
"Dasarnya, trigger utama mereka adalah sosial media. Di mana, pencapaian dan privilege orang lain seumuran mereka sudah sampai di atas mereka," ucap Ilham melalui keterangan tertulis, Rabu (16/11/2022).
Menurut dia, sampai Januari 2022, tercatat lebih dari 191 juta pengguna sosial media. Data tersebut menggambarkan seberapa besar pengaruh sosial media dalam kehidupan keseharian mereka, khususnya di rentan umur 16-25 tahun.
"FOMO sendiri sebenarnya terjadi berdasarkan beberapa alasan utama. Budaya komunikasi digital Indonesia, kemudahan berkomunikasi di era digital, dan pengguna media sosial adalah alasan mendasar penyebab FOMO," kata Ilham.
Pemicu FOMO Dalam paparannya, Ilham juga menjelaskan bahwa ada beberapa pemicu FOMO terjadi hingga bisa memberikan dampak pada generasi muda. Di antaranya tren dan postingan sosial media.
"Rasa takut merasa 'tertinggal' karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita,tren, dan hal lainnya," ucap dia.
"Seperti yang dilansir VeryWell Mind, bahwa Perasaan FOMO ini dapat terjadi pada semua gender dan umur," jelas Ilham.
FOMO sendiri memiliki rangkaian lain, yaitu Fear of Better Options (FOBO), Mystery of Missing Out (MOMO), Fear of Joining In (FOJI), dan Joy of Missing Out (JOMO). Hal itu seperti disampaikan Kaprodi STTI Chris Jatender.
"FOMO sendiri memiliki beberapa karakteristik, diantaranya seperti under-influence seperti anak yang kecenderungan dengan gadget dan beragam teknologi, being always connected yakni perasaan yang perlu diakui dan diterima di segala macam lapisan sosial, dan digital intuitiveness yang mana semacam mampu memprediksi apa yang akan jadi trend di ranah digital nantinya," terang dia.
"Dampak dari FOMO, lebih ke mental. Banyak generasi yang merasa insecure dan timbullah istilah quarter life crisis atau masa - masa krisis anak muda," tambah Chris.
Â
Munculnya JOMO
Chris menyebut, dari tren FOMO, ada yang dinamakan Joy of Missing Out (JOMO), di mana, kita merasa puas akan keadaan dan pencapaian diri kita sendiri saat ini.
"Target dan keadaan kita yang buat sendiri, jadi lebih merasa bebas dan tanpa tekanan. Disisi lain, FOMO seakan memaksa kita untuk selalu update dan cek gadget yang ada. Perasaan takut tertinggal dan insecure makin tinggi. Beralih ke JOMO lah salah satu jalan pintas yang paling sederhana namun works," papar dia.
Menurut Chris, untuk mengatasi dan mengurangi FOMO sebaiknya kita fokus pada diri sendiri, membatasi penggunaan media sosial dan gadget, mencari koneksi nyata yang jelas manfaatnya untuk kehidupan kita, dan lebih menghargai diri sendiri.
"FOMO sendiri sebenarnya termasuk salah satu jenis gangguan kejiwaan, yang mana seharusnya kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter manusia sesungguhnya, dan itu sudah banyak terjadi dikalangan anak muda saat ini," kata dia.
"Aktivitas positif dengan menggunakan waktu luang seperti membaca untuk menambah pengetahuan, berolahraga atau bahkan berjualan online dan menjadi content creator merupakan cara positif agar terhindar dari fenomena FOMO ini," jelas Chris.
Â
Advertisement
Alasan Kemenkominfo
Tingginya dampak FOMO pada generasi muda, khususnya Papua-Maluku, menimbulkan pro-kontra. Di mana, kita sama-sama senang generasi muda berkembang.
Namun kita pun khawatir kalau para generasi muda terlalu berlebihan dan ujungnya melewati batas norma dan etika.
Angka pengguna sosial media akan selalu naik setiap tahunnya. Berbagai umur dan profesi berlomba mengunggah berbagai macam konten yang telah diproduksi di platform media digital masing-masing.
Tidak sedikit juga konten-konten yang mereka buat menyalahi aturan, tidak adanya batas privasi, melanggar hak cipta dan karya intelektual, serta menimbulkan ketidaknyamanan di masyarakat.
Dengan adanya program pelatihan ini, Kemenkominfo ingin anak-anak muda Indonesia semakin cakap digital, sehingga konten-konten yang dihasilkan lebih taat peraturan dan sesuai dengan norma yang berlaku.