Sukses

'Teman Bicara' Para Pembesar Athena

Di Negeri para dewi itu, Athena, menyimpan kisah tentang kecantikan yang mencari 'tempat' di peradaban yang tak mengakui wanita.

Citizen6, Jakarta Bagi kita penikmat cerita Negeri sakura, mungkin tidak asing dengan istilah ini, Geisha, seniman-penghibur tradisional Jepang. Terkadang tak banyak orang menganggap 'seniman' ini sebagai pelacur di zamannya. Walaupun masih terbilang penuh perdebatan apakah memang demikian atau murni, mereka hanya seorang seniman-penghibur tanpa ada kaitannya dengan hubungan intim. Lain halnya dengan dunia di sebrang Jepang, Yunani.

Di kala peradaban Yunani Kuno, sebuah istilah lahir, tentang wanita yang memiliki kecantikan juga pengetahuan yang luas, Hetairai. Hetairai, atau pelacur kelas atas pada masa Yunani Kuno. Banyak literatur mengisahkan bagaimana posisi wanita dalam kurun waktu tersebut, perempuan tak punya banyak peran dalam masyarakat Athena, penuh batasan dan bahkan tidak diwajibkan untuk membaca dan menulis.

Namun, kala itu seorang perempuan mesti menjadi hetairai, jika mengingikan posisi yang lebih tinggi. Untuk menjadi seorang hetairai, seorang perempuan tidak cukup hanya memiliki kecantikan. Tapi juga pengetahuan mengenanai bahasa (puisi), filsafat, dan politik. Mereka, pada masanya adalah 'pendamping', teman bicara para pembesar Athena, Yunani. Karenanya, para negarawan dan filsuf menghargai mereka.

Namun, tetap, bukan hanya isi kepala yang harus mereka berikan, predikat 'pelacur' sebagai orang rendahan tak bisa lepas darinya. Dan lambat laun, Hetairai ini menghilang meski profesinya tak pernah ditinggalkan.

Peradaban Yunani Kuno ataupun tempat lainnya yang mempunyai sejarah tentang ketidakberpihakkan mereka pada wanita itu, akhirnya berubah seiring perjalanan waktu. Sekarang, kita, sebagai wanita diberikan ruang lebih, baik itu untuk pendidikan, politik juga pilihan hidup lainnya. Syukurilah! (Dn)

sumber : historia.co.id