Citizen6, Jakarta Kematian Angeline memang menggemparkan banyak pihak, membuat hati kita menjerit mendengar cerita tragisnya. Tragedi Angeline seharusnya membuka mata kita bahwa anak-anak adalah kelompok paling rentan menjadi korban. Kisah tragis Angeline mungkin saja dialami oleh anak-anak lain di luar sana.
Kita tentu berharap bahwa tragedi semacam ini tidak kembali terulang dan terulang. Untuk itu yang perlu kita lakukan bukanlah sekedar memaki si pembunuh yang bengis, menyalahkan orang tua kandung dan mencaci hal lainnya. Kita butuh kepedulian dan rasa empati agar hal-hal buruk tak terjadi pada anak-anak.
Dari tragedi Angeline kita bisa belajar untuk peduli, peduli pada lingkungan sekitar, anak-anak yang ada di lingkungan kita. Jika kita menemukan satu hal yang tidak benar terjadi pada seorang anak tentu kita tidak boleh tinggal diam. Anak-anak berhak mendapatkan masa kecil mereka yang bahagia bukan menderita, dan itu adalah tanggung jawab kita semua. Tak perlu takut dengan sebutan "mencampuri urusan orang lain", sebelum hal lebih buruk terjadi.
Advertisement
Dari tragedi Angeline kita belajar pula untuk berempati pada anak-anak dengan lingkungan yang kurang kondusif. Lingkungan yang tidak kondusif bukan hanya lingkungan keluarga yang buruk, tetapi juga lingkungan rawan bencana, rentan bentrokan atau daerah konflik, daerah pengungsi dan sebagainya.
Data dari Komnas Perlindungan Anak menyebutkan, untuk wilayah Jabodetabek saja kekerasan pada anak sebesar 2.626 di tahun 2012 dan meningkat menjadi 3.339 pada tahun 2013. Pada 2014 total kasus kekerasan pada anak di 34 provinsi di Indonesia sebesar 21.869.797 dimana 45-58% merupakan kasus kekerasan seksual. Kisah Angeline mungkin salah satu dari sekian ribu kasus kekerasan pada anak. Tragedi tersebut mungkin hanya sekedar menjadi data statistik belaka jika kita berhenti untuk peduli dan berempati. Jadi, mari kita belajar agar tragedi ini tidak kembali berulang. (rn)